Pada buku Kappa yang ringkas dan padat, Ryunosuke Akutagawa membahas mengenai pelabelan terhadap manusia. Dalam buku itu, dikisahkan bahwa seorang manusia terdampar di negeri kappa. Selama tinggal di sana, ia mempelajari banyak hal mengenai kehidupan dan cara bersosialisasi kappa. Dikisahkan, kappa memiliki perasaan yang lebih halus dari manusia. Suatu ketika ada kappa yang mati. Alasannya….
“Ya, pada suatu hari ia dipanggil kodok. …. Dipanggil dengan sebutan kodok di negeri ini berarti sama saja dikatakan babi. Dan setelah itu, ia melewatkan hari-harinya dengan terus berpikir, apakah benar ia seekor kodok? Atau apakah ia bukan kodok? Ia terus berpikir hingga akhirnya mati.”—p. 84
Mungkin sebagian kita akan lewat saja ketika membaca bagian ini, merasa tidak pernah mengatai orang lain dengan sebutan “babi”. Padahal, hal ini pasti pernah kita semua lakukan. Memberi label kepada manusia lain. Dan tidak harus berbentuk kata kasar, pelabelan tetap pelabelan.
Misal, ketika seorang anak sering mendengar ucapan “bodoh” atau “malas” yang ditujukan kepada dirinya, maka ia kelamaan akan merasa bahwa ia memang bodoh dan malas, lalu berhenti berusaha.
Perkataan yang kemudian menjadi label bisa mendorong seseorang mengambil tindakan ekstrem. Dalam buku kappa, tindakan tersebut bunuh diri. Dalam kehidupan nyata, selain bunuh diri anak SD karena tidak dibelikan sepatu, berikut contoh nyata yang sederhana.
Seorang kenalan saya bercerita, ketika SD, ia termasuk lambat mengikuti pelajaran matematika. Namun, suatu ketika, ayahnya turun tangan mengajarinya. Ternyata, dengan cara mengajar ayahnya, atau mungkin karena ayahnya yang mengajarinya, ia jadi cepat mengerti. Maka, pada ujian berikutnya ia berhasil mendapat nilai yang bagus. Hasilnya, ia dicurigai menyontek. Maka, ia dan seorang kawannya, ketua kelas, yang dicurigai memberi sontekan, dipanggil ke ruang guru. Meskipun si ketua kelas sudah bersaksi bahwa kawan saya tidak menyontek atau menyalin jawabannya, nilai kawan saya tetap diturunkan. Anggap saja, dari 8 menjadi 6.
Dan sejak saat itu, kawan saya berhenti berusaha mempelajari matematika.
Tentu guru itu yakin kawan saya menyontek karena sudah ada label “tidak bisa matematika”—untuk memperhalus “bodoh”—bagi kawan saya di kepalanya. Bisa jadi, hasil observasinya selama ini, termasuk perbincangan dengan banyak orang yang membenarkan dugaan bahwa kemampuan kawan saya dalam ilmu berhitung selama ini buruk. Maka ketika hasilnya tidak sesuai dengan label tersebut, kecurigaanlah yang menyeruak.
Itu hanya salah satu contoh. Hal lain banyak bisa kita temukan yang dikatakan bahkan oleh orang-orang terdekat, bahkan orang tua.
Hal serupa berlaku jika pada teman sebaya kalian masih sering memberi julukan “gendut”, “kuper”, dan bahkan “jomblo”. Ucapan kita bisa termasuk dalam kategori kejahatan lisan ketika mengatakan sesuatu kepada orang lain sehingga orang itu merasa sangat terganggu dengan ucapan kita. Padahal, kadar toleransi orang terhadap bercandaan berbeda-beda. Tentu berbeda jika konteks yang kalian lontarkan adalah bercandaan kepada kawan dekat. Tapi jika ucapan itu kalian samakan kepada semua orang, sebaiknya jangan lupa bahwa beberapa manusia, seperti kappa, memiliki perasaan yang lebih halus. Lihat-lihat dulu.
Pelabelan kepada seseorang tersebut tanpa terasa terbangun oleh ucapan-ucapan yang terus-menerus masuk ke dalam kepala manusia. Kemudian, membentuk pola pikir baru pada masyarakat yang seakan-akan menjadi kebenaran umum. Bahwa anak SD yang belum bisa menulis bodoh—tak peduli ingatannya bagus sekali, bahwa menikah selalu berarti kebahagiaan—tak peduli terpaksa dilakukan karena hamil duluan, bahwa menantu idaman adalah PNS—tak peduli masuknya melalui jalur kekeluargaan, bahwa perempuan yang sudah tidak perawan disebut sudah kehilangan kehormatan—tak peduli sebabnya adalah perkosaan.
Kita tidak bisa menahan orang lain hendak berkata apa, yang bisa kita lakukan hanya menyaring ucapan yang masuk ke dalam kepala. Selanjutnya, kita tidak bisa membayangkan apa yang masuk ke dalam kepala orang dari ucapan kita, yang bisa kita lakukan hanya menyaring apa yang dikeluarkan sampai mulut atau ditahan cukup sampai otak saja.
Ketika pembahasan tentang kappa yang bunuh diri karena disebut “kodok” dilanjutkan, Ryunosuke memilih kalimat menarik.
“…jika lihat dari sudut pandangmu apakah hal ini akan tetap disebut bunuh diri?”
Apakah anak SD itu memang bunuh diri? Apakah kawan saya memang berkeinginan berhenti mempelajari matematika? Apakah status jomblo memang selalu hina?
“Sebenarnya, si pembunuh yang mengatakannya sebagai kodok memang sengaja menggunakan kata-kata itu untuk membunuhnya.”
Sebenarnya, tiap-tiap kita termasuk pembentuk pola-pola pikir orang-orang di sekitar kita. Maka, mau jadi pembentuk positif atau negatif, silakan mulai dipertimbangkan.
- Penting Tak Penting Perihal Teenlit - 26 October 2016
- Membaca Karya Fiksi Memang (Kadang) Tidak Berguna - 28 September 2016
- Imajinasi dalam Rungkup Teknik Berkisah dan Pesan yang Ingin Disampaikan - 12 June 2016
Sulistya Diana Putri
saat ini saya sedang merasa menjadi mahluk Kappa, dan membaca ini. Saya sadar sesuatu, saya harus memenejemen pikiran saya sendiri dengan lebih baik lagi. Terimakasih, untuk sebuah pencerahannya.
Ra
Saat baca ini aku jadi sadar,mungkin aku cuma seorang makhluk kappa dari sekian yang ada di dunia ini.Terkadang jadi minoritas,dan kecil kala kata-kata yang tidak diinginkan masuk dan bersarang di neuron otak.Tp,maunya sih pengen jadi diri sendiri aja
abdial
Sebuah ulasan amat menarik. Ditulis dengan cerdik. Pasti di dalam benaknya banyak juga hal-hal menarik. “Emak- emak berisik”. Ah, sayang sekali melabeli potensi luar biasa dengan deskripsi semacam itu… Aku akan kasih label “Emak-emak cantik” saja.