Rendra, pujangga berambut elok. Ia pun pemuja rambut dalam gubahan puisi-puisi. Rendra dengan rambut gondrong atau pendek tetap lelaki idaman, pemilik pikat puitis. Pada puisi berjudul “Setelah Rambutmu Tergerai”, Rendra memuji: Rambutmu yang rimbun tergerai/ bagaikan pelepah palma menyentuh rumputan/ maka teduhlah pangkuanmu/ dan kegelisahanku menggeletak di situ. Pemilik rambut itu perempuan terpandang molek oleh mata pujangga. Perempuan mendapat umpama terpuitis dari lelaki asal Solo, lelaki sering “menjatuhkan” hati kaum perempuan seantero Indonesia. Pada rambut, Rendra menggoda dan berserah.
Puluhan tahun lalu, Rendra menulis rambut sendiri. Pada puisi berjudul “Rumah Andreas”, puisi dokumentatif kejadian jarang terbaca dalam deklamasi atau ulasan kaum kritikus sastra. Bait mengenai rambut berumpama: “Willy betul sudah mandi?” tanya Andreas./ Saya menguap dan tertawa./ “Rambut Willy selamanya begitu./ Seperti daun cemara.”/ Begitu istrinya bercanda. Puisi berkelakar mencatat pujian bagi rambut milik lelaki sering tebar sihir di panggung teater. Lelaki dengan rambut seperti daun cemara: gagah dan puitis.
Rendra tak menghabiskan hidup dengan menulis rambut di ratusan puisi. Ia menulis rambut tanpa ketetapan menjadi aliran atau mode minta ditiru para pujangga dari masa 1950-an sampai 1990-an. Rendra “berambut” puisi, mengisahkan Indonesia helai demi helai. Puisi berambut panjang atau gondrong memberi imajinasi “rimbun”, memukau mata dan melembutkan pengisahan. Pada masa lalu, Rendra sadar rambut dalam penampilan dan ketekunan bersastra. Masa lalu itu tak menjadikan Rendra sebagai bintang iklan untuk shampo atau obat rambut. Rambut elok belum masuk ke selebrasi komersial. Rambut sang pujangga justru tersimpan di puisi-puisi.
* * *
Petikan dari puisi Rendra mengenai “rambut rimbun” pernah terpamerkan ke pembaca dalam iklan di majalah Sin Po, 1 November 1930. Rambut panjang milik perempuan tampak memukau meski Indonesia sedang dilanda maleise atau “zaman meleset”. Rambut milik perempuan tanpa pernah diperlihatkan wajah ke pembaca. Iklan mementingkan rambut, bukan wajah. Rambut lurus sepanjang 129 cm. Dulu, rambut panjang itu idaman kaum perempuan.
Penjelasan panjang di iklan: “Boeat bikin ramboet djadi pandjang, gemoek, item, toemboe dengen lekas, paling baek orang pake Hair Lotion. Lihatlah boektinja di sabelah dari apa jang sasoedanja dan sabelonnja pake Hair Lotion. Hair Oil ada minjak jang baek sekali boeat memelihara ramboet. Banjak kali berboekti dengen tjepet boeat bikin ramboet djadi gemoek, pandjang, item dan toemboe dengen soeboer. Djoega dipakenja dingin dan bisa ilangken atawa menjegah ketoembeh dan rontoknja ramboet.” Iklan buatan Chun Lim & Co di Batavia itu mengukuhkan anggapan perempuan cantik berarti memiliki rambut panjang. Pemeliharaan rambut panjang jarang murah. Duit dan ketekunan keramas membuat rambut selalu indah.
Kaum perempuan di tanah jajahan mulai diajak belanja shampo atau obat-obat rambut. Gagal merawat rambut panenlah ketombe. Malas dan menelantarkan rambut bakal mendapat kutukan jamaah kutu. Rambut perempuan berkutu lumrah menjadi cerita terwariskan di Jawa. Bocah perempuan sampai ibu-ibu biasa memiliki kutu di rambut. Kepemilikan kadang membikin malu. Kutu pun mengajak kaum perempuan bersekutu mengadakan petan di emperan, di bawah pohon, atau dekat sumur. Perburuan kutu alias petan terjadi di waktu senggang. Petan, peristiwa memuat gosip, tawa, keluhan, dan lamunan. Perempuan di Jawa tak mahir memburu kutu gampang dituduh belum memenuhi kaidah dalam persekutuan di waktu senggang.
Mereka mungkin ingin memiliki rambut panjang: indah dan kemilau. Keinginan tak tercukupi cuma dengan ramuan dedaunan. Pada zaman modern, obat atau shampo berdatangan dari Eropa. Jurus memiliki rambut mulai berkiblat ke negeri asing. Tata cara tradisional Jawa, India, atau Tiongkok ditandingi puja rambut khas Eropa melalui penampilan para bintang film di iklan-iklan. Pengetahuan rambut pun diperoleh melalui menonton film atau melihat dandanan perempuan Eropa di tanah jajahan. Iklan di Sin Po itu selingan dari rebutan propaganda rambut bagi kaum perempuan ingin berambut rimbun tanpa ketombe dan kutu.
Perempuan di Indonesia gampang tergoda imajinasi ingin seperti perempuan di Eropa atau Amerika. Pada masa 1950-an, rambut itu semakin menjadi sasaran. Kaum perempuan dihebohkan model rambut keriting, rambut bercerita kemodernan, kebebasan, dan kecantikan terbaru cap internasional. Rambut panjang lurus dan bergelombang mendapat saingan keritingisme. Kebiasaan perempuan membuat sanggul diejek keritingisme.
Pada 1958, terbit buku berjudul Alat Tjantik: Mengerdjakan & Reparasi Alat-Alat Tjantik susunan Abdul Kadir. Rambut itu tanda kuno atau modern. Rambut bercerita selera lokal atau internasional. “Mungkin seluk beluk mengenai tudjuan pesawat keriting rambut itupun masih asing sekali bagi kaum wanita di Indonesia jang teguh pada pendiriannja untuk mempertahankan rambutnja jang pandjang terurai indah itu,” tulis Abdul Kadir. Rambut panjang mulai digantikan rambut pendek keriting. Pilihan mode itu menggegerkan adat dan penalaran revolusi bercorak Indonesia. Rambut menguak nafsu konsumsi dan pertarungan ide-ide pembentukan kepribadian Indonesia. Semula, perempuan-perempuan berambut lurus dan panjang rela antre ke salon-salon demi memiliki rambut keriting. Konon, keriting itu modern! Rambut di Indonesia masa lalu teringat saat dunia mulai menginginkan cerita-cerita baru rambut dengan tokoh-tokoh baru memamerkan seribu dalih: dari kemelaratan sampai kemanusiaan.
Sekian tahun sebelum buku itu terbit, kaum perempuan diajak berkeriting dengan iklan di majalah Pandji Poestaka, 20 Maret 1943. Keriting tak langsung bersumber dari Eropa atau Amerika Serikat. Keriting diperantarai dari Tiongkok. Bisnis mencipta keriting menular di Batavia. Lihat, perempuan dengan rambut kering itu menandakan cantik! Perempuan ingin cantik wajib merenungi pesan di iklan. Shanghai mengumumkan telah teruji dan terbukti membuat rambut perempuan dari lurus menjadi keriting: “Soedah lima tahoen berpengalaman, selaloe mendapat poedjian dari oemoem.” Tawaran mengeritingkan rambut bergantung setoran duit untuk menghasilkan keriting indah dan awet. Keriting itu fana. Si pengiklan mengatakan: “Ramboet ditanggoeng tetap bagoes 8 boelan lamanja.” Perempuan ingin berambut keriting wajib berduit agar sanggup cantik sampai 8 bulan. Keriting pun memunculkan ketentuan memiliki sisir tak sembarangan. Di mata, keriting masih mengesankan rimbun asal tak menjadi tempat kutu berpesta pora.
* * *
Perkara rambut tak cuma memusingkan kaum perempuan. Kaum lelaki juga memiliki tata cara atau ritual memiliki rambut terindah meski pendek. Iklan-iklan mengenai rambut bertebaran di majalah-makalah, tak ingin mengalahkan seru pengisahan rambut milik perempuan. Di zaman “kemadjoean”, rambut kaum lelaki jarang panjang. Mereka memilih rambut pendek terlihat kelimis demi pengesahan lelaki necis. Kaum lelaki Indonesia tergoda meniru kaum lelaki Eropa bermisi mencipta diri memikat di hadapan perempuan. Rambut dari masa lalu bisa dilihat dari foto-foto pemimpin bangsa dan pujangga tenar. Tampilan rambut sulit diteladani tampak pada Muhammad Yamin. Rambut terlalu puitis tentu milik Chairil Anwar.
Kita belum pernah mengetahui para lelaki itu merawat rambut dengan shampo dan obat buatan luar negeri atau memilih cara tradisional. Pada masa 1950-an, lelaki ingin memiliki rambut menandai keparlentean dan meninggikan gengsi saat Indonesia beringin revolusi. Rambut pun terkena embusan revolusi. Iklan obat rambut bagi lelaki dipasang di majalah Merdeka edisi 18 September 1954. Iklan berukuran besar mengajak para lelaki “merdeka” dari rambut lusuh atau berantakan. Kolonialisme telah berakhir. Rambut pun harus terbebas dari penjajahan buruk, ketombe, dan kotor.
Gambar lelaki bertampang asing, bukan wajah khas Indonesia. Ia memiliki rambut dicap bagus dan baik. Kaum lelaki Indonesia iri ingin memiliki rambut seperti di kepala para lelaki Eropa? Belilah dan pakailah obat rambut seperti di iklan! Keuntungan menggunakan obat rambut merek Brylcreem: “memberi tjahaja jang indah pada rambut dan selalu memeliharanja sehat.” Kaum perempuan bisa silau melihat rambut memancarkan “tjahaja.” Apa “tjahaja” justru penentu perempuan terpikat di asmaranisme? Obat itu juga memberi keuntungan lanjutan: “selamanja menanggung rambut rapi dan rambut sehat selamanja.” Iklan berbeda dari penganut paham keritingisme bagi perempuan di masa 1930-an cuma bertahan 8 bulan. Iklan obat rambut di Merdeka menginginkan “rambut rapi dan sehat selamanja.” Slogan ingin melampaui bohong.
Obat rambut itu cenderung digunakan lelaki kantoran, berpendidikan, dan memiliki kesadaran berkota. Para lelaki berpredikat buruh, pedagang pasar, dan petani jangan terlalu menginginkan memiliki rambut dengan “tjahaja.” Urusan merawat rambut sulit murah jika memaksa meniru para lelaki bergengsi dan neci di kota. Lelaki memiliki rambut tanpa olesan obat dan krim menjadikan klimis, wangi, dan rapi tak bakal “diharamkan” mendapat pujian dari kaum perempuan. Rambut liar, berantakan, dan gondrong kadang menentukan nasib atau peruntungan berbeda dari para pemuja klimisme.
* * *
Indonesia pernah memiliki babak bersejarah saat kaum lelaki memuja rambut gondrong. Wabah gondrongisme menular dari film dan musik Eropa dan Amerika Serikat. Dulu, lelaki gondrong pernah ada di lakon revolusi. Lelaki gondrong teranggap revolusioner. Pada masa berbeda, gondrong itu ideologi, perlawanan estetika, sindiran, dan pembaratan. Di mata pemerintah, para lelaki berambut gonrong dihajar dengan pidato, gunting, dan khotbah. Gondrong menjadi petaka berdalih kepribadian, nasionalisme, dan kekuasaan. Persekutuan birokrasi dan militer mengarah ke penumpasan rambut gondrong milik para lelaki berstatus seniman, mahasiswa, pengangguran, atau preman.
Indonesia pernah repot mengurusi rambut gondrong. Konon, rambut gondrong menodai pembangunanisme. Rambut gondrong dituduh bercerita kriminal. Gondrongisme merongrong kekuasaan. Lelaki pamer rambut gondrong membuktikan kerapuhan keluarga dan etika sosial. Pelarangan rambut gondrong pun membuat sejarah di Indonesia. Sejarah itu dituliskan Goenawan Mohamad dalam puisi jarang terbaca umat sastra di Indonesia. Puisi terbiarkan menghuni majalah lama, tak berniat ditampilkan ulang di buku.
Puisi itu berjudul “Ode untuk Rambut Gondrong” dimuat di majalah Horison edisi Oktober 1973. Puisi digubah pada bulan September 1973. Esais dan pujangga berambut sulit disahkan apik itu menulis: Di Republik Tukang Cukur/ Mereka berseru: ukur & atur!/ Pasukan-pasukan berdefile/ Mengguntingmu, membasmi ketombe// Dan kau pun gugur, tanggal/ Rambut tak dikenal/ Siapakah yang menangisimu,/ Martelarku? Kutu-kutumu?
Puisi enggan bersaing dengan puisi-puisi gubahan Rendra. Goenawan Mohamad turut menulis rambut di sejarah Indonesia meski tak seanggun biografi dan puja rambut di perpuisian Rendra. Rambut menghuni puisi, bergerak menjauh dari iklan-iklan menebar ilusi. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022