Pada masa perang, bocah-bocah bumiputra memiliki imajinasi gagah dan sangar dengan menjadi tentara atau laskar. Di suatu tempat, lelaki berusia 11 tahun nekat turut bergabung di barisan laskar. Ia pun naik truk bersama orang-orang berani berperang menghadapi luka dan mati. Di atas truk, ia berlagak pemberani. Komandan laskar lekas melihat ada bocah turut di truk. Marah! Bocah itu harus turun dari truk. “Kau anak kecil, kencing saja belum lurus sudah mau cari penyakit! Lekas pulang!” kata komandan laskar.
Bocah itu terlalu sembrono untuk mengerti dan mengalami perang. Ia terpaksa turun dari truk. Kecewa dan terhinakan. Ia turun di Jatinegara. Kaki-kaki bergerak malas untuk pulang. Bocah itu bernama Sjumandjaja. Nama itu kelak tercatat di sastra dan sinema Indonesia. Sejak bocah, ia sengaja mencipta sejenis fiksi besar dalam hidup. Ia tak lahir di Jakarta tapi besar di Kemayoran, Jakarta. Ia “memiliki” Jakarta dan memberi diri di jalan seni Indonesia. Selama ia hidup di Jakarta, jadilah Betawi ketimbang Jawa meski lahir di Bagelen, Jawa Tengah.
Panggilan kehormatan di masa bocah adalah Si Panjul. Bocah itu nakal, keranjingan berkelahi. Pada masa bersekolah, Sjuman pintar di pelajaran bahasa, sastra, dan sejarah. Pelajaran paling keparat adalah matematika. Ia mengaku bodoh matematika. Bodoh menggagalkan cita-cita ingin menjadi pilot. Ia tetap saja menaruh cita-cita di ketinggian: sastrawan besar. Mimpi jadi sastrawa ditempuhi rajin membaca buku-buku sastra, tak lupa mencuri buku. Si Panjul membuat biografi mencampurkan nakal, pintar, dan kenekatan. Sepenggal biografi itu terdapat di buku berjudul Masa Kecil (1981) susunan Masheri Mansyur.
Pada masa 1970-an dan 1980-an, Sjuman adalah sutradara kondang. Ia sering mendapat penghargaan dan sasaran polemik-polemik bertema film atau asmara. Koran dan majalah sering ramai dengan pergosipan Sjuman. Nama itu semakin berkibar dengan kemunculan pelbagai resensi atas film-film memberi pengaruh besar di Indonesia. Sjuman cenderung dikenali di film ketimbang sastra. Dulu, ia sudah membuktikan cita-cita menjadi sastrawan tanpa “besar”. Ia menulis puisi dan cerita pendek di pelbagai majalah. Konon, ia merasa diakui sastrawan sekejap saja, sebelum memilih ke film.
Pada 19 Juli 1985, ia berakhir. Indonesia bersedih dan menempatkan Sjuman di album besar perfilman, belum di album besar sastra. Film dipelajari Sjuman di Uni Soviet. Pulang ia membuat kejutan-kejutan sulit mendapat tepuk tangan saja. Cacian dan kritik mendera, dari tahun ke tahun. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, ia mendapat pengakuan sebagai manusia-film. Orang-orang mengingat Sjuman adalah sutradara film berjudul Lewat Jam Malam. Ia pun tercatat di halaman-halaman sejarah sinema dengan garapan Si Mamad, Atheis, Kabut Sutra Ungu, Kartini, dan Opera Jakarta. Ia tak cuma sutradara. Janji jadi penulis sajak dan cerpen digenapi menulis skenario. Di majalah Kartini, 26 Agustus-8 September 1985, diceritakan pilihan menekuni penulisan skenario selama di Persari menjadikan Sjuman semakin mengerti kerja-kerja di film. Di skenario dan sutradara, Sjuman memberi bukti cemerlang.
Pada 1987, terbit buku berjudul Aku. Buku terbit setelah Sjuman meninggal. Buku teringat para penonton film dibaca oleh Rangga dan Cinta muncul di film Ada Apa Dengan Cinta. Buku terbitan Grafiti Pers sering diiklankan di halaman-halaman majalah Tempo. Buku itu mendapat pujian tak habis-habis. Sesalan cuma skenario mengenai Chairil Anwar itu mustahil digarap jadi film oleh almarhum Sjuman. Kita mendapat warisan masih berupa naskah, belum film di depan mata.
Buku berjudul Aku membuat Seno Gumira Ajidarma bergurau. Tokoh tekun menulis sastra, komik, film, dan kota itu menulis kalimat-kalimat dari “gurauan” atas puncak-puncak seni di Indonesia. “Chairil Anwar, Sjuman, dan Rendra adalah manusia-manusia sejenis, homo urakanensi. Pengertian budayanya, orang-orang antikemapanan…. Bayangkan kalau ketiganya menyatu. Film tentang Chairil diperankan Rendra, disutradari Sjuman,” tulis Seno Gumira di majalah Jakarta-Jakarta, 8-14 Januari 1988. Penulis novel berjudul Negeri Senja itu harus menghentikan “gurauan”. Sjuman tak mungkin lagi menggarap film. Kepasrahan: anggaplah Aku itu gubahan sastra.
Ia memang penulis teks-teks sastra, sebelum telanjur dikenali sebagai orang film. Di majalah Kisah edisi Juli 1955, kita menemukan cerita pendek buatan Sjuman berjudul “Kepergian jang Tak Diharapkan.” Pembukaan cerita pendek agak mengesankan keinginan Sjuman mengajak pembaca seperti menonton film: “Kamar itu sudah lama ditinggalkan penghuninja. Maka sunji dan kemurungan sadjalah jang menggelimangi suasananja. Djendela jang selalu terkuntji dan buku-buku serta map-map jang sudah sama berdebu.” Bermula dari cerita pendek, ia bisa mengandaikan bakal jadi peristiwa di film.
Di perfilman, Sjuman itu sumber untuk polemik, pemberitaan, dan gosip. Di sastra, ia disepikan. Sekian cerpen pernah dimuat di majalah-majalah belum dikumpulkan utuh menjadi buku. Kita menantikan saja ada kerja dokumentatif: menerbitkan buku kumpulan cerita Sjuman. Kita mesti mengakui pula ia itu penggubah puisi. Pembaca majalah lawas bisa menemukan puisi gubahan Sjuman di Indonesia edisi November 1952. Ia tercatat menulis prosa panjang pernah dimuat di majalah wanita. Pengakuan sebagai sastrawan belum membesar, ia memilih menempuhi jalan film.
Di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia, 1981-1982 garapan Tempo, kita tak bakal menemukan keterangan panjang saat Sjuman itu pengarang sastra. Ia disebut mengawali kesenimanan di Senen, Jakarta. Ia teranggap “Seniman Senen”. Jejak sastra tiada. Keterangan titik mula di film: “Masuk dunia film, mula-mula sebagai pemeran pembantu…. Dalam FFA 1971, skenarionya Pengantin Remaja mendapat penghargaan. Film pertama yang disutradarainya, Lewat Tengah Malam, banyak menarik perhatian kritikus film.” Kita belum mendapatkan kabar ada kritikus sastra mengawetkan dan mengulas warisan sastra dari Sjuman.
Ingat Sjuman, ingat sastra, kita wajib menempatkan film berjudul Yang Muda Yang Bercinta (1977) sebagai acuan. Film itu “bermasalah” gara-gara politis dan ketertiban. Rendra ada di film. Ia membacakan puisi. Di mata penguasa dan militer, film garapan Sjuman mengandung rangsangan sastra itu “mencemaskan.” Sjuman mungkin ingin mengenang diri pada masa 1950-an adalah penulis puisi, cerita pendek, dan esai.
Album film Indonesia abad XX dan XXI memiliki halaman bagi Sjuman. Pengenalan pada tokoh dijuluki “homo urakanisme” di mata kaum muda abad XXI gara-gara Rangga dan Cinta pamer buku berjudul Aku di film romantis, film terkenang jutaan orang. Sjuman tentu tak melulu Aku. Kita berhak menaruh Sjuman di dua jalan: sastra dan film. Ia pantas dicatat para penulis buku sejarah sastra dan mendapat tempat di ulasan-ulasan para kritikus sastra. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022