Perjalanan, Kenangan, dan Tugas Seorang Seniman

 

Judul: The Sea Close By (Laut yang Begitu Dekat)

Penulis: Albert Camus

Penerbit: Pelangi Sastra

Tahun: 2019

Tebal: viii+42 halaman

ISBN: 978-602-5410-94-9

Di tangan seorang koki terampil, bahan makanan apa saja bisa menjadi masakan yang lezat. Begitu pula di tangan seorang penulis terampil, hal-hal apa pun dapat menjadi tulisan yang menyenangkan. Barangkali itulah ungkapan yang tepat untuk menyimpulkan tiga tulisan (satu tulisan di antaranya adalah naskah pidato ketika meraih Nobel Sastra) Albert Camus yang terangkum dalam buku tipis The Sea Close By (Laut yang Begitu Dekat).

            Jumlah tulisan yang sangat sedikit (hanya tiga tulisan!) dalam buku terjemahan kolaborasi Dias P. Samsoerizal dan Doni Ahmadi ini mungkin menjadi semacam pesan tersirat: Tidak penting kuantitas yang terdapat dalam suatu buku, yang penting adalah kualitas dan tersampaikannya pesan yang terkandung dalam buku.

            Dan memang, ketebalan buku yang minim tersebut menjadi keunggulan tersendiri. Dengan mengambil bentuk bak buku panduan atau komik, buku ini menjadi lebih mudah diingat dan juga lebih menggoda ditelaah terus-menerus—ya, dibanding serial buku Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang ribuan halaman tebalnya, buku ini tentu lebih menghemat waktu untuk dibaca ulang, walau keduanya sama-sama kumpulan esai.

            Meskipun hanya terdiri dari tiga esai, kompilasi ini bisa sedikit merangkum riwayat seorang Albert Camus, sastrawan cum filsuf Perancis keturunan Aljazair. Perjalanan hidup Camus tentu saja sangat panjang dan kompleks. Dan buku ini membocorkan tiga hal di antaranya, yaitu perihal perjalanan, kenangan, dan kebanggaan.

            Dalam tulisan pertama yang sekaligus diambil sebagai judul buku, Camus menuliskan tentang perjalanan di atas sebuah kapal ketika mengarungi laut. “Aku tumbuh besar dan karib bersama laut serta kemelaratan yang menyelubungi, sampai suatu ketika, aku kehilangan laut, lalu menemukan semua kemewahan abu-abu, dan kemelaratan itu tak terlihat lagi.” (hlm. 1)

            Ini hanya tulisan tentang laut. Tepatnya, perjalanan di atas lautan dan perjalanan ingatan ketika mengarunginya. Namun, dengan gaya Camus yang atraktif dengan narasi-narasi subtil dan penggambaran yang membuat pembaca terbuai, menjadikan tulisan ini tak bisa lagi sekadar disebut “hanya”.

            Sambil menjadikan laut dan yang ia lihat di sekitarnya—burung-burung camar, bentang langit, pantai, dan sebagainya—Camus berkali-kali menarik ingatannya ke permukaan. Selain itu, tulisan beraroma kontemplatif ini juga banyak memunculkan permenungan-permenungan. Puncak dari permenungan itu, barangkali terletak di ujung tulisan yang berisi: “Cinta yang tiba-tiba, karya yang hebat, tindakan yang menentukan, pemikiran untuk mengubah semua, pada saat-saat tertentu, mendatangkan kegelisahan yang tak tertahankan, selalu sama, hal itu terkait dengan pesona yang tak tertahankan. Apakah hidup seperti ini, dalam kesedihan yang nikmat, dalam kedekatan yang sangat dekat dengan bahaya yang namanya tidak diketahui ini, adalah sama dengan bergegas menuju kehancuran? Sekali lagi, tanpa istirahat, mari kita pergi.” (hlm. 13)

            Sementara pada esai “Musim Panas di Aljazair”, Camus, yang pada kemudian hari dikenal sebagai penulis besar berbahasa Prancis, tak begitu saja melupakan identitasnya sebagai anak kelahiran Aljazair, sebuah negeri di bagian utara Benua Afrika. Dalam esai ini ditulisnya kekhasan Aljazair. Apa-apa yang membuatnya berbeda dari kota-kota lain di dunia semisal Paris, Praha, dan Florence, yang menurutnya “tertutup pada diri mereka sendiri dan karenanya membatasi dunia yang hanya menjadi milik mereka”. Itu berbeda dengan Aljazair yang Camus gambarkan “terbuka ke arah langit seperti muara atau luka yang menganga.”

            Camus serupa pemandu wisata pada tulisan ini. Ia memperkenalkan pembaca kepada beragam hal yang hanya bisa ditemukan di Aljazair. Esai 16 halaman ini sekaligus menjadi parade kenangan seorang Albert Camus—barangkali ketika menulis ini, ia sedang menyetel sebuah tayangan masa kecilnya berlatar Aljazair di dalam kepalanya. Lantaran tulisan tersebut berbau kenangan, tak heran jika Camus mengutip suatu perkataan. Isinya begini: “Semuanya perlahan menghilang,” kata mantan pemilih bentuk-hati. “kecuali memori.” (hlm. 25)

            Selain Camus, banyak penulis mengekspresikan kenangan dan kecintaan mereka akan suatu kota dalam tulisan khusus. Kota, apalagi yang menyimpan cerita masa kecil—tak peduli membahagiakan atau menyedihkan—seperti punya pengerat ampuh di kepala, yang membuatnya sulit hilang dari ingatan.

***

            Albert Camus menjadi salah satu yang termuda ketika meraih Nobel Sastra pada 1957—ia memperolehnya saat berusia 44 tahun. Tiga tahun kemudian ia meninggal dalam suatu kecelakaan mobil. Sepanjang hidupnya yang relatif sebentar, ia telah menulis karya-karya yang sangat gemilang. Di antaranya L ‘Etranger atau The Stranger yang menjadi salah satu novel terbaik dan banyak memengaruhi karya-karya sastra setelahnya.

            Pada waktu menyampaikan pidato kemenangannya—yang naskahnya menjadi penutup buku ini—Camus mengungkapkan beberapa hal yang menjadi prinsip dan pandangannya dalam berkesenian. Salah satu poin menarik yang dikatakannya mengenai berkesenian dan menulis terletak di halaman 34: “Apapun kelemahan pribadi kita, kemuliaan karya kita akan selalu berakar dalam dua komitmen, yang sulit untuk dipertahankan: menolak untuk berbohong tentang apa yang diketahui dan perlawanan terhadap penindasan.” Juga ketika ia mengatakan: “… peran penulis tidak akan lepas dari tugas-tugas yang sulit. Dalam artian ia tidak dapat meletakkan dirinya hari ini untuk sebuah pengabdian membuat sejarah dirinya; ia melayani orang-orang yang menderita. Jika tidak, dia akan sendirian dan kehilangan ke-seni-an-nya.” (hlm. 33–34)

            Kesuksesan meraih Nobel Sastra—pencapaian terbesar seorang sastrawan—tak lantas membuat Camus larut dalam kebanggaan semu. Kebanggaan tidak membuatnya melupakan statusnya sebagai seorang penulis, sang penyuara “kebenaran”.

            Akhirulkalam, keseluruhan tulisan dalam buku ini diterjemahkan dengan cukup baik, kendati masih ada kata-kata dan kalimat yang terasa kaku. Namun, itu tak mengurangi kenikmatan membaca bunga rampai tulisan Camus ini. (*)

Erwin Setia
Latest posts by Erwin Setia (see all)

Comments

  1. Taufik sentana Reply

    Simpel dan padat…tks

  2. Nuraini Latifa Reply

    penuh informasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!