Nikmat Itu Lambat

Jalan-jalan beraspal semakin bertambah seantero Indonesia. Di jalan berwarna hitam, kecepatan menjadi pakem. Alat transportasi berjalan lambat bakal memicu petaka. Lambat mengesahkan macetisme. Di jalan, orang harus memenuhi janji untuk cepat dan gesit. Pilihan mengendarai sepeda motor atau mobil kadang tergantikan dengan naik bus. Semua diharapkan cepat. Di jalan besar dan ramai, orang nekat menggunakan andong, sado, atau dokar dalam bepergian pasti mendapat pisuhan,  kutukan, dan “pengharaman”.

Zaman sudah tergesa. Zaman sudah berlari kencang. Sekian alat transportasi dipaksa masuk album sejarah atau biografi usang. Pemusnahan pun terjadi meski para peminat nostalgia selalu ingin mengawetkan dengan argumentasi-argumentasi enteng. Mereka bakal menangis dan meratap jika tak lagi menemukan alat transportasi lawas. Segala peristiwa dan ingatan waktu dianggap segera menghilang.

Di Jogjakarta, usaha menunda kepunahan dilakukan dengan acara tak lagi teringat publik. Acara itu diberitakan di Tempo edisi 4 Maret 1972 dengan judul “Tampang Kusir.” Semula para kusir terusir dari jalan-jalan besar di Jogjakarta. Kota itu memilih cepat ketimbang jalan-jalan dilalui kaki-kaki binatang dan roda-roda keras. Tiga bulan berlalu dari kebijakan angkuh, para kusir malah dikumpulkan untuk perlombaan bertajuk Andong Tour 72. Mereka diminta turut memberi sokongan dalam pemilihan “raja-ratu andong”. Acara terkesan ingin menghormati kusir andong. Kesan itu sirna setelah orang membaca berita bahwa pemerintah menginginkan acara Andong Tour 72 bisa meningkatkan kunjungan turis.

Petikan di berita: “Para djuri diminta untuk memberi angka bagi kuda, onderdil-onderdil dan keseluruhan tubuh andong, kusir, dan penumpang. Semuanja untuk menemukan ‘jang terbaik’ sebagai perangsang bagi para turis untuk lebih banjak berputar-kajon keliling kota diatas kendaraan djenis ini. Sebab, konon kabarnja andong merupakan kechususan kota kesultanan itu  jang tidak akan terlewatkan oleh para turi.” Berita di majalah mulai jarang dibuka oleh orang-orang keranjingan media sosial. Berita itu terasa jauh dari penting.

Pada abad XXI, berita mengenai andong masih dijumpai di Suara Merdeka, 4 Mei 2018. Di Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah, andong dan dokar masih ada untuk meladeni orang-orang bepergian. Jumlah memang berkurang, tapi pemerintah berlagak memberi perhatian agar alat transportasi itu terhindar dari “gerusan zaman”. Sejak puluhan tahun, orang-orang masih ingin bergerak lambat tapi menikmati. Para kusir dan sais masih mendapat rezeki meski “terhinakan” oleh jalan-jalan beraspal dikuasai mesin-mesin cepat dan berasap. Mereka belum terusir, tapi pendapatan terus saja menurun. Andong dan dokar seperti penunda keramaian dan kemacetan.

* * *

Di Jogjakarta dan Jawa Tengah, dua berita berbeda masa agak mengandung nasib belum untung bagi para kusir dan sais. Berita itu pendek, tak gampang mengajak orang berimajinasi sejarah. Kita boleh membuka persembahan teks sastra lawas untuk menandai kehadiran alat transportasi. Para pengarang dijamin jeli dan dokumentatif di pengisahan agar terhindar dari pembohongan. Kita mulai mengutip Tjeritera Njai Ratna (1909) gubahan Tirto Adhi Soerjo.  Sado turut diceritakan di kota berselera modern: “Didepan romeah schout Pasarbaroe sado lelaki itoe membelok kekoelon. Sado Ratna poen ikoet membelok. Dihalte Sawahbesar, sado Ratna melewati sado pemoeda itoe. Pemoeda itoe melihat Ratna, dan ia poen melempar senjoemnja. Tjoekoep oentoek pemoeda itoe mengetahoei bahwa perempoean tjantik itoe soedah berahi padanja. Ia tak pernah mengira jang demikian bisa terdjadi. Oentoek memboektikan benar-tidaknja perempoean itoe soedah djatoeh berahi padanja, maka ketika sado Ratna membelok ke Petjenongan ia soeroeh sadonja berdjalan teroes. Tidak antara lama sado Ratna gentjar menjoesoel, dan tersoesoel ketika sampai didjalan Kampoengsawah.”

Pengisahan sado oleh “Sang Pemula” mengacu ke julukan dari Pramoedya Ananta Toer (1985) itu bisa dibenarkan sesuai tata kehidupan akhir abad XIX dan awal abad XX. Pengarang memberi deskripsi berpatokan pengalaman berkota, bukan kebohongan atau kengawuran. Tanu di artikel berjudul Zaman Kuda Gigit Besi (2001) menginformasikan situasi jalan-jalan di Jakarta awal abad XX. “Sampai tahun 1920-an, jalan-jalan di Betawi masih sangat sepi. Jalan-jalan raya hanya dilewati oleh kereta yang dihela kuda. Untuk bisa dikendalikan dengan baik, ke dalam mulut kuda itu dimasukkan besi melintang yang kedua ujungnya ditambatkan ke tali kendali,” tulis Tanu. Kuda masih memiliki jalan. Binatang belum terlalu tergantikan mesin-mesin berisik dan kesetanan.

Situasi di Jakarta mirip dengan kota-kota besar di Jawa. Mobil belum berkuasa mutlak di jalan. Andong, delman, sado, atau dokar masih berseliweran sepanjang hari. Pram turut bercerita di Bumi Manusia (1981). Di halaman-halaman awal, para tokoh naik andong. Mereka bercakap sambil melihat pemandangan. Pembaca pun menemukan andong. Pram tentu berbekal buku-buku sejarah dan kliping koran untuk bercerita Minke di masa lalu saat tanah jajahan dilumuri kemodernan. Alat transportasi berkuda menjadikan cerita gubahan Pram menuntun pembaca berimajinasi kota, kecepatan, dan petaka. Pram sengaja menaruh alat transportasi lawas di halaman awal dan akhir. Pembaca agak terangsang imajinasi saat membaca Bumi Manusia terbitan 2001 dengan garapan kulit muka oleh Si Ong.

* * *

Bepergian dengan alat transportasi berkuda disaingi oleh binatang kerbau dan sapi. Orang-orang naik gerobak atau pedati sungkan bermimpi adu cepat mengalahkan sado, delman, dan dokar. Lambat dipilih tanpa sambat. Lambat bukan aib. Lambat itu hak di jalan. Kita sengaja berganti ke kerbau dan sapi sebagai penarik alat transportasi lazim dinamai gerobak dan pedati. Pilihan bergerak sesuai langkah kaki binatang dilandasi ikhlas ketimbang cepat memunculkan petaka-petaka. Lambat saja bisa celaka.

Dua alat transportasi itu cenderung terdapat di perdesaan. Sejak ratusan tahun silam, bocah-bocah sekolah diajari pelbagai alat transportasi  ada di desa atau kampung, sebelum menambahi daftar dengan kereta api, bus, dan trem. Bocah-bocah perlu belajar sejak dini agar tak kagetan saat melihat jalan-jalan semakin ramai dan orang-orang “beriman” pada kecepatan, keramaian, dan kebisingan. Pengenalan sekian alat transportasi berlanjut pada masa revolusi. Soekarno mungkin tak menginginkan sado, delman, andong, dokar, gerobak, dan pedati adalah perlambang revolusi. Mesin-mesin telah menjanjikan kecepatan, bercerita segala hal dilangsungkan secara singkat, tak perlu seribu jam atau seribu tahun.

Pada 1949, terbit buku berjudul Panggelar Boedi jilid I. Buku berbahasa Jawa untuk bacaan bocah itu disusun oleh W Keizer dan R Inggris, terbitan JB Wolters Groningen-Jakarta. Gambar di sampul memadukan peristiwa tiga bocah sedang sinau dan gerak lambat alat transportasi tradisional ditarik kerbau. Gambar-gambar itu mungkin mengisahkan Indonesia sedang bermimpi jadi negeri pembaca meski ide-imajinasi bergerak lambat menuruti gerak si kerbau. Alat transportasi itu menampik kecepatan, memilih kenikmatan dan kesabaran tiada tara.

Pada masa berbeda, belajar mengenai gerobak dan pedati masih berlaku di Indonesia. Kaum bocah pembaca majalah Si Kuntjung sering mendapatkan cerita-cerita memuat alat transportasi telah dianggap tradisional. Bocah-bocah belum tergesa berpikiran kota dan bermimpi naik bus saat bepergian. Dulu, bus-bus belum tersedia merata di kota dan desa seantero Indonesia. Perdesaan berada di urutan belakang untuk mengalami bepergian dengan cepat dan melihat asap.

Di majalah Si Kuntjung nomor 15 tahun 1969, kita membaca cerita berjudul “Tukang Pedati” gubahan Sardjito. Bocah bercerita pengalaman turut bapak naik pedati mengangkut beras, kedelai, dan pelbagai barang: bergerak dari desa ke pasar. Pedati memang digunakan dalam distribusi di perdesaan. Pekerjaan bapak sebagai tukang pedati menghasilkan rezeki bagi keluarga. Si bocah mengerti kerja keras demi hidup. Pembaca serasa ada di pedati jika mengikuti pengisahan Sardjito: “Djak, djak, tjet… Ajah memberi komando kepada kedua ekor sapinja. Dan glotak, glotak, glotak, pedati kami mulai meninggalkan pasar pulang kedesa.” Gerak lambat sering membuat si bocah ketiduran sepanjang jalan. Bocah itu mungkin bermimpi indah: melihat Indonesia menjadi makmur dan terhindar dari polusi.

Cerita masih menghadirkan alat transportasi lambat dimuat di majalah Si Kuntjung nomor 20 tahun 1970. Cerita berjudul “Hilang Dipekan” gubahan Kandil. Bocah perempuan bernama Mimin diajak kakek dan nenek pergi ke pasar. Mereka naik gerobak ditarik sapi. Misi terbesar ke pasar adalah menjual dagangan berupa pisang, kacang, jagung, dan cabai. Mereka berangkat pagi, berpedoman ajaran sakral bahwa “pintu rezeki dibukakan Tuhan pada pagi hari.” Jarak rumah dan pasar tak terlalu jauh. Perjalanan terasa lama. Pada pukul sepuluh, mereka tiba di pasar. “Kakek dan nenek sibuk mendjadjakan djualan. Mimin menunggu dalam gerobak,” tulis Kandil. Adegan bersahaja tanpa ketergesaan.

Pada pedati dan gerobak, bocah-bocah mendapat cerita berpesan tentang bepergian, waktu, kesabaran, kebersamaan, keindahan, dan kasih. Binatang-binatang penarik itu memerlukan kasih dan suguhan makanan. Binatang tak minum bensin atau solar. Mereka memilih meladeni si kusir asal telah terjalin ikatan batin dan mufakat suara selama perjalanan. Perlakuan pada sapi dan kerbau menentukan laju pedati dan gerobak. Bocah tak berpikiran asal cepat tapi memungkinkan merenungi hubungan manusia dan binatang dalam sejarah alat transportasi di Indonesia, dari masa ke masa. Semua cerita masa lalu itu nostalgia, sulit dimiliki lagi di Indonesia sebagai negeri menganut cepat di jalan-jalan beraspal.

* * *

Kita semakin digoda merasakan nikmat itu lambat bersama ibadah para kerbau dan sapi. Kita simak saja dongeng si sapi (lembu) di tulisan berjudul “Lembu Tarik” dimuat di majalah Minggu Pagi, 12 Oktober 1952.  Si lembu mencurahkan segala perasaan dan kenangan pada pembaca. Ia bersuara agar kita mengerti nasib lembu bertugas menarik gerobak, dari hari ke hari. Sejak mula, lembu mengatakan: “Sekarang saja mulai tuan, tapi djangan dulu tuan bosan mendengar tjerita ini, seakan-akan tuan mendengar bunji gerobag jang sedang lalu diatas djalan berbatu-batu. Dan djangan dulu tuan berbelas kepada saja, sebelum saja habisi tjerita ini.” Pada masa Indonesia sedang berdemokrasi, si lembu mintah hak bercerita untuk disimak, dari awal sampai akhir.

Cerita si lembu kadang memberi sindiran ke manusia-manusia di Indonesia. Ia malas cuma meratap sendirian, memilih membagi sindiran ke pembaca melek demokrasi. Si lembu berkata: “Bukan lembu tidak mau menerima nasib begini tuan, tetapi pikir toh, andai tuan jang dibeginikan seperti apa rasanja. Baru sadja tuan didjadjah/diperintah  oleh bangsa lain, jang sesama manusia sadja keluhnja sampai achirat.” Pembaca boleh malu atau mesem selama lima detik. Si lembu itu kurang ajar! Pembaca diminta mengingat kolonialisme dan mawas diri saat memerintah binatang menarik gerobak.

Lembu di Indonesia tampak cerdas dan lugas. Lembu itu sedang pamer kritik ke manusia meski tak pernah mengetahui Soekarno pernah berpidato resmi menggunakan perlambang binatang. Perlambang itu cacing dan banteng, bukan lembu. Pada 17 Agustus 1964, Soekarno berseru ke ribuan orang: “Sungguh, kamu bukan bangsa tjatjing, kamu adalah bangsa berkepribadian banteng.” Si lembu itu tentu boleh cemburu karena jarang dipilih Soekarno dalam mengobarkan revolusi.

Di ujung tulisan, si lembu mengaku jujur: “Inilah tuan sekedar dongengan lembu tarik, jang tentu sadja banjak lebih menderita kesusahan daripada senangnja. Saja hidangkan pada tuan sekalian untuk dapat turut serta mempertimbangkan nasib lembu tarik sebagai machluk hidup didunia ini.” Kita sudah terpisah jauh dari dongengan bertahun 1952. Jalan-jalan beraspal dan mesin-mesin menderu dipilih ketimbang raga berada di atas gerobak atau pedati. Kita berpihak ke cepat, bukan menghendaki nikmat itu lambat. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!