“Pokoknya, Rizki jangan sampai ikut main kalau tidak patuh pada perintahku!” Muka Mamat tidak jadi seram meskipun dia mendelik, bahkan dengan suara lantang seperti menghardik sekalipun.
“Lah, bagaimana mungkin, dia kan kiper, Mat?” sahut seseorang dari belakang kerumunan.
“Kalau ngeyel, tetap nggak boleh, nanti kukiperi sendiri,” sungut Mamat, sang senior yang diangkat pelatih oleh kawan-kawannya, yang kayaknya sudah mulai lupa kalau dia sendiri tidak jago main bola, kecuali di Play Station. Amarah telah menguasainya. “Kecuali patuh pada perintahku dengan cara ganti kostum warna putih, dia tidak boleh main! Titik!” lanjutnya.
Semua pemain terdiam dengan pertanyaan di hati, bagaimana urusan kostum jadi ribet begini. Lantas Mamat memanggil Rizki, membisikkan sesuatu. Heran, Rizki mengangguk-angguk, lalu tertawa gelak-gelak. Pemandangan aneh. Situasi tegang begini, mereka berdua malah ngakak.
***
Otot-ototan antara pelatih dengan para pemain Tim Al-Falah saat akan menjamu kesebelasan Annajah itu terjadi beberapa menit sebelum pertandingan dimulai. Sesungguhnya, situasi seperti ini adalah sejenis kekalahan sebelum bertanding. Saat mental mestinya siap bertanding, yang ini malah bikin kericuhan.
Laga bola antarpesantren ini memang diberi nama “persahabatan”, sesuai dengan misi sepak bola mula-mula. Kalah tidak penting, menang tidak penting, bertanding adalah untuk senang-senang supaya yang sungkan jadi akrab, lawan pun jadi sobat. Siapa tahu nanti, setelah salah seorang pemain kena tekel, ia jadi lebih akrab karena bisa saling sapa dari jarak yang lebih dekat.
Liga Sepak Bola Pesantren sebetulnya hanya liga senang-senang. Mengingat hadiahnya tanpa trofi dan buku tulis, mestinya para pemain emoh kalau harus terlalu serius bermain, tapi yang terjadi ternyata tidak demikian. Adu kekuatan lahir batin sangat terasa. Aroma ketegangan dan gengsi sudah tercium bahkan sejak di luar lapangan.
Di seluruh penjuru dunia, sepak bola telah memangkas banyak kesenjangan sosial—begitu awalnya, entah sekarang. Inti pertandingan adalah persahabatan—entah sekarang. Dalam pertandingan bola tarkam (antarkampung, atau di pesantren), kalah menang betul tak penting jika ditinjau dari segi hadiah yang terkadang hanya berupa sorak-sorai dan tepuk tangan, namun ada piala yang tak tertulis dan tidak tercantum di sana, yaitu kebanggaan. Ya, kebanggaan saat menang dalam laga persahabatan antarpesantren seperti yang akan dilangsungkan ini sudah lama terjadi. Itu bukan soal juara atau tidak, adu kemampuan atau tidak, lebih dari itu, peserta pertandingan ini adalah dua tim yang disegani oleh tim-tim dari pesantren lain. Mereka berdua sama-sama punya orang sakti di luar lapangan. Kehebatannya bukan hanya urusan kaki dan kepala serta kecerdasannya, tapi juga urusan batin.
Tim Annajah itu monster. Mereka pernah menang 7-0 melawan tim ponpes lain. Apa pasal hingga skor separah itu?
“Bolanya sangat berat, tuh, kayak berisi semen dan batu,” kata Musleh, penyerang tim yang kalah saat diwawancarai jurnalis mading sekolah.
“Iya, kalau aku tangkap, bolanya jadi licin seperti buah mangga masak yang sudah dikupas, mudah jatuh ke dalam gawang,” imbuh sang kiper membenarkan.
Lalu, bagaimana Tim Annajah yang hebat dan terkenal punya “kemampuan” di luar lapangan itu akan bertanding dengan Al-Falah yang notabene tidak begitu diketahui identitasnya? Wikipedia tidak menyediakan informasi tentang mereka.
Mestinya, sepak bola itu memang untuk senang-senang dan persahabatan, beda dengan sekarang yang sudah berubah jadi industri. Jika kita ingat sejarah hitam perbudakan dan inferioritas orang berkulit hitam—Negro kita sebut—mereka itu diperlakukan sebagai “orang asing” di negara demokratis seperti Amerika sekalipun. Karena mereka sulit mendapat tempat sejajar dengan manusia berkulit cerah kecuali hanya di lapangan sepak bola, maka mereka benar-benar senang bola, itu sebagian alasannya.
Banyak kisah sedih kaum kulit hitam di negara maju yang disembunyikan. Kita mengetahuinya dari kabar yang tidak resmi, dari kasak-kusuk orang yang datang langsung dan melihat fakta di lapangan, bukan dari pandangan mereka sendiri. Maka, dalam buku Empat Bulan di Amerika, HAMKA menulis seperti ini:
“Pandangan kepada orang Negro jang berkulit hitam itu, dari bangsa berkulit putih di Amerika, hampir sama dengan pemandangan bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia, tatkala Indonesia masih terdjadjah atau serupa dengan pandangan orang Perantjis kepada Arab Maghrabi. Tetapi di sebelah Selatan Amerika Sjarikat pandangan rendah dan hina itu, sangatlah djelas. Ketika saja telah meninggalkan California dan New Mexico masuk ke Texas, saja sudah mulai melihat perlakuan jang sangat menusuk hati. Mulai dari Texas itu sudah mulai melihat ‘kamar tunggu bagi kulit berwarna’, ‘kamar ketjil bagi kulit berwarna’. Mulai kita melihat, apabila kita naik auto bis bahwa orang Negro dengan sendirinja duduk ke sebelah belakang, dan kulit putih sebelah muka.” (Tintamas, 1954: 116-117).
Jadi, jika di banyak tempat dan banyak fasilitas mereka dinomorduakan, maka hanya di lapangan sepak bola-lah mereka dinilai berdasarkan kemampuannya, bukan oleh warna kulitnya. Mereka itu lebih terhormat berada di lapangan hijau daripada dalam kehidupan nyata mereka dalam keseharian, bersama kaumnya, tertekan dan dicekam teror bernama pandangan minor. Sebab itu, kapan ada kesempatan nekel orang yang selama ini dianggap “merendahkan” mereka kalau bukan di lapangan hijau? Tekel saja kalau macam-macam. Kartu merah tak sebanding dengan pandangan inferior, mungkin begitu.
Priiitt…!
Peluit panjang ditiup. Dua puluh orang ditambah dua orang hakim garis serta seorang wasit bergerak cepat, lari-lari kecil, mengitari lapangan. Ya, hanya dua puluh orang yang kelihatan oleh mata penonton dan mata lensa yang bergerak seiring bola. Nyatanya, ada banyak makhluk lain di sana, di tengah lapangan, yang karena begitu ringannya materi “tubuh” mereka hingga tak mampu dipindai oleh lensa optik dan apalagi dilihat oleh mata manusia biasa yang mulai tumpul karena terlalu sering melihat makhluk-makhluk halus berbusana minim di jalan raya.
Para pemain tak kelihatan itu tidak pernah dapat kartu kuning atau merah. Mereka hanya dapat disingkirkan oleh orang yang sama pintar dengan mereka yang memainkannya, yang mengontrolnya juga dari tempat yang tidak kelihatan. Siapa saja mereka? Entahlah. Mereka itu ada di sana, pasti, sebab terkadang bola berjalan sendiri tanpa ada kaki yang menggiringnya: itu salah satu buktinya. Entah kalau di Gelora Bung Karno, Aztec, Camp Nou, San Siro, atau Old Trafford, apakah mereka juga bisa bermain di sana.
“Bola digiring oleh Rustam, Saudara-saudara. Tak ada yang bisa menjegal, ia berlari secepat Sumber Kencono, Saudara.” Terdengar suara pemandu pertandingan dari pelantang suara yang ada di “tribun” (maksudnya, TOA-nya dipasang dan diikat ke pohon kelapa).
Akan tetapi, walaupun Rustam yang menggiring bola, pusat perhatian malah jatuh kepada Rizki. Memang, dia bukan bintang lapangan dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Rizki tak punya keahlian apa-apa sebab riwayatnya tidak pernah tampak dalam adu penalti. Yang diperhatikan penonton adalah gaya daripada kiper Kesebelasan Al-Falah itu: melongo, bergerak satu arah, ke kanan dan ke kiri, lempeng bagaikan setrika.
“Astaga, ada pemandangan aneh, Saudara-saudara! Rizki si kiper Al-Falah malah bersandar ke tiang gawang, mengambil sesuatu dari celananya, eh, ponsel ternyata, iya, ponsel. Ia mengeluarkan benda itu, lantas jepret sana jepret sini, merekam pertandingan dalam gambar. Kini malah sambil pencet-pencet keypad-nya. Mungkin ia sedang unggah foto tersebut ke jejaring sosial atau mengirimkannya sebagai pesan bergambar kepada teman-teman WhatsApp-nya.”
“Kurang ajar!” kata seorang penonton. “Ini pelecehan!”
“Hahahaha,” derai tawa memenuhi lapangan, seperti koor yang kita lihat di pertandingan-pertandingan kelas dunia atau Eropa. Tak ada pemandu sorak kalau hanya untuk ha-ha-ha. Penonton kompak karena mereka merasa terhibur secara sama rata. Ini pemandangan sudah luar biasa ngenyeknya.
Nyaris tak ada “shot on goal” alias tendangan yang punya kemungkinan besar untuk terjadi gol karena mengarah ke gawang. Yang ada adalah “shot on Rizki” alias tendangan ke arah Rizki yang sejak tadi berjalan santai ke sana-kemari. Cuek saja si Rizki ini. Beberapa kali bola bahkan hampir kena kepalanya tapi dia cuek dan tetap menempelkan ponsel ke telinga, dengan gaya pura-pura menepis.
Peluit panjang berbunyi lagi. Tak ada gol di babak pertama. Tak ada kemasukan dan juga memasukkan gol. Babak pertama ibarat pertunjukan drama komedi, bukan pertandingan sepak bola sebagaimana biasa.
Di sela jeda turun minum, Rizki pun diburu beberapa orang, sepertinya wartawan. Dan sungguh dengan tenang dia melayani pertanyaan demi pertanyaan, tidak tampak lelah dan tidak tampak ngos-ngosan.
“Mengapa Anda berlagak seperti itu, meninggalkan gawang Anda kosong?”
“Itu pilihan saya, to? Terbukti gawang saya tidak kebobolan.”
“Tapi, kan, itu kebetulan? Atau Anda pakai jin sebagai penjaga gawang?”
“Tugas kiper itu hanya menjaga timnya tidak kalah karena kebobolan, itu saja. Yang penting tidak kemasukan gol. Perkara saya mau tinggalkan gawang saya itu dengan cara pergi ke pasar atau makan soto di luar lapangan itu urusan saya, termasuk yang Anda lihat, saya tinggalkan untuk telepon-teleponan.”
“Di samping itu sarkasme, itu tidak etis!” Wartawan ini akhirnya tidak bertanya, tapi malah menampakkan kegeraman.
“Apanya yang tidak etis? Tak ada bukti kalau saya melakukan pemukulan atau pelecehan yang bersifat rasial. Saya hanya menggunakan hak dan tugas saya dalam menjaga gawang. Ingat, bagaimana Rene Higuita dulu pernah menepis bola dengan tendangan kakinya secara salto. Apakah itu pelecehan? Tidak, itu sebuah tindakan pembelaan yang menakjubkan dan menghibur.”
“Apa maksud dan tujuan Anda berlagak begitu?”
“Kita akan kembalikan khittah sepak bola, demi persahabatan yang di dalamnya terkandung kegembiraan. Menang dan kalah tidak penting, kecuali bagi mereka yang pikirannya dijejali utang dan perjudian.”
Waktu istirahat sudah habis. Mereka akan kembali bermain. Tak ada satu pun yang tahu bahwa Al-Falah baru merencanakan bikin gol pada babak kedua ini. Tidak terlalu banyak, sih. Rencananya cukup 2-3 gol saja agar tidak norak sebab ini partai final. Mereka masuk ke lapangan dengan tak satu pun wajah pemain yang kelihatan lelah.
Semuanya senang sebab sepanjang Rizki berkostum putih, sesuai rapalan doa dan azimatnya, dirinya akan tampak serupa gawang. Sepanjang bola diarahkan pada dirinya, maka sepanjang itu pula lawan tak akan pernah menciptakan gol sebab Rizki memang tidak pernah ada di depan gawangnya sendiri, kadang mojok, kadang ke tengah, kadang duduk saja. Yang pasti ia selalu pegang ponsel untuk meng-update pertandingan melalui jejaring sosialnya. “Ini yang penting dan unik dari sebuah pertandingan: siaran langsung oleh pemain, bukan oleh wartawan atau media,” tulis Rizki.
Di pinggir lapangan, Mamat ketawa-ketawa. Ia tahu semua ini sebab dialah otaknya. Rizki hanya menjalankan tugas. Kalaupun nanti bakal ada tawaran untuk menukangi tim Timnas, Mamat sudah pasti siap menolak. Alasannya adalah ia patuh pada pesan Kiai Sudrun, gurunya, yang memberinya azimat yang sedang dipakai Rizki itu. Beliau berpesan, “Azimat ini hanya boleh digunakan untuk main di sini. Kalau nanti digunakan untuk pertandingan yang banyak kemungkinan taruhan dan perjudiannya, jin akan ngambek dan tidak bisa lagi menyamar sebagai gawang.”
Sumber gambar: http://wykobet.com/
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019