SAAT rumah di sudut gang dikontrak Lik Tarko, seorang pawang hujan, beberapa orang kampung menampakkan perangai tak suka. Hari pertama Lik Tarko membawa keluarganya pindah rumah, dalam kenduri yang diselenggarakan, orang-orang melihat banyak pusaka keris terpasang di dinding kamar yang kosong. Hanya hamparan tikar dan aglo pembakaran kemenyan di kamar itu. Ada sebuah meja dengan sesaji kembang setaman dalam gelas berisi air. Orang-orang sempat menatap di dinding kamar itu bertengger wayang Semar.
Melihat keris pusaka, sesaji, dan aglo pembakaran kemenyan, Sadewa membisik pada Lik Tarko, “Kau seorang pawang hujan? Iya? Kebetulan sekali, ibu akan menikahkan saudara kembarku, Nakula, akhir minggu ini. Tolong, pada malam pernikahan itu jagalah agar tidak turun hujan.”
“Baik. Semalam sebelum hari pernikahan, saya akan melakukan ritual agar tak turun hujan,” balas Lik Tarko.
“Mudah-mudahan terkabul tidak turun hujan. Ada panggung musik setelah malam pernikahan,” kata Sadewa. Lik Tarko, lelaki yang mulai keriput wajahnya, mengangguk-angguk. Sepasang matanya kelabu. Tubuhnya kurus. Beberapa helai uban menyisip di antara rambutnya yang lurus.
Sepulang dari rumah Lik Tarko, sambil membawa sebesek nasi kenduri, Kang Moncrot menghasut orang-orang kampung yang meninggalkan pelataran rumah Lik Tarko. Pandangan matanya memancarkan kebencian. Wajahnya tegang, dan menampakkan kemarahan, “Kita kedatangan seorang dukun. Kampung kita akan kena kutuk.”
“Selama kita tak memusuhinya, tentu dia akan jadi sahabat,” tukas Sadewa.
“Kita usir saja dia! Membuat kampung kita kotor!” kata Kang Moncrot.
Orang-orang yang meninggalkan rumah Lik Tarko terhanyut kemarahan Kang Moncrot. Mereka turut menciptakan kegaduhan. Orang-orang yang suka nongkrong di gardu ronda malam hari, mulai marah pada Lik Tarko.
***
PERGELARAN musik yang merayakan pernikahan saudara kembar Sadewa ramai dihadiri orang-orang. Semula langit mendung, gelegar guruh dan angin berhembus menggetarkan tenda yang dipasang di pelataran rumah. Ketika Lik Tarko membaca mantra di belakang rumah Sadewa, membakar kemenyan dalam anglo, dengan seonggok lidi yang ditusukkan bawang merah dan cabe di sisinya, langit menjadi tenang. Hanya daerah di sekitar rumah Sadewa yang tak turun hujan.
Daerah di sekitar kampung turun hujan deras, angin berpusar, guntur menggelegar. Hingga tengah malam pelataran rumah Sadewa penuh dihadiri orang-orang: penonton dan tamu undangan. Orang-orang tak pernah sadar, bila di belakang rumah Sadewa, Lik Tarko menggelar tikar seorang diri, terus-menerus semadi, merapal mantra, dan menghisap rokok. Asap dupa terus membubung.
Kang Moncrot yang curiga dengan kemeriahan panggung, mulai bergerak mencari-cari pawang hujan itu. Ia tak melihat Lik Tarko. Sadewa menyambut Kang Moncrot dan meminta duduk di deretan kursi undangan. Tapi Kang Moncrot tak tenteram duduk di antara tamu undangan. Ia mencari-cari Lik Tarko di antara tamu-tamu yang duduk menikmati hidangan dan menonton penampilan penyanyi. Ia ingin mengusir lelaki tua itu bila berada di sekitar pementasan musik yang sedang digelar.
Di antara orang-orang yang mendekati panggung, Kang Moncrot tak melihat Lik Tarko. Ia curiga, Lik Tarko sedang merapal mantra untuk menahan hujan. Ia mengelilingi rumah Sadewa. Mencapai belakang rumah, ia hanya melihat hamparan tikar dengan segepok lidi ditusukkan bawang merah dan cabe. Sama sekali ia tak melihat Lik Tarko yang bersemadi. Ia hanya mencium aroma kemenyan dibakar.
“Seharusnya kutemukan ia di tempat ini,” kata Kang Moncrot. “Ia tak bisa sembunyi dariku.”
Orang-orang masih menonton pergelaran musik di pelataran rumah Sadewa. Orang-orang terus berdatangan, hingga tengah malam, ketika panggung itu senyap, Kang Moncrot tidak menemukan Lik Tarko. Ia mesti pulang. Aroma kemenyan mulai tipis tercium, dan lenyap. Gerimis turun. Mula-mula rintik. Gerimis itu kian tajam dan deras. Kang Moncrot berlari pulang. Hujan turun sangat deras. Tak ada lagi penonton dan tamu undangan di pelataran rumah Sadewa. Hujan bergemuruh disertai angin kencang. Sungai kecil di tepi kampung mengalirkan air keruh dan menghanyutkan tebing. Longsor.
***
DATANG Lik Tarko ke rumah Sadewa, sehabis senja. Wajahnya tampak sedih.
“Besok kami pindah ke desa. Kami akan menghabiskan hari tua di sana,” kata Lik Tarko, beserta istri, yang datang berpamitan ke rumah-rumah tetangga. “Kalau memang perlu memanggil saya untuk pawang hujan, akan saya upayakan datang.”
Sadewa merasakan kesepian setelah Lik Tarko dan istrinya meninggalkan ruang tamu. Ia akan kehilangan seorang lelaki tua yang memiliki kisah bisa mengalihkan hujan.
Hanya Sadewa yang ikut mengantar keluarga Lik Tarko pindah rumah. Ia mengendarai mobil, mengantar keluarga Lik Tarko. Ia mencapai sebuah desa sunyi di lereng gunung. Lik Tarko menempati rumah besar warisan orangtuanya, yang selama ini terbengkelai tanpa penghuni semenjak ayahnya meninggal. Tampak rumpun-rumpun bambu apus rimbun di sekeliling kebun. .
“Saya akan mengolah sawah dan ladang, seperti hidup pada masa kecil.”
Siang itu Sadewa meninggalkan pelataran rumah Lik Tarko yang tenteram. Ia sempat memandangi wajah Lik Tarko, istri, dan kedua anaknya yang tampak teduh. Tidak seperti wajah-wajah tetangganya yang memendam ancaman. Tiba kembali di kampung tempat tinggalnya, Sadewa merasa sangat sepi, dan saat memandangi sudut gang, bekas rumah yang dikontrak Lik Tarko.
Rumah kontrakan Lik Tarko itu kosong. Belum ada lagi orang baru yang mengontrak rumah itu. Sesekali Sadewa keheranan pada sore ketika melintasi rumah itu, mencium harum kemenyan yang terasa pekat, berasal dari kamar tempat Lik Tarko bersemadi.
***
SADEWA menjemput Lik Tarko pada malam pengajian di pesantren Kiai Maksum. Sadewa seorang santri yang dibesarkan Kiai Maksum. Malam itu orang-orang ramai mengunjungi pengajian. Tamu-tamu terus berdatangan. Orang-orang terus memenuhi pelataran pesantren. Lik Tarko menyusup di antara orang-orang yang hadir dalam pengajian. Ia hadir sebagai seorang pawang hujan. Sadewa yang memintanya untuk mengusir awan, dan menjaga pesantren agar tak dibasahi hujan. Ketika langit mendung, angin basah, Sadewa mendekati Kiai Maksum di bawah panggung.
“Perlu saya undang pawang untuk mencegah hujan?” bisik Sadewa pada Kiai Maksum. “Kalau Kiai menghendaki, ia akan segera menjaga tempat ini tetap kering!”
“Duduk saja di tempatmu,” kata Kiai Maksum. “Hujan tak akan mencapai pesantren ini!”
Di bawah panggung, Lik Tarko menanti Sadewa mendekatinya, dan memintanya untuk semadi di sudut pesantren yang senyap: mengusir awan agar menjauh dari pesantren. Ketika Sadewa mendekati Lik Tarko, pawang hujan itu paham akan keteguhan hati Kiai Maksum yang tak memerlukan kehadirannya.
“Kau bekerjalah diam-diam menghalau awan untuk melindungi pesantren agar tidak turun hujan!” pinta Sadewa.
Di bawah panggung itu, Lik Tarko memandangi Kiai Maksum yang merokok, dan menghembuskannya: serupa yang dilakukan pawang mengusir hujan. Ketika Kiai Maksum berceramah, setiap gerakan tangannya seperti kibasan angin yang memiliki kekuatan dahsyat untuk menepiskan awan-awan. Lik Tarko takjub dengan gerakan-gerakan tangan Kiai, seperti mendorong hujan untuk menjauh dari pesantren. Selalu berulang, gerakan-gerakan tangan kiai serupa kibasan-kibasan angin yang mengusir mendung. Ketika pengajian selesai pada tengah malam itu, orang-orang meninggalkan pesantren, langit mendung, tetapi tak turun hujan.
Lik Tarko buru-buru mendekati Kiai Maksum yang turun dari panggung. Mencium tangannya, “Izinkan saya berguru pada Kiai.”
“Aku tak mengajarkan apa pun selain mengaji,” kata Kiai Maksum sambil menjajagi perasaan pawang hujan yang baru ditemuinya ini.
“Saya akan mengikuti apa pun yang Kiai ajarkan,” tukas Lik Tarko. Sadewa yang berada di dekat Kiai Maksum, memandangi heran perilaku pawang hujan itu.
***
Pandana Merdeka, Maret 2022
- Sirep - 30 August 2024
- Fahmara Terapung di Laut Aegea - 13 January 2023
- Iblis Menjelma Senapan Berburu - 16 September 2022
Fateema_Cholis
Terlena dibuatnya👍
Cannifalrifal
SUHU
Usdhof
Sae saestu… Kejutan dibelakangnya yang tak terduga