Di hadapan kenyataan demikian,
tak seorang pun bisa membela filosofinya;
tak ada lagi yang membicarakannya selama ribuan tahun.
Gabriela Mistral
“Seorang penyair (juga cerpenis/novelis) yang dengan sengaja menggunakan metafora-metafora, nama-nama eksotis, dan jenis-jenis lain yang tak sesuai, bisa meraih efek yang sama dengan sebuah tujuan untuk membangkitkan tawa.”
Kutipan tersebut saya dapatkan dari buku Puitika: Seni Puisi karya Aristoteles (Basabasi, 2017). Tidak ada maksud pada diri saya untuk mencerca “kecupetan” berpikir Aristoteles. Maklumi saja bahwa memang akan sejenis itulah gaya pikir positivistik—kita kenal Aristoteles adalah bapak Logosentrisme yang merupakan cikal bakal Positivisme-Modernisme yang digaungkan Rene Descartes kemudian. Saya dan Aristoteles hidup di masa yang merentang panjang, sangat telak berbeda, sehingga wajar belaka bila ada bagian dari warisan pemikiran Aristoteles yang membuat saya kegelian.
Tulisan ini akan cukup panjang, karenanya akan dibagi dalam beberapa penayangan. Tema besarnya ialah usaha mewedarkan kegelisahan batin perihal: (1) Mengapa karya sastra kita (puisi, cerpen, novel) begitu terbelenggu oleh struktur-struktur berpuitika dan bercerita yang demikian-demikian saja? Bukankah membiarkan diri terus dibelenggu oleh struktur-struktur yang khas positivistik itu akan menyulitkan kita untuk menghasilkan karya yang mendobrak, melesat, meletus, menerjang, dan membebaskan? (2) Jika kegelisahan pertama telah diuntaikan, berikutnya, apanya atau bagaimana cara membebaskan diri?
Mimesis, Tradisi Sastra Kita, dan Kerinduan Mendobrak
Tak bisa disangkal bahwa karya sastra merupakan mimesis dari kehidupan seorang penyair atau cerpenis atau novelisnya. Mimesis adalah imitasi atau representasi dari suatu situasi yang melatari kelahiran karya tersebut. Aristoteles pun menyatakan demikian. Dan, sekali lagi, sulit memang untuk menampik kenyataan aksiomatis tersebut.
Cermati saja berbagai karya besar yang lazim kita baca atau sebutkan. Misal, Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez jelas merepresentasikan alam pikir Amerika Latin. Laila Majnun merepresentasikan alam pikir Timur Tengah. Naguib Mahfoudz menuliskan banyak kisah tentang jagat Mesir. Pablo Neruda juga berjibaku dengan khazanah lokalnya. Hingga Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, Paulo Coelho, Haruki Murakami, Pramudya Ananta Toer, Ahmada Tohari, dan Rendra.
Pada karya Pram, misal, betapa benderang kita menyaksikan semangat heroismenya atas belenggu kekuasaan zamannya. Nuansa pemberontakan berdenyar kencang di dalam karya-karyanya. Nyai Ontosoroh, misal, merupakan cerminan dari sosok perempuan cerdas yang tetap saja bersimpuh di bawah tirani patriarkis zamannya.
Sosok Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, misal, memperlihatkan degan pekat bagaimana nuansa sosiologis masyarakat pedesaan dan korelasinya dengan tradisi ronggeng dan perempuan.
Lain ihwal kalau kita kulik karya perempuan mutakhir, sebutlah Ayu Utami. Jagat pergaulannya yang lebih terbuka, luas, dan menghadiahkan dobrakan-dobrakan dominasi patriaskis membuatnya begitu leluasa meneteli belenggu-belenggu kelelakian, misal. Begitupun pada karya-karya Djenar Mahesa Ayu yang dengan tenang bagai pembunuh berdarah dingin memejakan idiom-idiom tabu sensitif yang muskil ditepikan dari jagat riil kehidupannya atau pencermatannya.
Saya lanjutkan dengan sosok Agus Noor yang kebetulan secara personal saya kenal dekat. Dalam cermatan saya, pencapaian kreativitas Agus Noor terbagi dalam dua babakan: pertama, masa di Jogja, kedua, masa di Jakarta. Era dia di Jogja, karya-karyanya bergaya surealis-realis wong cilik. Ia mengangkat fenomena-fenomena keseharian khas wong cilik yang kerap diekspresikan dalam gaya surealisme.
Serentak, gaya estetis Njogjani itu tergantikan ketika Agus Noor hidup di Jakarta. Pergaulan, intensitas, akulturasi, dan refleksinya sudah berbeda jauh. Ia bergeser secara estetis menuju gaya-gaya cerpen urban-realis. Cerpen “Kunang-Kunang di Langit Jakarta”, “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”, hingga “Selingkuh itu Indah”, menarasikan tema-tema urban itu dengan sangat kental. Ada dua mimesis yang melingkupi kekaryaan Agus Noor: mimesis Jogja dan mimesis Jakarta.
Seno Gumira Ajidarma pun demikian adanya. Buku kumcernya Saksi Mata dengan sangat intim menghikayatkan investigasinya pada kekerasan-kekerasan kemanusiaan di Timor Leste. Kemudian, nuansa itu bergeser ke ranah urban-metropolis dalam banyak cerpennya kemudian, sebutlah “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, hingga “Pelajaran Mengarang”.
Sampai di sini, terang sekali bahwa karya sastra sebagai mimesis yang bersumber dari lingkungan hidup seorang penulis tidaklah bisa dibantah. Benarlah Aristoteles atas fatwanya. Tetapi Jorge Luis Borges jelas tidak menyetujuinya—niscaya saya sitir kemudian.
Dengan kegelisahan yang saya munculkan di awal tulisan ini, apakah lantas sikap mimesis demikian merupakan suatu ketertinggalan, atau sebutlah statisme yang harus didobrak?
Dunia terus bergerak. Kemajuan teknologi telah melumat sekat-sekat lokal dan universal. Donald Trump di Amerika sana sangat mudah diobok-obok oleh orang-orang sosmed asal Indonesia dengan “Om Telolet Om” yang membuatnya pusing tujuh keliling. Suatu keadaan yang muskil terjadi di era Pram, Chairil Anwar, Danarto, dan Hamsad Rangkuti.
Pada lesatan zaman yang telah jauh berhijrah ini, dapat dibayangkan, bagaimana mungkin kita yang bekerja dalam dunia kreatif kesenian macam sastra tidak seturut melompat-lompat, menerjang-nerjang, menyeruak-nyeruak di hadapan struktur-struktur bercerita, misal, yang merupakan warisan lama, lama sekali itu?
Ini titik krusialnya.
Dapat dimafhumi pada satu sisi bahwa pergerakan pencapaian karya sastra kita hari ini diporosi oleh tradisi bersastra kita yang dihidupi oleh “sastra koran”. Sebuah tradisi lawas yang dirindukan karena menghidupi sekaligus dibenci karena membelenggu. Koran yang berbaik hati menyediakan kolom sastra (puisi dan cerpen) harus disyukuri telah melakukan “sedekah kapitalisme” kepada teks sastra di satu sisi, tetapi sekaligus harus dikritisi karena mendominasikan “homogenitas kreativitas” di sisi lain melalui setumpuk aturan, norma, dan rezim yang dijunjungnya dan harus dipatuhi oleh semua penulis sastra yang ingin karyanya bisa dipublikasikan. Satu sisi, para penulis sastra tertolong untuk terus eksis melalui media-media macam koran dalam mempublikasikan karyanya dan mendapatkan fee yang pantas dan sekaligus tidak pantas darinya. Itu tak bisa disangkal. Tetapi, belenggu gaya, tema, hingga struktur yang diterapkan oleh media massa yang jelas-jelas berkarakter aktualitas, instan, riuh, cepat, dan baku (bisa dibaca pendek secara space, dangkal secara kontemplasi, dan statis secara gaya estetik dan bercerita) menjadi problem utama yang amat serius pula.
Dengan fakta tersebut, secara sepihak, dapat dinarasikan bahwa karya-karya sastra koran secara umum adalah karya-karya yang tak terbebaskan, terintervensi, dan terbelenggu. Kematian Majalah Sastra Horison pada tahun 2016 menjadi nisan berikutnya bagi tiadanya ruang berkarya yang memerdekakan kreativitas. Koran menjadi ruang satu-satunya. Masih adakah harapan segar yang bisa kita sulurkan dari karya-karya yang lahir dalam keadaan terbekap seperti itu?
Skeptisisme ini memang rawan kontroversi. Saya maklum. Tetapi, mari renungkan, faktanya sungguh sulit menemukan cerpen koran yang memunculkan gaya yang mendobrak, menjebol, menghardik, menerjang, dan memberantas pakem-pakem bercerita yang kita warisi selama ini? Sulit—untuk tidak disebut sangat langka. Semuanya relatif hidup dalam fatwa lawas Aristoteles: “Seorang penyair (juga cerpenis/novelis) yang dengan sengaja menggunakan metafora-metafora, nama-nama eksotis, dan jenis-jenis lain yang tak sesuai, bisa meraih efek yang sama dengan sebuah tujuan untuk membangkitkan tawa.”
Saya kira, usaha-usaha untuk melakukan dobrakan-dobrakan atas belenggu tema dan struktur-struktur itu seminimnya sudah harus menyala di kepala kita, dalam wacana kita. Gerakan tersebut seyogianya telah tertancap sebagai kerinduan yang tak terperikan lagi. Perihal media publikasinya, hari ini, kita mujur berkat pertolongan teknologi memiliki beberapa media online yang memberikan kebebasan dekonstruktif, juga penerbitan-penerbitan indie yang membebaskan. Terbitnya buku novel Martin Suryajaya, Kiat Sukses Hancur Lebur, yang mendapat 3.5 bintang di Goodreads, menjadi jawaban segar bagi upaya-upaya dobrakan tersebut. Begitupun dengan akan terbitnya novel Asef Saeful Anwar, Alkudus, di Penerbit Basabasi—yang dari awal sampai akhir tidak memiliki dialog, narasi normal, dan karakter yang bercerita.
Kesadaran atas dobrakan-dobrakan ini tentu saja semata untuk merangsang munculnya karya-karya sastra yang bebas dari belenggu struktur-struktur bercerita. Belum lagi bila kita kulik perihal imajinasi yang seyogianya memang harus merdeka semederka-merdekanya. Misalnya dalam konteks tema.
(Bersambung)
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019