Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono; Cemara Kawabata

japanese_bird_painting_by_alexaink-d5sshyw
alexaink.deviantart.com

cemara kawabata

 

tuhan sedang baik

dan ia berkati mei langit berikut cuaca yang baik

 

dan seorang lelaki tua

dari balik jendela kereta

menemukan apa yang telah dilihatnya setiap hari

selama puluhan tahun

 

sepasang cemara

dengan cabang yang seolah hendak saling memeluk

“mereka tumbuh di taman kuil hommonji,” gumamnya

tapi ia menyangkalnya, dua kali menyangkal apa

yang tak mungkin disangkal

 

sekawanan burung terbang

dan berwarna perak

sebuah bis bercat merah melintas di bawah mereka

dan lelaki itu tahu

tak ada yang terjadi semata karena kebetulan

 

dan di sini,

di tempat di mana cemara tak bisa tumbuh

dan burung-burung melulu berbulu cokelat

dan tak ada bis yang melaju, apalagi yang berwarna merah

lima orang mendirikan panggung ludruk

dan aku menemukan apa yang setiap hari aku lihat:

seorang tranvesti  yang datang terlalu awal

memeluk angin dan bayang-bayang

 

“ini kangen,”  ia menggumam

tapi ia menyangkalnya, dua kali menyangkal

apa yang tak bisa disangkal

 

seorang panjak dengan istri bunting

yang kerap membikinnya lupa pada sepelan dan tedean

belum lagi tiba

dan itu bukan kebetulan

 

seperti shingo

akhirnya ia hanya sanggup mendongak

dan berkata

“bahkan ketika tuhan sedang baik,

tetap ia beri manusia hati yang rusuh”

 

kitamoto

 

setelah kematiannya

apakah sejumput rambut hitam itu meneruskan hidup

dan tubuhnya kembali muda nan segar

sebelum susut menjadi bayi?

 

“ia tidak punya satu hal pun untuk dikerjakan”

 

shingo mendengarnya

dari seorang kawan lama tak bernama

tapi ia tahu, itu suara kawabata

 

“perang mengambil tiga putranya

lalu ia benci menjadi tua

dan ia menciptakan perang sendiri melawan uban-uban”

 

dan suara itu, kawabata itu

dalam upaya meyakinkan tokoh rekaannya

terus membual

“setelah kepalanya bebas dari uban

dan setiap kenalannya mengerti bila kitamoto sempurna gila

sejumput rambut hitam tumbuh

dan begitulah faktanya

orang gila tak bisa tua, orang gila senantiasa bertambah muda”

 

sekian ribu kilometer dari sana

sejumlah orang yang tak kenal dan dikenal kawabata (apalagi shingo)

dalam khazanah niraksara

membangun cerita panjang

yang dihidupkan dalam panggung ludruk belaka

tentang seorang perempuan yang menjambaki rambut sendiri

tanpa ingin menolak tua

 

sebuah suara, dan bukan kawabata (tentu saja),

terdengar, “perempuan itu tak punya satu hal pun untuk dikerjakan”

 

dan suara lain menyahuti

“ia masih gadis, dan namanya suminten,

ia sedang kangen, kangen yang kata kerja

tapi orang-orang mengira ia gila”

 

pada parak pagi

setelah panggung dikemasi

dan suminten mati

kangennya terus abadi

dan tak ada yang bertanya perihal bayi

 

berbicara dengan fusako

 

fusako, di mana berada tepi neraka?

“di sehelai surat cerai”

 

sepanas apa neraka perceraian?

“tidak ada neraka dalam perceraian, selain sepasang anak

yang masih tersabab bara pembakaran

tapi mereka akan segera dingin, sedikit tahun saja”

 

seseorang alpa menutup pintu kurungan kutilang

dan maestro kicau tiruan itu

terbang jauh

meninggalkan dunia yang dimasukinya

ketika ia berumur tiga bulan

di mana baru saja ia rontokkan bulu-bulu bung

terakhir di pangkal ekor dan ujung sayap

 

ia lupa cara hinggap di sela tangkai pepaya matang

atau menciptakan lubang di kulit kuning pisang tanak

tapi ia bernyanyi dengan suaranya sendiri

sebelum mati dengan lambung suwung dan usus mengerut

 

orang-orang jatuh kasihan kepada si burung

mengatakan betapa malang hilir hidupnya

meski tak satu pun di antara mereka pernah menjadi

seekor burung

 

“pernikahan itulah neraka sesungguhnya,” fusako

menutup mata, menghela nafas kebebasannya

 

di sini, fusako, perempuan adalah ia yang menyimpan

tuah dalam bakti sebagai istri, sebagai ibu

 

sukarsih larut dalam tahun-tahun kecemasan

menunggu sukandar lepas dari bui

sangkrah tabah membesarkan lelaki idiot hingga tiba

masa si lelaki menjadi tumenggung

seperti apa yang diwasiatkan penikah senyapnya

dan simbok sarip menundukkan kematian

lantaran dipegangnya ikatan sebungkah tanah dengan

suami yang telah mati

“mereka hebat betah bertahan dalam kubang siksaan

dan aku hebat bernyali merangkak meninggalkannya

namun bagaimana pun setiap perempuan

harus bisa menentukan jalan sendiri

seperti laiknya manusia”

 

meski itu artinya maut?

“meski itu artinya maut


hantu kakak perempuan yasuko

 

gema dentang genta sudah lama tak ada

dan seseorang bertanya dengan sebuah kalimat

tua, “apakah ada hidup setelah kita mati?”

 

sejak banyak orang bertingkah brutal

atas nama agama, ia memutuskan tak lagi beriman

kepada perkara semacam itu

dan ia tak ingin mendengar jawaban yang berkisar

pada akhirat, penghakiman, surga, atau neraka

dan karenanya, seseorang yang lain berujar

“yang hidup akan mati, yang mati akan hidup

dan menjadi hantu”

 

ia, si penjawab itu, bukan orang sekitar situ

ia datang dari jepang dan ia tak pernah bertemu wewe

atau pocong atau ndas glundung atau kuntilanak

tapi ia punya sebuah cerita tentang hantu dengan

sebutan yang tidak seram, hantu tak bernama

 

“perempuan itu mati di usia muda

dan ia, hingga puluhan tahun setelah kematiannya

menghantui shingo, suami yasuko

ia muncul dalam benak lelaki itu

mengacaukan apa yang telah rapi

merumitkan apa yang gampang dikerjakan

menautkan segala hal di hari kini dengan segala hal di hari lalu

tapi hanya shingo yang ia hantui

dan shingo meringkas segala itu dengan sebiji kata: kenangan”

 

dan si penanya, demi dilihatnya raut sang penjawab

bergumam setengah tak yakin, “setelah cak durasim mati

ia menghantui kami dengan empat kata di ingatan

: bekupon, dara, nipon, sengsara”

 

si penjawab seperti mendengar selarik teriakan

dan ia tak mampu menggambarkan apa yang ia rasakan

Dadang Ari Murtono
Latest posts by Dadang Ari Murtono (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!