Jendela dan Halaman

Denise Husted

Buncis. Jamur merang. Bawang putih. Bawang merah (banyak-banyak). Cabai rawit. Minyak goreng. Semua bahan dipotong atau dicincang. Ditumis. Ditutup rapat. Kompor menyala dengan api sedang. Aku masak pagi ini, Zua mengetik pesan WhatsApp. Kirim. Pesan dibaca. Dibalas: baju kotor. Popok habis. Air mendidih. Bikin susu bayi. Teriakan. Tangisan. Rengekan. Setumpuk baju kusut dalam keranjang. Rol rambut di lantai. Gunting kuku.

Zua tertawa ngakak. Ia buru-buru membuka tutup wajan. Tumisan sudah matang. Jamur merang kehitaman. Buncis hijau segar. Zua menghirup udara basah di atas wajan. Aroma yang mengambang. Wangi bawang dan jamur. Matanya memejam. Bibirnya tersenyum semringah. Ia tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Kemarin malam, sebelum ia dan Luta sama-sama menutup telepon (secara serempak, klik!), lelaki itu bilang, kita harus saling mencintai dengan perasaan bahagia. Kau bahagia di rumahmu sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anakmu. Aku bahagia di sini sebagai seorang suami dan ayah dari anak-anakku. Kebahagiaan kita bertambah sempurna, sebab di luar itu, kau adalah kekasihku dan aku kekasihmu. Kau berdiri di halaman, aku melihatmu dari jendela. Saling bergantian. Bukankah ini kesepakatan yang sempurna?

Sempurna, desis Zua sambil menyendok tumis buncis-jamur merang dan senyum yang dihiasai bebungaan (mawar, krisan, anggrek, dahlia, melati). Ia cepat memasukkan isi sendok ke mulutnya. Menumpuknya lama-lama di atas lidah dan mengemutnya (dengan tetap tersenyum). Seperti waktu kecil ia makan sebutir permen. Kali ini tak ada rasa manis, melainkan sensasi lezat yang tak terjabarkan, tak mampu ia namai.

Luta yang bilang kalau jamur makanan terenak di dunia. Zua tidak pernah makan jamur. Ibunya selalu menyebut jamur dengan kapang. Kapang di nasi. Kapang di pagar kayu. Kapang di baju yang lama tidak dicuci. Kapang-kapang-kapang. Zua merasa bunyi “kapang” itu mengintimidasi telinganya. Termasuk kapang tiram (padahal lebih tepat disebut jamur atau cendawan tiram), kapang kuping, kapang putih, kapang tuwi. Ia tak berani makan berbagai jenis kapang itu. Sampai Luta berkata, jamur itu makanan terenak di dunia. Jamur di kepala Zua sama saja dengan kapang. Namun, kata Luta, sangat berbeda!

Zua pergi ke supermarket terdekat untuk membeli satu bungkus yang ada tulisan: jamur merang. Kata Luta, bisa ditambahkan buncis atau kacang panjang. Zua mengambil buncis. Seberat satu ons. Kata Luta, bawang putih, bawang merah (banyak-banyak), cabai rawit. Zua menuruti semuanya, sebab ia akan mencoba resep masak jamur yang diberikan Luta, sebab ia jatuh cinta. Kepada Luta.

***

Luta bercerita, cinta di rumahnya adalah ladang ilalang. Istrinya seorang supervisor pemasaran di klinik kecantikan dan kesehatan kulit yang sedang berkembang. Sibuk setiap hari. Kalaupun libur, ia ingin jalan bersama teman. Minum kopi dan makan roti di luar. Bermalam ke pulau. Itu pun belum cukup. Ia masih mau waktu yang lebih banyak untuk dirinya sendiri. Padahal, waktu berbatas. Tak bisa lebih 24 jam dalam sehari. Dengan waktu yang terbatas, ia tak dapat lagi membagi dan memberi. Sebab, sayang jika waktu yang tak banyak itu harus terbuang pada yang lain, pada yang di matanya tak penting. Rumah. Suami. Anak-anak.

Mereka punya dua balita (untuk mereka, Luta mengalah, memilih bekerja di rumah saja). Tiga dan satu tahun. Satu laki-laki. Satu perempuan. Yang satu suka mobilan remote. Satunya lagi senang mengulum jempol (hingga lembek dan memutih).

Selagi Luta memasak, mobilan itu menabrak kakinya. Selagi Luta lengah, jempol si anak perempuan berlumur ludah.

Kata istri Luta, “Coba ingat, apa kau kecil dulu bandel begitu?”

Sewaktu si anak perempuan buang air besar dan memain-mainkan tinjanya, istri Luta juga bilang, “Itu pasti turunan darimu. Jorok.”

Anak lelakinya berkata kotor. Entah ia dapat dari mana. Mungkin dari pintu tetangga yang terbuka dan suara pertengkaran anak-anak mereka memelesat keluar, saling ejek, saling membalas dengan kata tak pantas.

“Itu salahmu tak menangkal pengaruh lingkungan yang buruk, membiarkannya merasuk ke kehidupan anak-anak,” kata istrinya, tanpa emosi, tanpa rasa.

Istrinya itu tentu hanya berkata lewat telepon. Ia terpaksa mengangkat telepon dari Luta sambil terus bekerja. Karena itu, ia sering bilang, ya, apa? Atau, ya, gimana tadi? Lalu begitu mengerti secara samar-samar apa yang sedang terjadi di rumah, ia kembali menyerang dengan kalimat-kalimat menyudutkan.

Luta mengulang bercerita tentang beberapa kejadian lain yang dialaminya bersama anak-anak. Juga tentang perkembangan mereka. Tumbuh gigi. Jatuh. Bisulan. Bisa mengucapkan sejumlah kosa kata bahasa Inggris. Tambah pintar nyanyi (meski lagunya sembarangan).  Istrinya mengulang pertanyaan, ya, apa? Atau, ya, gimana?

Luta tidak ingin ribut. Sudah cukup dua anaknya yang menangis, merengek, berteriak-teriak. Setiap pagi, siang, dan malam. Istri Luta tidak mengerti bagaimana hidup yang dipenuhi keributan dari pagi hingga malam. Pagi-pagi, perempuan itu sudah  berangkat kerja. Pulang malam. Sampai, satu kali, ia rindu masa mereka sesekali bertengkar. Biar rumah ramai. Biar tak membosankan. Maka ia berkata, “Apa yang terjadi pada kita ya, Luta? Hidup kita jadi begini sepi.”

“Kita sudah berakhir,” kata Luta mencoba bersedih. Namun, nyatanya ia sebenarnya tak merasakan apa-apa. Dadanya melompong. Kosong.

Istri Luta sudah mendengkur halus. Seolah tadi ia tak pernah berbicara. Tak bertanya. Seolah ia memang sudah lama tak ada.

Luta bangkit. Ia berjalan keluar kamar. Menuruni tangga menuju lantai satu. Membuka pintu depan. Pergi ke halaman. Di sana, ia mengamati lampu di rumah-rumah tetangganya. Ia menebak-nebak para penghuninya. Ada berapa orang di dalamnya. Berapa orang yang insomnia. Berapa yang mendadak lapar dan makan dengan rasa bersalah. Berapa yang terlelap pulas. Berapa yang menunggu pasangannya pulang dengan gelisah mengingat ini sudah pukul satu. Berapa yang menyelundupkan lelaki atau perempuan lain selagi pasangannya pergi keluar kota. Berapa yang seperti dirinya, tak bisa tidur, kepala penuh, dan mencoba menenangkan diri dengan pergi ke halaman atau teras atau balkon belakang dan mengamati langit, rumah-rumah, tiang listrik, binatang nokturnal, gelandangan sempoyongan di jalan karena mabuk minuman oplosan, pelacur yang terkikik digandeng lelaki nakal.

Pada saat pikirannya amat sibuk, Luta tak tahu kalau sepasang mata mengamatinya dari balik jendela di sebuah ruang dengan cahaya redup. Mata yang besar, tapi sendu. Mata itu kemudian setiap malam menantikan seseorang berdiri di halaman di depan rumahnya yang hanya dipisahkan jalan kompleks selebar tiga atau empat meter.

Mata itu milik Zua.

Zua yang nanti, tak berapa lama setelah itu, menjadi teman ceritanya. Zua yang lalu menjadi kekasihnya, yang kadang menjelma halaman, kadang jendela.

***

Zua berkisah, aku tak punya pilihan waktu itu. Aku anak yang tak bahagia. Anak yang lahir dalam keluarga tidak bahagia, hanya akan punya satu cita-cita: hidup untuk bahagia.

Hidup untuk bahagia itu dimulai dengan keinginan Zua menjadi perempuan terbaik bagi keluarga kecilnya. Suami. Satu anak perempuan. Lima tahun. Zua meninggalkan kariernya sebagai konsultan keuangan dan menjadi ibu yang melakukan segalanya untuk si putri kecil dan mengatur segala sesuatu di rumah. Suaminya sering berkata:

Kau, Zua, telah membuat keluarga ini bahagia.

Kalau bukan karena kau, Zua, kami tidak mungkin berbahagia seperti ini.

Kalau tak ada kau, Zua, kami tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya sebenar-benarnya dicintai.

Jaga kebahagiaan ini, Zua.

Kebahagiaan kami di tanganmu. Hanya di tanganmu, Zua.

Belakangan suaminya sudah tidak pernah berkata begitu lagi. Belakangan mereka bahkan nyaris tidak membicarakan apa-apa. Zua sibuk dengan pekerjaan rumahnya dan si kecil. Suaminya lebih banyak mengerjakan tugas kantor, baik yang dikerjakan di luar maupun dibawa pulang.

“Kau berubah,” kata Zua.

“Tidak, Zua, itu pikiran burukmu saja,” kata suaminya.

“Kau berbeda,” tukas Zua.

“Tolong jangan mengada-ada,” kata suaminya.

Lama-lama Zua juga tak lagi bertanya. Lama-lama Zua tahu kalau sebenarnya ia tak pernah bahagia. Lama-lama Zua merasa bahwa mereka semua tak tahu apa sebenarnya kebahagiaan itu. Pada saat itulah, di malam hari, saat suaminya sedang sibuk menyelesaikan tugas kantor atau sudah tidur di kamar atau tugas luar kota, Zua berdiri di dekat jendela di lantai dua rumahnya. Berjam-jam Zua berdiri di sana, di bawah sorot lampu yang redup, tanpa seorang pun tahu, tanpa seorang pun menyadari, kalau matanya sering menjelajah ke rumah-rumah yang sebagian besar menyisakan lampu teras tetap menyala atau ke jalanan yang sepi atau ke langit atau ke apa saja yang dapat membuat kepalanya berhenti berpikir tentang kegagalannya hidup bahagia.

Lalu pada malam ketika Luta berdiri di halaman, mata Zua menangkap sosok lelaki itu. Mereka sudah lama bertetangga. Namun, mereka jarang sekali saling berbicara. Seperti kebanyakan orang-orang yang tinggal di kompleks ini yang nyaris tak mengenal satu sama lain. Rumah yang pintu dan jendela-jendelanya selalu tertutup.

Jauh setelah malam itu, setelah ia kemudian juga ditangkap basah oleh sepasang mata Luta yang untuk kesekian kali berdiri di halaman, Zua tahu kebahagiaan itu tidak berada di dalam sebuah rumah, melainkan tepat berada beberapa meter di luar sana. Maka, ia pun mulai turun dari lantai dua rumahnya, membuka pintu depan, dan berdiri di halaman, dan sebaliknya, Luta memandanginya dari jendela. Bergantian. Seolah mereka janjian.

Berbulan-bulan, Zua dan Luta berbagi kebahagiaan dengan cara itu. Jika Zua menjadi jendela, maka Luta menjadi halamannya. Jika Luta jendela, Zua adalah halaman.

Tak lama, mereka saling memberi nomor. Saling menghubungi.

Tak lama, mereka sudah banyak sekali saling bercerita.

Tentang segalanya.

***

Selain resep jamur tumis, Luta memberikan banyak resep lainnya. Zua mencoba semuanya. Karena ia cinta Luta. Karena ingin Luta bahagia. Kata Luta, kau mau mencoba yang lain lagi? Zua ingin Luta tahu kalau ia mau melakukan apa saja. Sebab Luta ingin Zua bahagia, maka ia bersedia lari pagi di jalan kompleks (sementara Zua mengamatinya di jendela). Zua suka melihat badan Luta yang basah. Sebab Luta ingin memberikan semuanya. Apa pun yang ia bisa.

“Aku mau kamu,” kata Zua bergetar.

“Aku mau kamu,” kata Luta gemetar.

***

Sudah berhari-hari, Zua tak bisa lagi tertawa. Luta tak lagi tersenyum. Pada apa pun. Pada siapa pun.

Zua berkata di telepon, “Kenapa cinta ini tak lagi membuat kita bahagia?”

“Karena kau menginginkan aku,” ujar Luta.

“Apa cinta tidak boleh begitu?” tanya Zua.

“Mungkin tidak.”

“Tapi aku benar-benar menginginkan kamu,” kata Zua merasa nyeri.

“Lebih-lebih aku,” sahut Luta merasa sakit.

Di jendela dan di halaman, mereka saling memandang ngeri pada tengah malam yang sepi. []

 

Rumah Kinoli, 2018

Yetti A.KA
Latest posts by Yetti A.KA (see all)

Comments

  1. Kurliyadi Reply

    Asli keren, menggugah ceritanya,

    • Syefrianidar Reply

      Endingnya…

  2. Ilda Reply

    realistis.

  3. Anonymous Reply

    Mantaf

  4. WagiyoKresna Reply

    Apik tenan

  5. Tomo Reply

    Wew bagus👍

  6. Abdul rozak Reply

    Realis romantisisme

  7. Abdul rozak Reply

    Realis romantisisme 😍

  8. Rifki Reply

    Disambung dong kk2 ceritanya..

  9. Blodot Reply

    Fiktif,

  10. Didik Mujianto Reply

    Mantap jo

  11. Sri Maryati Reply

    Sukaaaa ceritanya

  12. Rainbowmoon Reply

    Nyeriiiiiii

  13. Anonymous Reply

    sedap sekalii

Leave a Reply to Syefrianidar Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!