Keledai dalam Kitab Suci dan Puisi Mario F. Lawi

Data Buku:

Judul               : Keledai Yang Mulia

Penulis            : Mario F. Lawi

Penerbit         : Shira Media

Cetak               : I, 2019

Tebal               : 106 halaman

ISBN                : 978-602-5868-56-6

Keledai dalam Kitab Suci

 

Ecce rex tuus venit tibi

Mansuetus sedens

Super asinam,

Et pullum filium subjugalis

“Lihat, Rajamu datang kepadamu,

Ia lemah lembut dan mengendarai

seekor keledai,

seekor keledai beban yang muda.”

Teks Alkitab di atas saya kutip dari teks injil Matius 21:5 dalam Perjanjian Baru tentang ‘Yesus dielu-elukan di Yerusalem’. Lebih jauh lagi secara paralel dapat dilacak pada kitab nabi Zakharia 9:9 yang dalam Perjanjian Lama menubuatkan tentang datangnya Raja Mesias di Sion. Teks ini saya kutip sebagai rujukan dari mana keledai muncul dalam kisah hidup Yesus yang juga kemudian menginspirasi puisi Mario, Keledai yang Mulia.

Alkitab secara tekstual tersusun dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kitab-kitab Perjanjian Lama yang sesuai dengan keadaan umat manusia sebelum zaman pemulihan keselamatan oleh Kristus, mengungkapkan pengertian tentang Allah dan manusia serta cara manusia bergaul dengan Allah. Sedangkan Perjanjian Baru memuat peristiwa-peristiwa ilahi Yesus Kristus dan kesaksian kekal mengenai keselamatan dalam dan melalui kurban diri Sang Mesias.

Mengenai keterkaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini, dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum artikel 16 dikatakan, “Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru.” Dan juga  bahwa “Tata Keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia serta Kerajaan Al Masih.” (art. 15)

Kedatangan Yesus sebagai Mesias atau Kristus (yang terurapi) yang menandai darah-Nya sendiri pada perjanjian baru adalah ungkapan cinta kasih Allah yang luar biasa sempurna bagi manusia melalui pemenuhan nubuat-nubuat dan berbagai lambang yang ada di dalam Perjanjian Lama. Kegenapan nubuat ini juga termasuk dalam konteks teks injil Matius 21:5, yakni nubuat dan lambang mengenai Raja yang datang mengendarai keledai beban yang muda.

Narasi mengenai keledai ini dapat ditemukan di keempat injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) dalam kisah Yesus memasuki Yerusalem, tempat Ia kelak disalibkan. Yesus mengendarai seekor keledai tunggangan yang muda, yang belum pernah dipakai siapa pun. Peristiwa ini diperingati orang Katolik pada Hari Minggu Palma, satu minggu sebelum Hari Raya Paskah. Orang-orang bergembira dan meneriakkan ‘Hosanna!’. Mereka menyambut-Nya dengan melambai-lambaikan dedaunan palma, ranting-ranting zaitun, dan membentangkan pakaian mereka di jalan.

William Barclay, seorang ekseget Yunani ortodoks menafsirkan tindakan Yesus yang mengendarai seekor keledai sebagai tanda kerendahan hati dan damai. Di tanah barat, keledai adalah hewan liar yang dungu, sedangkan di timur keledai bisa menjadi binatang yang mulia. Kadang-kadang seorang raja bisa datang mengendarai keledai, tetapi ketika ia muncul itu artinya ia datang dalam damai.

Kuda adalah kendaraan perang, keledai adalah lambang damai. Sehingga ketika Yesus menyatakan diri sebagai Raja dengan menunggang keledai, Ia menyatakan diri sebagai Raja Damai. Ia menunjukkan bahwa Ia datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk mencintai; bukan untuk menghukum, tetapi untuk menolong; bukan dengan kekuatan otot, tetapi dengan kekuatan cinta.

 

Keledai-keledai Puitis

Puisi Keledai Yang Mulia adalah suatu pembacaan berbeda terhadap narasi alkitab, suatu tafsir baru terhadap posisi inferior keledai dan superioritas Kristus.

Pada bait awal puisi ini, pembaca langsung disuguhkan dengan posisi perspektif keledai yang unggul dan unik: Setelah menempuh perjalanan panjang, ia merasa/Telah menjadi Kristus. Dunia tampak/ Begitu kecil di bawah kakinya.

Sekalipun berdasarkan alusi biblikal, sosok keledai yang mulia berbeda dengan citra keledai yang dibangun dalam kitab suci. Ia menganggap dirinya begitu tampan, begitu berjasa, hingga anak-anak tak pantas menatap wajah sucinya, seluruh penghuni surga mendoakan keselamatannya dan semua makhluk bumi memuji kekudusannya. Beberapa kali keledai disapa dengan Tuan atau Tuan Keledai oleh Simon yang menjura di hadapannya atau oleh Si Tukang Kayu sendiri: “Tak lagi kubutuhkan tunggangan, Tuan./ Keledai belia tak berlapik yang kemarin/ Dibawa seorang sahabatku telah kukembalikan/ Kepada Si Penambat.” Keledai yang terpisah dari penunggang (Kristus) ini pun tidak membawa damai, sebab lambang damai dari sang keledai hanya dimiliki dalam kesatuan dengan Penunggang: Tubuh yang menyembuhkan diri ini, Tuan/ Hanya terpercik narwastu yang jatuh/ Dari kepala Si Tukang Kayu.

Di samping itu, narasi puisi tentang keledai yang berkomunikasi dengan manusia dan Yesus yang berkodrat Allah serta upaya keledai untuk menyelamatkan dunia menunjukkan citra keledai yang tak biasa, angkuh dan berbahaya: Maukah kau mengikutiku menyelamatkan dunia?

Si Keledai yang Mulia dalam puisi adalah antitesis dari keledai biblikal. Bila keledai biblikal adalah keledai yang telah dinubuatkan untuk menjadi tunggangan Kristus, keledai puitis ini diasosiasikan secara berbeda oleh penyair untuk menjadi Kristus sendiri. Bila keledai biblikal menjadi lambang kerendahan hati dari si penunggang, keledai Mario adalah lambang keangkuhan, upaya pencitraan dan glorifikasi semu diri sendiri. Bila keledai biblikal adalah pemenuhan nubuat Perjanjian Lama, Keledai yang Mulia ini menciptakan nubuat dan menggenapinya sendiri. Keledai Mario adalah keledai yang mulia, tapi liar.

Selain jejak keledai yang bisa dilacak dalam kitab suci, demikian pun tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam narasi puisi ini. Ketokohan dalam puisi Keledai Yang Mulia kebanyakan anonim. Anonimitas ini bukan berarti mereka terlepas dari konteks. Sosok mereka tetap dapat dicari referensinya dalam kitab suci dan juga sejarah.

Si Kusta yang di hadapan keledai menyebut dirinya Si Hina mengacu kepada Simon si Kusta yang berumah di Betania, tempat Yesus dan murid-murid-Nya makan bersama ketika seorang perempuan mengurapi Dia dengan minyak narwastu. Para Galilea atau sahabat-sahabat dari Utara mengacu kepada para murid dan bisa juga termasuk Yesus, sebab Galilea berada di bagian Utara Israel dan Yesus juga berasal dari sana. Ada banyak Simon dalam teks kitab suci dan konteks keyahudian, tetapi Simon Pemain Lira yang berulang kali dicatut namanya dalam puisi ini, mungkin saja mengacu pada Simon Bar Kochba, pemimpin revolusi Israel yang melawan Kerajaan Romawi pada tahun 132-135 M. Pada pemberontakan itu, orang-orang Israel memberi cap lira pada koin-koin Romawi sebagai tanda datangnya mesias/Kristus baru dalam diri Simon. Dan Tukang Kayu yang berdialog dengan keledai di akhir puisi, tentu adalah Yesus Kristus sendiri, yang menepis tawaran Si Keledai yang Mulia, dan meminta Yudas Iskariot, Si Pengkhianat untuk menuntun si keledai sampai tujuan.

Si Keledai yang Mulia pun kian yakin,

Setelah menyampaikan rasa terima kasihnya

Kepada pemilik rumah

Dan semua yang ada di tempat itu,

Setelah semua yang berjalan tanpa hambatan,

Setelah perjalanan baru yang akan ditempuhnya,

Dunia memang akan benar-benar diselamatkan.

Si keledai tiba setelah menempuh perjalanan panjang lantas bertemu Si Pandai Besi, kemudian dengan penjelasan Si Pandai Besi menuntunnya melalui sebuah perjalanan panjang lainnya untuk sampai di Bethania, dan setelah bertemu Si Tukang Kayu, keledai itu pun menempuh sebuah perjalanan baru. Namun si Keledai yang Mulia ini, seperti ziarahnya yang lain, tidak dituntun kepada apa pun selain ketiadaan bersama Iskariot, rasul yang mengkhianati Kristus. Kemuliaan yang ada dalam diri keledai lantas menjadi paradoks. Di satu sisi ia mendaku diri demikian, tetapi di sisi lain kemuliaan tidak datang dari keangkuhan melainkan dari kerendahan hati, persis seperti yang ditunjukkan oleh dan dengan penggunaan predikat Si Tukang Kayu untuk menggantikan nama diri Yesus Kristus sendiri.

Selain puisi Keledai yang Mulia, dalam kumpulan puisi ini juga termuat tiga puisi lain yang mengolah karakter keledai, yakni Seekor Keledai dan Seorang Pria, Sepasang Keledai dan Sebatang Pohon Ara dan Seekor Keledai dan Sebuah Patung Batu. Puisi Seekor Keledai dan Seorang Pria memetaforakan keledai sebagai subjek lemah dan menderita yang kadang tak diperhitungkan keberadaan dan pengorbanannya. Puisi Sepasang Keledai dan Sebatang Pohon Ara mempersonifikasi pohon ara sebagai ‘hakim’ atas hari sabat yang aturannya dilanggar oleh sepasang keledai. Sementara dalam puisi Seekor Keledai dan Sebuah Patung Batu, keledai ditempatkan sebagai saksi terhadap kehancuran Sodom dan Gomorah serta perubahan Istri Lot menjadi tiang garam. Meskipun masih dalam penafsiran yang sama tentang kisah sengsara Yesus dan tradisi Yahudi, ketiga puisi ini juga memperkaya pembacaan dengan caranya masing-masing.

Pengolahan karakter keledai dalam kumpulan puisi yang mutakhir ini bukan hal baru. Hal-hal mengenai keledai juga termuat dalam kumpulan puisinya yang lain, Lelaki Bukan Malaikat (2015).

Dalam kumpulan puisi itu, Mario mengolah dua puisi lain tentang keledai yakni: Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga dan Seekor Keledai di Depan Lubang Jarum. Kedua puisi itu muncul dengan tesis tentang seekor keledai hina yang berkeinginan besar untuk diselamatkan Penebus.

Beberapa puisi bahkan tidak secara spesifik menggunakan judul keledai, tapi tetap menggunakan alusi dan perspektif keledai untuk memperkaya pengolahan sudut pandang dan narasi. Hal ini dapat dilihat pada puisi Pergi dalam kumpulan Lelaki Bukan Malaikat: Dan ia selalu tahu, ia bukan/ Manusia atau Tuhan.// Ia hanya seekor keledai bahagia/ Sementara dalam puisi Berdiri di Belakangmu dalam kumpulan terbarunya ini, posisi keledai menjadi semacam inklusi terhadap monolog Bunda Maria kepada Yosep suaminya dalam perjalanan pengungsian ke Mesir. Puisi itu dibuka dengan: Biarkan keledai ini berjalan sesuai tenaga/ Yang dikumpulkannya. Dan penutup puisi mengacu kembali kepada sosok keledai secara implisit yang telah disebutkan di awal: Kita dapat kembali melanjutkan/ Perjalanan jika kau tak keberatan.

Alusi biblikal mengenai keledai ini juga sudah terdapat dalam kumpulan puisinya Ekaristi (2014). Dalam puisi Rosaria misalnya, Mario menyitir alusi mengenai orang kaya dan seekor keledai dijatuhkan dari langit perumpamaan untuk memperjelas perbedaan antara gerbangmu yang membuat aku-lirik (Adam?) turut terusir dan lubang jarum yang tengik. Atau pada Sepuluh Perempuan dan Pelita, Mario mengolah sisi konflik batin pengorbanan perempuan-perempuan bagi mempelai pria dalam bait berikut: Telah kami jahit/ Telapak kami yang sakit/ Dan kami bentangkan bagi jalan/ Keledaimu di tengah pekik Hosana.

Keledai barangkali akrab dengan Mario. Dalam Mendengarkan Coldplay (2016), alusi mengenai keledai melengkapi tafsirannya terhadap lagu-lagu band Coldplay melalui puisi yang kental dengan budaya Sabu dan juga tradisi kekatolikan. Sebut saja puisi Paradise, Life In Technicolor atau Cemeteries of London. Keledai ditampilkan sebagai lambang kerapuhan dan kelemahan, tetapi justru yang rapuh dan lemah itu yang setia menunggu di gerbang kota tua yang hancur dan dikirim ke surga.

Keledai-keledai dalam puisi-puisi Mario memperoleh karakter yang berbeda-beda yang tampil dengan amanatnya sendiri dan meninggalkan kesan yang unik bagi pembaca sesuai dengan semesta penafsirannya.

Puisi-puisi Lainnya

Seperti Mario F. Lawi, banyak penyair yang mengambil narasi alkitab sebagai sumber tenaga puitik dan sekaligus turut memperkaya penafsiran mereka terhadap kisah-kisah Alkitab. Sebut saja Avianti Armand, Cyprian Bitin Berek, Giovanni Arum, Adimas Immanuel, untuk menyebut beberapa nama. Avianti Armand dalam kumpulan puisi Perempuan yang Dihapus Namanya (2017) secara tertentu mengolah karakter secara umum dari sebuah kejadian sekaligus menunjukkan keberpihakan dan kritikannya secara gamblang, baik pada konteks patriarki Yahudi yang kental maupun pada diskriminasi kaum perempuan sekarang ini. Cyprian cenderung menuliskan hal-hal yang tak dimunculkan atau dikilaskan secara sepintas pada kitab suci, misalnya dalam puisi Istri Lot atau serial puisi Kain atau dalam puisi Pertarungan di Pniel. Cyprian mengolah konflik batin tiap karakter tokoh alkitab yang ‘tersisih’ dalam narasi. Namun, Mario selalu mengambil perspektif yang berbeda dalam berpuisi. Mario mengolah sudut pandang penceritaan yang tak lazim. Ia mengambil perspektif Keledai, Pohon Ara, seorang ibu dan bahkan Tuhan yang dikembangkannya secara imajinatif dan terukur tanpa terlepas dari konteks atau ‘Sitz im Leben’ orang Yahudi.

Mengolah teks-teks kitab suci tampaknya adalah jalan kepenyairan Mario. Atau bisa juga sebaliknya, berpuisi adalah jalan keberimanan Mario. Kitab suci bukan momok yang menakutkan untuk didekati dari perspektif sastra dan diinterpretasi secara imajinatif. Puisi-puisi Mario juga tidak bertendensi untuk mengacaukan teologi dan sesat.

Eksplorasi yang dilakukan Mario menunjukkan bahwa inti amanat kitab suci tidak dibatasi oleh sekat-sekat keagamaan. Seperti yang dikatakan Sapardi Djoko Damono dalam komentarnya terhadap kumpulan puisi Lelaki Bukan Malaikat (2015), “Mario Lawi dengan terampil telah memindahkan inti amanat Kitab Suci ke puisi dan menawarkannya kepada pembaca sebagai penghayatan dan pengalaman baru yang tidak perlu dibatasi oleh keyakinan apa pun.”

Tak hanya mengolah khasanah Alkitab, Mario pun mengolah hal-hal yang umum dan akrab. Ia mengolah karakter komik ke dalam puisi, yang dapat kita baca pada Obituari Seorang Kakak yang berangkat dari tokoh Ace dan Luffy dalam komik One Piece, atau Kematian Seniman Tanah Liat yang terinspirasi dari karakter Deidara dalam komik Naruto, dan juga karakter Shinigami dalam Death Note melalui puisi Kedatangan Dewa Kematian.

Sosok Mario yang romantis pun dapat ditemukan dalam beberapa puisi seperti serial puisi Sweetheart 1-5, Mengabaikan Sungai dari Puncak Bukit ataupun dalam puisi panjang Hujan, Malam, Jatuh:

“Seperti apa rasanya jatuh?”

“Kau tak pernah jatuh?”

“Tidak.”

“Seperti mencintaimu.”

Gaya ungkap Mario yang penuh alusi biblikal tak terlepas dari eksplorasinya terhadap tiap tema. Daya puitisnya yang magis tercermin baik dalam puisi-puisi panjangnya ataupun dalam puisi-puisi pendek, seperti puisi Setelah Sebuah Jalan atau Hiri, yang lariknya dapat kita ulang-ulang seperti mendaraskan litani: Kaularungkan doa dari pesisir diri/ Dengan perahu yang kaukayuh sendiri. Kita mengulangi itu seperti mendaraskan puisi Rafael dalam kumpulan puisinya Ekaristi: Ke matamu yang ceruk, Tobia berenang/ Menyelamatkan sang ikan yang lupa jalan pulang.

Hanya saja tata letak puisi dengan menempatkan ruang kosong yang begitu berjarak antara judul dan isi puisi agaknya mengganggu dan tidak seimbang. Selain itu, ilustrasi yang diselipkan juga terkesan hambar. Di samping ilustrasi Keledai yang Mulia yang dijadikan cover buku, lima ilustrasi lainnya untuk 62 puisi dalam kumpulan ini kurang menarik dan dapat saja dilewatkan dalam proses membaca tanpa menambah apa pun.

Diterbitkan tahun 2019, agaknya pembaca buku-buku puisi Mario juga tak menemukan puisi-puisinya yang ditulis belakangan dalam kumpulan ini. Menilik dari titimangsa yang tertera di hampir tiap puisi, pembaca hanya menemukan satu puisi yang dibuat pada tahun 2018, dan beberapa di tahun 2017. Sisanya adalah puisi-puisi yang periode tahunnya dapat dimasukkan dalam periode buku Lelaki Bukan Malaikat (2015) atau pada Ekaristi (2014), bahkan mungkin Memoria (2013), terlepas dari kumpulan puisinya yang tematis Mendengarkan Coldplay (2016).

Pada akhirnya, di hadapan Mario, puisi adalah jalan yang rebah untuk menemukan Tuhan dan mewartakan kebenaran kepada sesama. Dan keledai yang mulia dalam kumpulan puisi teranyarnya ini tak mungkin menjadi Tuhan, tapi barangkali adalah tunggangan bagi pembaca untuk menziarahi puisi-puisi Mario yang mulia ini. Semoga.

Saddam HP

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!