
Pandanganku tertuju pada kotak hijau di tempat tidur. Kue ulang tahun itu buatmu. Aku sudah tak sabar untuk menyalakan lilin, menyanyikan lagu ulang tahun dengan suara pelan, dan merapal doa-doa terbaik untukmu, lelaki yang teramat kukagumi.
Kau laki-laki itu… yang kujumpai di penghujung Maret beberapa bulan lalu. Laki-laki yang membuatku jatuh cinta sampai lupa waktu. Kukira saat itu aku belum siap untuk jatuh cinta lagi, tapi Tuhan menyangkalnya dengan membawamu ke hadapanku. Semakin aku mengenalmu, semakin sulit pula mencari alasan untuk tidak tertarik padamu. Seorang pria dari seberang… yang membawa kembali kebahagiaanku yang sempat hilang.
Kau yang terlampau menarik atau aku yang begitu mudahnya tergoda? Kenapa mudah sekali memikatku? Kau arsitek muda yang telah membangun rumah dalam sekejap di hatiku. Kemudian aku menginginkan hanya kau satu-satunya orang yang layak jadi penghuninya.
Sebelumnya, aku susah payah menjalani hidup yang berserak. Butuh waktu yang tak sebentar untuk bisa berdiri tegak. Seorang diri membuka kembali pintu hati yang nyaris remuk sungguh tak pernah semudah menjatuhkan hatiku kepadamu.
Apakah kau ingat? Pertemuanku denganmu mungkin terlalu singkat untuk dijadikan alasan aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Kita berkenalan di sebuah festival di Jakarta. Berjabat tangan di antara riuhnya Taman Ismail Marzuki sore itu. Dari percakapan kita waktu itu, aku tahu aku sedang berhadapan dengan pria yang menyenangkan, mencintai buku, dan suka traveling. Kupikir itu sekadar perkenalan biasa; setelah kita kembali ke kota masing-masing, semuanya akan berakhir tanpa kesan. Ternyata tidak! Aku tak hanya mengingat namamu, tapi juga segala yang aku tahu tentangmu. Sejak saat itu, aku belum menemukan cara untuk tidak memikirkanmu.
“Saya juga pernah ke Jogja. Senang sekali bisa melihat Gunung Merapi dari dekat,” katamu dengan mata berbinar dan logat khas Melayu begitu mengetahui aku datang dari Jogja.
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kubayangkan perasaan itu sama seperti yang kurasakan ketika tiba di negaramu dua tahun yang lalu. Saat pertama kali menikmati keindahan Menara Petronas pada malam hari dan menyaksikan secara langsung perhelatan motoGP di Sirkuit Sepang.
***
“Kamu suka sama dia?” tanya Kania, sahabatku.
“Ya! Sangat!” sahutku tanpa ragu.
“Kamu harus mengungkapkannya. Dia harus tahu.”
Ucapan Kania membekas di kepala. Tak butuh waktu lama untukku mengambil keputusan mengingat perasaan ini sudah terlalu lama kubiarkan. Saat itu juga, kupesan tiket pesawat. Aku berniat mengatakannya secara langsung tepat di hari ulang tahunmu tiga minggu lagi.
Dan di sinilah aku sekarang. Di salah satu sudut kota Kuala Lumpur yang dipayungi langit kelabu berlapis asap. Kali kedua aku mengunjungi kota ini, untuk tujuan yang berbeda.
Hampir pukul tujuh, dari balik jendela, satu per satu cahaya lampu menyala di gedung-gedung yang menjulang di sekitar hotel tempatku berada. Senja yang muram merayap ke wajahku yang tertunduk, menatap gambarmu di ponsel. Jemariku bergerak cepat untuk segera menghubungimu. Selangkah lagi. Namun seketika aku urung melakukan panggilan itu. Setitik perasaan ragu menyergapku untuk kesekian kali. Nyaliku runtuh. Tekad besar yang kubawa hingga sejauh ini tiba-tiba menghilang. Aku benar-benar kehabisan cara untuk sekadar meyakinkan diri sendiri. Aku bimbang di tempat yang tidak seharusnya, di waktu yang bisa dianggap sudah terlambat! Bagaimana jika aku bukanlah seseorang yang kau inginkan?
***
“Kamu sudah menemuinya?” tanya Kania melalui telepon.
“Belum,” jawabku datar.
“Jadi, kamu cuma ngapain dari tadi?” desaknya.
“Berkeliling KL, sendirian.” Berharap tanpa sengaja aku melihat sosokmu dari kejauhan di antara orang-orang yang berjubel di stasiun, di dalam kereta, atau di jalanan kota yang padat.
“Besok kamu sudah harus pulang, mau kapan lagi?”
“Aku ragu. Dia laki-laki yang luar biasa. Aku merasa belum layak. Bahkan untuk sekadar menaruh rasa. Lagi pula…, aku ini perempuan.”
“Lalu, kenapa memangnya kalau kamu perempuan? Menyatakan perasaan itu bukan tindakan kriminal, apalagi kalian masih sama-sama sendiri. Dan itu akan memberimu kepastian. Terbalas atau berjuang lagi untuk hati yang lain. Mau sampai kapan kamu mengikat diri dengan rasa gengsi? Membuang waktu dengan hanya menerka-nerka. Kamu lupa tujuanmu datang ke KL? Aku bahkan masih ingat kilatan bahagia di matamu yang terlihat saat mengantarmu ke bandara. Cobalah untuk jujur, kepadanya dan dirimu sendiri.” Kania berucap tanpa bisa dibendung. Nada suaranya terdengar gusar.
“Aku hanya ingin lebih dekat. Berada di tempat yang sama dengannya sudah cukup membuatku senang,” sahutku cepat. Kalimat itu keluar begitu saja.
“Halahh! Aku tahu seberapa besar kamu menginginkannya. Jangan sampai ada penyesalan setelah kembali jika kamu membatalkan semuanya.”
Kania benar. Kamulah satu-satunya alasanku datang. Namun mengapa ketika sudah sedekat ini, kau masih terasa jauh untuk digapai? Aku kembali membeku dalam bimbang, terdampar bersama keraguan bahkan setelah aku mengorbankan banyak hal demi memangkas jarak di antara kita.
Alarm ponsel berbunyi. Menyentakku yang duduk mematung di sofa dekat jendela. Kepalaku mendongak, di luar sana tampak Menara Petronas berdiri angkuh dibalut cahaya putih. Detik-detik mulai memasuki tanggal 12 Oktober. Kini usiamu genap tiga puluh tahun. Kuletakkan kue tart di pangkuan dengan tiga lilin mungil yang urung kubawa ke hadapanmu.
Selamat ulang tahun buatmu…, laki-laki yang tak pernah tahu bahwa malam ini, di kotamu, ada perempuan yang sudah sekian lama menyimpan rasa yang teramat dalam. Perempuan yang rela menempuh jarak sekitar dua ribu kilometer demi berada lebih dekat denganmu. Doa-doa terbaik kulantunkan, untuk kebahagiaan lahir dan batinmu. Lalu kutiup tiga lilin kecil itu seiring air mata yang membasahi senyum getirku. Sendirian, di sebuah kamar yang dingin dan sunyi, aku merayakan ulang tahunmu….
***
Dari balik dinding kaca ruang tunggu terminal keberangkatan KLIA2, aku terpaku menatap pesawat yang sebentar lagi akan membawaku pulang ke Jogja dan kabut asap yang nyaris mengaburkan segalanya kecuali rasa sesalku yang telah membuat dua hari ini menjadi sia-sia. Rasanya menyesakkan meninggalkan kota ini dengan membawa kembali keinginan besar yang tertahan hanya karena kebodohanku yang tetap memendam perasaan, yang memilih mencintaimu dalam diam dan menunggu sampai aku tahu kau pun memiliki perasaan yang sama.
Sudah hampir pukul tiga sore. Panggilan untuk memasuki pesawat menggema di sekelilingku. Sebuah pemberitahuan masuk di handphone tepat ketika petugas bandara menyobek boarding pass-ku…
-Hei, sampai bila di Kuala Lumpur? Kenapa tidak bagi kabar?
–Sampai 10 menit dari sekarang. Maaf, aku tidak lama juga di KL.
–Ternyata kita tiada jodoh! Tak mengapa nanti pasti ada waktunya lagi. Harapnya aku bisa mengajakmu menikmati KL yang bermacam ragam ya.
Seulas senyum terkembang begitu saja di bibir sembari mematikan handphone sesaat sebelum pesawat menuju runway untuk lepas landas. Sampai jumpa, Kuala Lumpur. Aku janji, cerita konyol ini takkan terulang lagi…
- 12 Oktober 2016; Beberapa Jam Setelah Mantan Kekasihku Berusia 31 Tahun - 12 October 2016
- Mala dan Seseorang dari Selangor - 5 October 2016
- Cinta yang Lain - 1 May 2016