Puisi-Puisi Deri Hudaya

 

Seorang Petani

di Sarang Paceklik

Langit kian terik berwarna bangsat

Sawah seperti hamparan jarum raksasa

Membuat ia ingin berbaring di atasnya

Untuk lelap dan tak harus siuman lagi

Tenggorokannya sekerontang selokan

Ia ingat arak hitam tapi juga ingat dosa

Ia ingat lumbung kecil penyimpanan

Yang telah keparat digasak kawanan tikus,

Tetangga, kolega, dan mertua

Seekor elang terbang lelah entah dari mana

Jeritannya samar mengabarkan bahaya

Sayapnya terbakar matahari jahanam

Sekilas terbayang wajah lapar anaknya

Wajah bengis istrinya di pintu dapur

Kehadiran elang itu membuat pikirannya

Kian berpusing—lalu bertaut—kepada Maut

: “Harga pupuk mahal. Harga diri murah.

Kamu yakin kamu masih mau jual mahal?”

Elang menukik cepat ke sekitar rumahnya

Ayam pejantan berkeruyuk

Di pelataran gersang dalam batinnya

: “Fuck-fuck-fuck … fuuuck!”

2020

 

 

Tuhan, Mengapakah Cinta

Terlihat Begitu Tolol

Sebab aku sering tersenyum kepadanya

Ia bilang aku lelaki tak tahu diri

Dan bertampang pilon

Aku bawakan seikat mawar ke rumahnya

Ia malah minta dikirim racun tikus

Rokok kretek dan senar gitar nilon

Aku tulis puisi-puisi romantis untuknya

Ia anggap bahasanya terlalu rumit

Menjengkelkan dan tak ada gunanya

Aku berpakaian rapi, necis dan mahal

Ia kira aku mau menagih utang

Aku memohon-mohon setiap malam

Ia bahkan tidak sudi membalas pesan

Aku marah

Ia malah meledek dan tertawa

Meledak-ledak

Aku mati karena sakit hati

Ia minum racun tikus untuk ikut mati

Tuhan, mengapakah

Cinta terlihat begitu tolol

2020

 

 

Kisah Cinta Kita

dan Sandal Jepit

Selamat pagi, mari kita sambut

sinar hangat matahari. Semua orang tahu,

kau dan aku jarang sekali bangun pagi.

Aku seduhkan dua cangkir kopi tubruk

dengan sedikit gula pasir; dengan ponsel

pintar kau memutar instrumen entah

milik siapa—aku tidak peduli—yang

penting melodi itu tidak mengandung

kata-kata yang bakal mengganggu

pikiran kita, mesti tenang dan lembut,

mesti rapi dan ritmis, selera khas

aristokrat (baca: bangsat berkelas).

Di halaman depan rumah, kita bicara

tentang matahari yang telah membunuh

Galilei, daun-daun manggis yang berkilat

seperti tatapan mata bangsa penjilat,

aroma kopi dan puisi cengeng atau

adiluhung. Semoga sebuah rudal

melesat dari Iran, melenceng menuju

tanah air kita, dan meledak di meja

perjamuan pagi kita yang terakhir ini. 

Selamat pagi, mari kita sambut

sinar lembut matahari. Semua orang tahu,

kau dan aku selalu tidur menjelang pagi.

Setelah lelah bercerita dan bercinta,

menangis dan bercinta, berkhayal dan

bercinta, bertengkar dan bercinta,

sepanjang malam, setiap malam.

Memang malam telah jadi milik kita

sejak lama: kau adalah pelacur tengik

yang belum lama hijrah, sementara aku

perampok yang bertobat lantaran melihat

seberkas sinar Tuhan pada matamu.

Saat itu, malam itu, saat kumasuki

rumahmu untuk mencuri, tiba-tiba

aku kehilangan gelisah yang biasa,

malah kutemukan kedamaian, seperti

ketika aku menginjak kota Mekah

pertama kali, seperti ketika aku sampai

di Tibet yang suci, seperti ketika aku

berada di pedalaman Kanekes yang

dimuliakan adat. Pagi ini, setelah kau

menyesap kopi dua kali, setelah rokokku

terbakar separuh, semoga saja

musuh-musuh kita datang, polisi atau

para pendendam. Mereka menyuruhku

mencium bibirmu, memelukmu dengan

mesra, lalu meledakkan kepala kita. 

Selamat pagi, mari kita sambut cahaya

tropis sekali ini. Semua orang tahu,

kau dan aku terbiasa abai pada pagi,

abai pada waktu, abai pada langit

dan bumi beserta segenap bajingan

dan seluruh penipu yang menghuninya.

Aku mencintaimu karena tidak ada

penipu paling penipu yang memikat

selain engkau. Kau mencintaiku karena

aku adalah bajingan paling bajingan

di antara semua bajingan yang engkau

kenal. Meski tak ada rudal nyasar

dari sebuah peperangan, tidak ada musuh

yang menemukan persembunyian kita

di kampung tertinggal dan terkutuk ini,

setelah dua cangkir robusta kita tandas,

aku yakin kita akan sama-sama pergi

ke kerajaan langit dengan jejak busa

di bibir masing-masing. Beberapa malam

kita telah sepakat bahwa cinta adalah

racun dan racun adalah cinta, yang

kedua-duanya tidak mungkin diciptakan

oleh setan atau Ifrit penunggu

beringin tua di belakang rumah.

Selamat pagi, kau dan aku, sepasang

kekasih, matahari dan hangatnya, dua

cangkir robusta yang belum dingin,

kursi dan meja kayu lapuk, mimpi

dan keinginan, hidup atau mati,

sepasang sandal jepit yang kau

hadiahkan untukku raib selepas isya

di halaman masjid tadi malam.

2020

Deri Hudaya
Latest posts by Deri Hudaya (see all)

Comments

  1. Putra Hadinata Pratama Reply

    Geloooooo… Wedaaassslahhh

    • Novala Arum Reply

      Mantap hahahah

    • Deri Hudaya Reply

      Hehehe

  2. Mutmainah qolbi Reply

    “Langit kian terik berwarna bangsat”
    Mantep!

  3. Deri Hudaya Reply

    🙏🙏🙏🙏

  4. Ziana Fiqly Walidah Reply

    Keren

Leave a Reply to Putra Hadinata Pratama Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!