Rumah Rosa ada di pintu paling pojok. Aku harus menaiki tangga sempit sebelum sampai ke sana. Beberapa ekor lalat mengerubungi sebuah nyiru berisi ikan kering yang dijemur di anak tangga kedua. Aku berkali-kali mengangkat sepatuku untuk menghindari genangan air yang alirannya mengucur dari tangga atas lalu mengalir ke bawah hampir membasahi nyiru. Baunya sedikit pesing. Di sana-sini terdapat bekas tahi burung yang sudah mengering. Ada juga ceceran jagung dan beras yang bercampur debu ditumpuk di sudut tangga. Menjijikkan! Rosa tidak mungkin tinggal di tempat seperti ini.
Aku mengetuk pintu dengan suara ketukan yang sudah kupastikan sopan sekali. Aku ingin menimbulkan kesan sebagai tamu yang baik. Rosa pasti akan mau membukakan pintu. Dari dalam terdengar suara langkah tergesa-gesa seakan terusik mendekati pintu. Sekejap saja, di hadapanku berdiri seorang perempuan mengenakan celemek kumal yang melilit di pinggangnya. Kuperhatikan wajahnya dan aku berani bertaruh ia tidak mungkin Rosa!
“Permisi. Aku ingin menemui Rosa. Di sinikah rumahnya?” tanyaku sambil melongok sedikit ke dalam.
“Ya. Saya sendiri.” Suaranya terdengar ketus. Ia melihatku terheran-heran sambil mengeringkan tangannya yang basah pada celemek kumalnya.
Aku menarik napas. “Kau ingat aku, Rosa?” Aku ragu-ragu apakah langsung memberi tahu namaku atau membiarkannya mengenali sendiri. Lagi pula aku masih tidak percaya perempuan di hadapanku adalah Rosa yang kucari.
Ia diam beberapa saat sambil menatapku dari atas ke bawah. Aku melihat ada sebersit kemarahan pada matanya yang bercampur dengan keletihan. Ia masih saja menggosok-gosokkan tangannya yang berbau sabun cuci pada celemeknya itu.
“Apakah kau…, kau Sarah?”
Kami kemudian berpelukan lama sekali. Rosa menangis di pundakku sampai tubuhnya terguncang-guncang.
“Beginilah keadaanku sekarang.” Rosa menundukkan wajahnya, seakan ingin menyembunyikannya dari penglihatanku. Aku tetap dapat memastikan bahwa perubahan wajahnya jelas sekali, terlalu tua untuk perempuan seumurannya. Aku tidak tahan ingin cepat-cepat mengeluarkan buku catatanku, lalu menuliskan perubahan wajahnya. Tapi aku harus bersabar dulu, Rosa pasti tidak suka dengan niatku itu.
“Ke mana suamimu?” tanyaku tanpa bisa berhenti menggerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Aku berkali-kali meyakinkan diriku bahwa yang kulihat adalah Rosa. Anak perempuan Rosa berlari-lari tanpa memakai celana sambil menggenggam remah roti di sekitar tempatku duduk. Ia tertawa riang dan sepertinya senang dengan kehadiranku. Aku sudah merekam pemandangan ini dalam otakku dan kupastikan aku tetap dapat mengingatnya sampai aku pulang ke rumah lalu mendeskripsikan semuanya dalam buku catatanku secara rinci.
“Aku tidak tahu ke mana ia pergi,” jawabannya terdengar lemas sekali.
“Mengapa kau bisa tidak tahu?”
“Tak tahu, lah.” Ia mengangkat mukanya dan menatapku dengan pandang menyelidik. “Kau pasti menertawaiku sekarang, bukan?”
“Tidak. Aku hanya terkejut.”
“Terkejut sekali. Pasti.”
“Terkejut sedikit. Mengapa kau tidak pulang saja ke rumah orang tuamu?”
“Orang tuaku sudah lama bercerai. Ayahku menghabiskan hartanya untuk wanita. Itu semakin mencelakakannya, bank menyita rumah kami. Ia juga terlibat korupsi.”
“Aku tidak tahu. Maaf, Rosa.”
“Tak mengapa. Kejadiannya sudah lama sekali.”
“Bagaimana dengan ibumu?”
“Sama saja. Ia agak sedikit terganggu jiwanya. Kau tahu, ibuku tidak bisa tanpa kemewahan.”
“Nah, sekarang ceritakan padaku bagaimana kau bisa sampai ke neraka ini?” Aku tertawa. “Toni yang memberikan alamatmu padaku. Aku bertemu dengannya di kafe. Kami membicarakan masa sekolah dulu dan saat itulah kami membicarakan tentangmu.”
“Oh, Toni! Ia pernah datang kemari, tapi aku tidak berani membuka pintu. Dia selalu tahu tentang apa pun!”
“Toni masih menyukaimu!”
“Apa dia bilang begitu? Kalau waktu itu aku membuka pintu dan ia melihat keadaanku, ia pasti tidak suka lagi padaku.”
“Tidak. Dia memang sudah tahu. Aku tidak percaya dengan ceritanya, itu sebabnya aku datang kemari.”
“Bagaimana dia bisa tahu? Aku tidak pernah keluar rumah kecuali pergi ke pasar dan mengantar anak ke sekolah.”
“Dia sering melihatmu di pasar. Dia punya toko di pasar. Sebenarnya milik kakaknya, tapi Toni kadang-kadang diminta untuk menjaganya.”
“Begitu? Ya ampun, aku malu sekali.” Rosa terisak-isak sambil menutup mukanya.
Aku harus dapat mendeskripsikan keadaan Rosa yang sekarang agar tulisanku nanti terlihat meyakinkan. Tapi, sepertinya aku harus menulis garis besarnya dulu. Aku ingin mengeluarkan buku catatanku dan menulisnya secara sembunyi-sembunyi.
“Kau ingat Bogie?” tanyaku untuk menggali lebih dalam tentang perasaannya.
“Ya. Sang pembuat onar di kelas.” Rosa tertawa dan mengusap air matanya.
“Istrinya juga gemuk seperti dia. Kau pasti tidak percaya, betapa ramah dan periang istrinya.”
“Kau bertemu mereka di mana?”
“Aku bertamu ke rumah mereka. Bogie menyampaikan undangannya melalui email untuk disebarkan ke teman-teman yang lain.” Aku berhenti sebentar untuk melihat wajah Rosa yang tiba-tiba berubah tidak senang. “Maaf. Kami tidak tahu mengenaimu, Rosa.”
Rosa menunduk lagi sambil menarik-narik ujung taplak meja. “Aku sudah dilupakan.”
“Tidak. Kami hanya tidak tahu cara menghubungimu.”
“Aku memang sudah dilupakan. Kalian bersenang-senang sedangkan aku di rumah tidak pernah beres.” Ia menarik lagi ujung taplak meja.
“Tidak benar begitu. Kami saling menanyakan keberadaanmu. Kami juga waktu itu bertanya tentang Toni. Kalian berdua sama-sama menghilang.”
Toni dan Bogie adalah dua di antara beberapa lelaki yang secara terang-terangan berani mendekati Rosa. Di kelas, anak laki-laki suka menggunakan pecahan cermin yang mereka simpan di dalam saku lalu mengarahkan pecahan cermin itu menghadap cahaya matahari. Cahaya yang terpantul diarahkan ke wajah Rosa untuk mengalihkan perhatiannya.
Tiba-tiba seorang bocah laki-laki menerobos masuk sambil membawa layang-layang yang sobek dan seikat benang yang tergulung di kaleng bekas minuman. Ia terpaku di tempatnya sambil melihat ke arahku dan Rosa.
“Bapak pulang,” sahutnya berat. Suaranya terdengar seperti orang yang sedang melakukan pengakuan dosa.
“Di mana dia sekarang?” Rosa bertanya gugup, kemudian menoleh ke arahku seakan meminta persetujuan.
Suaminya sudah berdiri di depan pintu dan masuk ke dalam dengan langkah yang terhuyung-huyung. Sepertinya ia berusaha untuk tetap berdiri tegak dengan muka tertunduk. Ia memakai topi sutradara yang disampirkannya di bahu kursi, lalu menjatuhkan dirinya ke bawah. Aku terkejut dan segera ingin menolongnya. Tetapi, Rosa menahanku dengan menggapaikan tangannya di depanku.
“Apakah dia mabuk?”
“Tidak. Dia memang seperti itu kalau sedang ada masalah.” Rosa masih memasang wajah siaga. Aku melihat bocah laki-laki tadi terdiam sambil menggulung benangnya. Si kecil berhenti bermain dengan remah rotinya. Kami semua memandang laki-laki yang tiba-tiba terjatuh tadi.
Laki-laki itu bergerak sedikit, aku mengira ia akan mengamuk. Aku harus mengeluarkan buku catatanku sekarang dan menuliskan semua reaksi yang baru saja ditunjukkannya. Tapi tidak akan sempat, kami semua masih waswas memperhatikan laki-laki itu. Tiba-tiba ia membuka matanya, menyampirkan sedikit badannya lalu bangun cepat-cepat, kembali berdiri dengan tegap.
Ia tertawa. “Bagaimana? Cukup meyakinkan, bukan?” Ia mengibaskan mantel kelabunya yang rasanya tidak akan bersih dari debu yang melekat.
“Apa-apaan kau ini? Kau mulai lagi?” Muka Rosa memerah.
“Baru saja aku ikut jadi tokoh figuran. Mereka memberiku dua ratus ribu rupiah. Apa yang kulakukan? Sekadar jalan-jalan saja di belakang pemeran utama yang sedang bercakap-cakap. Mereka menyuruhku berjalan bolak-balik dua kali, aku melakukannya dengan senang hati. Aku bertanya apakah nanti wajahku akan terlihat juga di TV, mereka bilang tidak. Hanya punggungku saja yang terlihat dengan mantel yang berkibar-kibar. Tak mengapa, kataku. Banyak sekali yang ikut menonton shooting film itu. Kata mereka, filmnya akan tayang tahun depan. Kau harus menontonnya, Ros. Suamimu masuk TV.” Laki-laki itu tersenyum lebar. Ia kembali menepuk-nepuk mantelnya.
Rosa membeku di tempatnya. Ia meremas terus celemeknya dan kulihat matanya berkaca-kaca. Ia menahan sesenggukannya, lalu berlari masuk ke kamar. Suaminya tercenung sebentar, lalu ikut menyusul ke dalam.
Ini kesempatanku untuk menulis. Aku mengeluarkan buku catatanku dan melanjutkan tulisan yang tadi. Barangkali aku akan mencoba melanjutkan dengan kalimat ini. “Rosa sebenarnya adalah gadis cantik di sekolah kami. Aku berani bertaruh tidak ada satu pun anak laki-laki yang tidak menyukainya. Tapi apa mau dikata? Bukankah ini nasibnya? Toni dulu anak paling pintar di kelas tapi sekarang suka menghabiskan waktu di kafe. Dan si Bogie gendut? Betapa baik nasibnya. Ia yang terkaya di antara kami. Padahal guru kami pernah menyumpahi ia tidak akan menemukan kesuksesan karena suka membuat onar.”
Sementara aku sendiri bagaimana? Ya, aku ini bagaimana? Aku hanya seorang penulis amatir yang masih terus saja menulis dan berharap akan ada media yang bersedia memuat karyaku. Inilah perubahan. Kau harus menerimanya. Karena cerita ini berfokus pada Rosa, aku akan memberi judul “Primadona”. Aku akan menyelipkan banyak pesan moral dalam karyaku ini agar orang-orang yang membacanya merasa tercerahkan. Setelah selesai, aku akan segera mengirimnya ke media yang tersohor. Barangkali akan mendapat mujur dan karyaku dimuat. Apa lagi yang akan kutulis? Ya, apa lagi?
Aku terus memaksa diriku menulis. Aku tidak menghiraukan bocah laki-laki yang masih memegang layang-layangnya dan adiknya yang duduk di pangkuannya. Aku tahu, mereka terheran-heran melihatku.
Mataram, April-Mei 2014
Sumber gambar: s-media-cache-ak0.pinimg.com
- Puisi Iin Farliani - 27 August 2024
- Puisi-Puisi Iin Farliani - 19 July 2022
- Puisi-Puisi Iin Farliani - 14 December 2021