
Tugas manusia adalah menjadi manusia
Multatuli
Pernahkah Anda mendengar ada sekelompok penyair yang rela naik kereta api ekonomi dari Jogja menuju Jakarta, tepatnya Taman Ismail Marzuki (TIM), untuk “sekadar” membacakan puisi dalam durasi 7–10 menit? Semua dibiayai sendiri—dari tiket kereta, makan di jalan, naik angkot, dan tidur di selasar-selasar di lingkungan TIM demi menekan pengeluaran.
Pada tahun 1997, saya salah satu dari mereka. Kereta api di masa itu tidaklah sebagus sekarang. Kami berempat berangkat pukul 06.00 dan tiba di stasiun Senen pukul 22.00.
Apa yang kami dapatkan?
Pride? Ah, itu terlalu sumir. Satu yang pasti, yakni kebahagiaan. Orang hidup, tak peduli dalam strata dan kompetensi apa pun, niscaya selalu memburu kebahagiaan. Salah satu elemen pemijar kebahagiaan ialah merayakan passion. Jika itu berkibar, ekstase meruahi sekujur napas. Minat, cinta. Dasein. Kata Maulana Rumi, “Bila kau melakukan sesuatu dari hati, sungai kenikmatan akan mengaliri hatimu.”
****
Tak ada yang perlu dipungkiri bahwa pasar buku selalu berwatak industrial. Kapitalistis, iya. Perihal kekuatan modal, pengalaman, jaringan, dan manajemen jelas kepalang tak sahih dinafikan. Di garis inilah pengalaman dan permenungan mengajarkan berjuta ilmu yang tak pernah ada pada diktat-diktat karangan profesor bisnis mana pun: bahwa membela sastra di pasar buku Indonesia dengan sepenuh-penuhnya amunisi adalah cara mudah untuk bunuh diri!
Di depan mata, tahun demi tahun memanggungkan tumbangnya banyak pelaku industri buku yang semata mencelupkan diri sebagai pahlawan sastra. Bukan perkara kurang kompetennya mereka dalam memilih, menyunting, mendesain, dan mendistribusikan buku-buku terbitannya. Sama sekali bukan! Mereka jungkal hanya karena abai pada satu prinsip aksioma bahwa di negeri ini pembeli buku sastra sangatlah minim.
Mau bukti?
Kurang hebat apakah gerangan buku sastra karangan Danarto, Hamsad Rangkuti, dan Budi Darma? Kurang memukau bagaimana lagi pencapaian buku-buku kumcer sastra terbitan Kompas selama bertahun-tahun itu? Kurang berwibawa apa pula Jurnal Cerpen sentuhan tangan dingin Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua? Kurang dahsyat apa lagikah aksi membela sastra yang dinakhodai Richard Oh? Bahkan, kurang legendaris bagaimana lagi Horison sampai harus tumbang begitu saja di depan mata?
Boleh saja Anda menggelengkan kepala sembari mendengus bahwa buku-buku sastra yang mereka terbitkan sangatlah penting untuk dibaca, direnungkan ke ceruk-ceruk sanubari manusia, agar—kata Agus Noor—sublimasi nilai-nilai sastrawinya menyenaraikan nilai-nilai kemanusiaan kita, manusia Indonesia. Tetapi, ini perihal pasar yang notabene adalah satu hal dan idealisme adalah satu hal lainnya. Ini konteksnya bukan teori di bangku-bangku akademik atau tepuk sorai sebuah panggung deklamasi dan apresiasi sastra. Ini pasar, yang di dalamnya hanya bekerja perkara statistik transaksi lagi transaksi.
Hukumnya jelas selalu sederhana: ada konsumen yang membeli (bisa karena minat, butuh, atau gaya-gayaan belaka) dan ada buku yang di-display. Masalah pelik kepalang lawasnya pula selalu sama: berapa banyak konsumen yang berkunjung ke toko-toko buku yang merasa berminat, membutuhkan, atau sekadar gaya-gayaan terpanggil batinnya untuk menenteng buku Setangkai Melati di Sayap Jibril atau Orang-orang Bloomington atau The Old and The Sea atau Anna Karenina atau Melihat Api Bekerja?
Saya punya ilustrasi empiris perihal “konsumen sastra” di keriuhan pasar buku kita.
Tahun 2014–2015 lalu, nyaris semua lelaki Indonesia, muda dan tua, terpanggil menggilai akik. Semua orang bicara akik, menggosok akik, dan memakai akik sampai jari-jari sulit ditekuk saking berbanjarnya cincin-cincin itu. Pasar-pasar baru pun tercipta. Akik menyebar ke mana-mana, dari mal sampai loak.
Tim marketing saya dengan peka mengusulkan untuk menerbitkan buku tentang akik. Ini pangsa empuk, seru mereka. Saya terbahak—lha wong saya nggila melihat akik berderet di jemari. Bahkan saya serentak mampat begitu data statistik pengunjung toko buku yang mencari buku akik disodorkan. Saya menyerah, lalu dibuatlah sebuah buku tentang akik, Buku Pintar Segala Jenis Akik. Dicetak 3.000 eksemplar.
Dalam waktu dua bulan, laporan penjualan masuk ke meja saya: buku itu urgen untuk dicetak ulang!
Bandingkan larisnya buku akik itu dengan statistik penjualan buku sastra, misal Menggali Sumur dengan Ujung Jarum yang memuat cerpen Orhan Pamuk, Jorge Luis Borges, Naguib Mahfouz, dan Gabriel Garcia Marquez yang dikurasi dan diterjemahkan dengan bernas oleh Tia Setiadi. Siapa yang tega meragukan kualitas cerpen mereka? Siapa yang berani waswas pada ketampanan kurasi Tia Setiadi?
Buku sastra itu dicetak 2.000 eksemplar dan telah dua tahun ini tak kunjung habis. Awet, mungkin berkah. Sastra versus akik, jawaban empirisnya akan membuat Anda terbahak gegulingan.
Anda tahu novel O Eka Kurniawan? Dalam sebuah riset kecil yang saya lakukan, novel sastra yang dipuji di mana-mana itu tumbang begitu telaknya dibanding penjualan novel Hujan Tere Liye. Di tangan seorang penjual buku online yang tergolong laris, di bulan pertama rilisnya, novel O terjual 30 eks. Tahu berapa penjualan novel Hujan? 280 eks!
Tiba-tiba saya teringat kembali antologi puisi Tere Liye, Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta. Secara statistik, buku puisi terlaris adalah karya Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Belakangan, pencapaiannya ditumbangkan oleh buku puisi M. Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. Kedua buku itu telah menuai berjubel pujian dan apresiasi dari khalayak sastra Indonesia. Antologi-antologi puisi sastra yang prestisius! Tetapi tahukah Anda bahwa buku puisi Tere Liye, yang dikontroversikan di mana-mana itu, yang bahkan oleh sebagian manusia berkacamata kuda dihujat sampah itu, jauh lebih best seller dibanding pencapaian semua buku puisi yang pernah diterbitkan oleh penyair prestisius Indonesia. Mau terkekeh selucu apa pun kepada antologi puisi Tere Liye itu, mau dinista ngepop pula sampah, faktanya itulah the best-nya di pasar buku kita.
Bukti-bukti ini akan sangat panjang lagi bila statistiknya terus dibanjarkan. Kerap saya mengerutkan kening di hadapan laporan omset dan presentasi tim marketing, utamanya saat kalimat tulus namun bagai rudal itu menghantam kepala saya: “Kita sebenarnya mau menerbitkan buku bagus atau buku laku, sebab buku bagus lebih sering mangkir laku.”
****
Pasar tak bisa ditangkal, pasar tak bisa dimusuhi. Memusuhi pasar serupa mengiriskan silet ke urat nadi secara perlahan. Hari demi hari, kematian melindap tak terampunkan. Itulah pelajaran pengalaman.
Tetapi, di sisi lain, passion di dada muskil dibungkam. Menyumpal passion yang berdenyut sejak lama hanya akan menumpas sebuah ghirah dalam jagat saya, hidup saya. Itu artinya akan ada “lubang hitam” di dada yang menyedot habis segala ghirah di sebelah-sebelahnya. Itu berarti akan ada hantaman meaningless dalam hidup saya—dan jelas itu tak saya dambakan.
Maka ia selalu saya rawat, digeliatkan. Jika Anda percaya bahwa sesulit apa pun cinta akan selalu menemukan jalannya, demikianlah ikrar yang saya panggungkan kini melalui gerakan Sastra Perjuangan.
Sebagai pencinta dan sekaligus penulis sastra, mutlak saya tak rela berpangku tangan menyaksikan buku-buku gagah karya Sungging Raga, Eko Triono, Gunawan Tri Atmodjo, Yetti A. KA, Deddy Arsya, Nurul Hanafi, Anton Kurnia, Linda Chrisanty, pula Danarto, Hamsad Rangkuti, terus terkilir di tepian-tepian hiruk konsumerisme-kapitalisme pasar. Harus ada yang membela karya-karya emas itu, mengantarnya ke deras pusaran pasar yang riuh lagi pikuk, meski tentu saja ada harga yang harus ditumbalkan.
Pada derajat di mana saya merasa telah siap, saya berikrar menyunggi tumbal harga itu—bersama tim kurator yang dinahkodai Joni Ariadinata dan Tia Setiadi. Tetapi, saya pun sadar, ketangguhan karang pun ada batasnya. Bukankah kesetiaan air menetesi permukaan batu pada akhirnya selalu berhasil menciptakan pahatan-pahatan di atasnya? Ketangguhan mutlak akan jungkal bila tidak disendikan pada “taktik perang”. Agar saya tak seturut jadi martir.
Tak ada cara lain kecuali “kompromi” alias bersahabat dengan pasar. Ini kembali lagi kepada prinsip yang saya sebutkan di awal, bahwa “pasar tak boleh dimusuhi, sebab siapa pun yang memusuhi pasar akan mati dengan pasti”.
Anda pasti tahu bentuk koin Tiongkok: bulat dengan lubang berbentuk kotak di tengahnya. Ada kalanya saya bersikap kotak-kotak tetapi ada kala lainnya saya memilih bersikap bulat. Bak penari, kadang meliuk ke kiri, ke kanan, menegak, menunduk, bersimpuh, melompat, dan setamsilnya.
Begitulah deal saya dengan buku sastra. Begitulah spirit kompromistis yang dijadikan fondasi Sastra Perjuangan.
Maka tatkala buku-buku Sastra Perjuangan mulai membanjiri toko-toko buku mainstream—lepas dari hikayat proses seleksi, pergulatan takaran idealisme kesusastraan, hingga sentuhan artistik yang dipersembahkan—yang itu berarti harus diproduksi dengan kapital besar dan distribusi yang luas, seluasnya, di detik yang sama, saya harus tangkas mengantisipasi risiko-risiko jebolnya BEP, lambannya cash flow, hingga biaya-biaya tak terduga yang lazim dikeduk untuk menegakkan panggung-panggung apresiasi dan selebrasi.
Dan, mungkin saja Anda akan terkekeh lagi di sini, betapa sangga-sangga Sastra Perjuangan itu dihadiahkan oleh item-item sirkulasi kapital yang acap tak ada kaitannya dengan marwah sastra—misal dari buku mewarnai untuk PAUD dan grafik tinggi hunian kos-kosan. Begitupun perihal situs basabasi.co ini yang sedari awal kelahirannya didedikasikan untuk menyambung napas sastra budaya yang selalu diabaikan oleh pemerintah. Situs idealis yang tidak pernah menerima iklan dalam bentuk apa pun ini, yang memerlukan putaran dana besar karena sangat memuliakan para penulis sastra budaya dengan memberikan fee yang cukup baik, didanai total oleh omset kos-kosan yang diniatkan sebagai “sedekah” terhadap sastra budaya kita. Apakah Anda keberatan bila geliat sastra budaya di basabasi.co ini saya labeli “Sastra Kos-kosan”?
Lucu sekali memang, tetapi beginilah realitasnya, beginilah taktiknya, beginilah komprominya, dan inilah dasein sastra kita.
Terangguk ataupun tergeleng, sampai kapan pun, di kancah perbukuan mainstream, yang itu berarti mesti selibat dengan mekanisme selling out-selling in display, hukum BEP, polese, dan pertarungan segala jenis kategori buku di toko-toko buku mainstream, menerbitkan karya-karya sastra serupa memamah pedasnya cabe dalam porsi tak masuk akal: bikin mendelik, berkeringat, gerah, mengeluh, mendengus, menitikkan air mata, tetapi akan diulangi lagi dan lagi. Harap maklum, begitulah cinta, begitulah passion, tak harus selalu mampu dijabarkan oleh pepatnya nalar. Dan begitulah cara saya mengemban tugas saya untuk menjadi manusia di hadapan jagat sastra budaya kita.
Jogja, 21 Maret 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Nasirullah Sitam
Duh pak. Padahal aku tadi baru nulis di blog mengenai antusiasnya pengunjung di Kampung Buku Jogja 2016. Gak apa-apa, minimal blogku ada postingannya 🙂
M Faizi
sungguh keren niatnya. semoga sastra perjuangan dapat terus berjuang hidup
Muhammad Dandy
E& emang buku antologi puisinya Tere Liye, ya. Mampu menyisihkan penyair sekelas Sapardi, pun Aan.
Terus berjuang memperjuangkan sastra, mas!
Jumadi
Mantap,dan salut
Josep Gangsar
Ketika melihat sepintas di rak toko buku besar tersebutlah novel “The Old and The Sea” dan membeli karena tertarik dari kemasannya dengan ukuran mungil dan cover grafisnya yang apik menarik tetapi ketika membacanya kadang mengeryitkan dahi membaca alurnya yang agak janggal ketika terbiasa dengan novel-novel karangan yang beralur teratur dan membumi seperti buku-buku perjuangan kemerdekaan yang dikemas dengan cerita pada masa sekolah dasar dulu masih sempat menemui di rak perpustakaan sekolah, juga novel berlatar sejarah kerajaan-kerajaan masa lampau yang bertuturnya mengalir dan membumi.
Dan ketika niat komitmen untuk memulai menulis dan sudah dua judul selesai namun waktu dan kondisi jaman yang sudah berbeda memaksa untuk bersabar dan bekerja di luar dunia sastra/tulis untuk bisa bertahan hidup dan memperoleh rupiah yang sekedar mengisi kebutuhan sehari-hari.
Memang itulah kondisi jaman sekarang dalam dunia sastra yang kurang beruntung, tapi percayalah suatu saat nanti asal kita tekun dan sabar akan banyak dicari lagi para peminat pembaca buku. juga asal harga buku-buku semakin terjangkau (murah) dan hal ini perlu keberpihakan dari semua elemen juga Pemerintah agar dunia perbukuan dan minat membaca di negeri ini bisa berkembang lagi. Semoga!
Rosyid
Tak ada kata yg mampu terucap, selain doa dan amin selalu menyatu sebagai perayu kasih dan sayang-Nya.