cemara kawabata
tuhan sedang baik
dan ia berkati mei langit berikut cuaca yang baik
dan seorang lelaki tua
dari balik jendela kereta
menemukan apa yang telah dilihatnya setiap hari
selama puluhan tahun
sepasang cemara
dengan cabang yang seolah hendak saling memeluk
“mereka tumbuh di taman kuil hommonji,” gumamnya
tapi ia menyangkalnya, dua kali menyangkal apa
yang tak mungkin disangkal
sekawanan burung terbang
dan berwarna perak
sebuah bis bercat merah melintas di bawah mereka
dan lelaki itu tahu
tak ada yang terjadi semata karena kebetulan
dan di sini,
di tempat di mana cemara tak bisa tumbuh
dan burung-burung melulu berbulu cokelat
dan tak ada bis yang melaju, apalagi yang berwarna merah
lima orang mendirikan panggung ludruk
dan aku menemukan apa yang setiap hari aku lihat:
seorang tranvesti yang datang terlalu awal
memeluk angin dan bayang-bayang
“ini kangen,” ia menggumam
tapi ia menyangkalnya, dua kali menyangkal
apa yang tak bisa disangkal
seorang panjak dengan istri bunting
yang kerap membikinnya lupa pada sepelan dan tedean
belum lagi tiba
dan itu bukan kebetulan
seperti shingo
akhirnya ia hanya sanggup mendongak
dan berkata
“bahkan ketika tuhan sedang baik,
tetap ia beri manusia hati yang rusuh”
kitamoto
setelah kematiannya
apakah sejumput rambut hitam itu meneruskan hidup
dan tubuhnya kembali muda nan segar
sebelum susut menjadi bayi?
“ia tidak punya satu hal pun untuk dikerjakan”
shingo mendengarnya
dari seorang kawan lama tak bernama
tapi ia tahu, itu suara kawabata
“perang mengambil tiga putranya
lalu ia benci menjadi tua
dan ia menciptakan perang sendiri melawan uban-uban”
dan suara itu, kawabata itu
dalam upaya meyakinkan tokoh rekaannya
terus membual
“setelah kepalanya bebas dari uban
dan setiap kenalannya mengerti bila kitamoto sempurna gila
sejumput rambut hitam tumbuh
dan begitulah faktanya
orang gila tak bisa tua, orang gila senantiasa bertambah muda”
sekian ribu kilometer dari sana
sejumlah orang yang tak kenal dan dikenal kawabata (apalagi shingo)
dalam khazanah niraksara
membangun cerita panjang
yang dihidupkan dalam panggung ludruk belaka
tentang seorang perempuan yang menjambaki rambut sendiri
tanpa ingin menolak tua
sebuah suara, dan bukan kawabata (tentu saja),
terdengar, “perempuan itu tak punya satu hal pun untuk dikerjakan”
dan suara lain menyahuti
“ia masih gadis, dan namanya suminten,
ia sedang kangen, kangen yang kata kerja
tapi orang-orang mengira ia gila”
pada parak pagi
setelah panggung dikemasi
dan suminten mati
kangennya terus abadi
dan tak ada yang bertanya perihal bayi
berbicara dengan fusako
fusako, di mana berada tepi neraka?
“di sehelai surat cerai”
sepanas apa neraka perceraian?
“tidak ada neraka dalam perceraian, selain sepasang anak
yang masih tersabab bara pembakaran
tapi mereka akan segera dingin, sedikit tahun saja”
seseorang alpa menutup pintu kurungan kutilang
dan maestro kicau tiruan itu
terbang jauh
meninggalkan dunia yang dimasukinya
ketika ia berumur tiga bulan
di mana baru saja ia rontokkan bulu-bulu bung
terakhir di pangkal ekor dan ujung sayap
ia lupa cara hinggap di sela tangkai pepaya matang
atau menciptakan lubang di kulit kuning pisang tanak
tapi ia bernyanyi dengan suaranya sendiri
sebelum mati dengan lambung suwung dan usus mengerut
orang-orang jatuh kasihan kepada si burung
mengatakan betapa malang hilir hidupnya
meski tak satu pun di antara mereka pernah menjadi
seekor burung
“pernikahan itulah neraka sesungguhnya,” fusako
menutup mata, menghela nafas kebebasannya
di sini, fusako, perempuan adalah ia yang menyimpan
tuah dalam bakti sebagai istri, sebagai ibu
sukarsih larut dalam tahun-tahun kecemasan
menunggu sukandar lepas dari bui
sangkrah tabah membesarkan lelaki idiot hingga tiba
masa si lelaki menjadi tumenggung
seperti apa yang diwasiatkan penikah senyapnya
dan simbok sarip menundukkan kematian
lantaran dipegangnya ikatan sebungkah tanah dengan
suami yang telah mati
“mereka hebat betah bertahan dalam kubang siksaan
dan aku hebat bernyali merangkak meninggalkannya
namun bagaimana pun setiap perempuan
harus bisa menentukan jalan sendiri
seperti laiknya manusia”
meski itu artinya maut?
“meski itu artinya maut
hantu kakak perempuan yasuko
gema dentang genta sudah lama tak ada
dan seseorang bertanya dengan sebuah kalimat
tua, “apakah ada hidup setelah kita mati?”
sejak banyak orang bertingkah brutal
atas nama agama, ia memutuskan tak lagi beriman
kepada perkara semacam itu
dan ia tak ingin mendengar jawaban yang berkisar
pada akhirat, penghakiman, surga, atau neraka
dan karenanya, seseorang yang lain berujar
“yang hidup akan mati, yang mati akan hidup
dan menjadi hantu”
ia, si penjawab itu, bukan orang sekitar situ
ia datang dari jepang dan ia tak pernah bertemu wewe
atau pocong atau ndas glundung atau kuntilanak
tapi ia punya sebuah cerita tentang hantu dengan
sebutan yang tidak seram, hantu tak bernama
“perempuan itu mati di usia muda
dan ia, hingga puluhan tahun setelah kematiannya
menghantui shingo, suami yasuko
ia muncul dalam benak lelaki itu
mengacaukan apa yang telah rapi
merumitkan apa yang gampang dikerjakan
menautkan segala hal di hari kini dengan segala hal di hari lalu
tapi hanya shingo yang ia hantui
dan shingo meringkas segala itu dengan sebiji kata: kenangan”
dan si penanya, demi dilihatnya raut sang penjawab
bergumam setengah tak yakin, “setelah cak durasim mati
ia menghantui kami dengan empat kata di ingatan
: bekupon, dara, nipon, sengsara”
si penjawab seperti mendengar selarik teriakan
dan ia tak mampu menggambarkan apa yang ia rasakan
- Jagoan Super - 12 July 2024
- Hamil Berpuluh Tahun - 8 December 2023
- Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono - 24 January 2023