Pidato Dedaunan
Telah kurentangkan sepasang tanganku seperti
Angin yang merebahkan dirinya kepada bumi
Telah kupejamkan sepasang mataku seperti
Sepetak ladang menidurkan riuh akar padi
Aku mengingat siapa dan apakah diriku seperti
Arsitektur hujan membabtis mimpi para biji
“Dengarlah, kusampaikan titah matahari.”
2016
Adegan Mencocok Hidung Sapi
Lehernya diapit dua batang rerumpun pohon pisang,
tujuh mata tunas pada bonggol terinjak, basah melumer
dari pelepah yang robek dan dua lubang hidung sapi
yang menjerit
Aku lihat mata ibunya, mirip genangan hujan yang tua
“Bening dan merah segar!” kata jantung bocah itu.
“Genggam tangan pamanmu juga merah,” kataku.
Aku lihat mata paman membidik, mirip lubang senapan
Dua lengan tangan paman tampak merangkum ombak,
dari telapak kakinya seakan tumbuh akar pohon pinang.
Lenguh sapi yang mengental mulai terdengar tidak jelas
apakah takut apakah marah apakah memohon apakah
memanggil apakah meminta tolong?
Sapi tahu sang ibu di situ, tapi ia tak bisa melihatnya
“Tidakkah ia terlalu kecil?” kata jantung bocah itu.
“Memang. Mumpung. Justru. Karena ia kecil.” kataku.
Mata tunas yang sempal, getah pada bonggol, tanah
setengah becek yang dilumat kaki kecemasan yang padat,
leher yang tak bisa menoleh, adegan setelah hidung sapi
menjadi cerita lubang peniti, tak perlu kutulis di sini
Paman senang, aku paham: arti lenguh yang kental
2016
Meditasi Toge
Air merendam dingin, gelap, dan diriku
Doa – doa telah tertidur dalam diriku.
***
Mulai kudengar tikus memanjat perkakas, cicak
berceracap, dan siaran televisi menumbuhkan kata
kata kata kata menjadi kicauan anak-anak
Daun mengenalkanku pada udara dan matahari
Pada tangan perempuan ladang dan telur puyuh
Pada pagi dan malam-malam yang ditinggalkan
Pada sejarah penyingkiran, jalur migrasi semut
dalam rekaman mata bajak yang dilupakan
Aku mengenal bau pembunuhan di ladang itu
Inilah diriku; sebutir kacang yang menginapi janin
sebuah takdir untuk melahirkan sejenis kematian
yang tak mengharukan
Cahaya memanggil, aku tumbuh lalu mengakar
dan mampus dalam rutinitas amnesia: makamku
terbuat dari sperma, pula perih selubung kelamin
yang berdongeng tentang cara menghias kepala
dan merek kacamata dan warna hari pada bibir
dan jubah suci pembungkus kata-kata dan kata
yang menyihir knalpot menjadi mimbar dakwah
Aku mendengar kesombongan dari bunyi sepatu
2016
PUZZLE GAME; Brot!
1/
Alat itu tidak becus memastikan beban kesunyian
yang berlemak, atau mengukur jauh-tebal lamunan,
dalam kandungan sebatang kelamin yang nyempil
di bawah pusar yang tak berwibawa.
2/
Ia menulis puisi tiap hari kamis dan senin, pagi
sebelum dengung mesin cuci mati. Menulis seperti
mengelap-ngelap highheels dan membacanya lagi
seperti memajangnya di tengah meja makan bundar
yang kosong-sepi. Seakan mencari kilat dari lampu
yang memantul dari warna sepatu itu.
3/
Dipakainya deret nama penuh huruf i, bukan siti,
dan berdecak ia kepada diri sendiri, “Biar kurus!”
4/
Ia membayangkan karpet merah, yang memanjang
lurus, pula sempit. Kakinya memapah bening laguna,
seanggun percikan nada vivaldi di ujung sepatu. Ia
membayangkan anak tangga dan reruntuhan balkon;
babylonia, gurun, dan casanova yang merenung.
5/
Baca dari no. 3. Lalu 2, 7, 4, 6, dan kembali ke no.1
6/
Ia ingin mengirim puisinya ke media. Berhari-hari
kepalanya berpikir: menempuh waktu sejauh 122 Kg.
Mirip sepasang kaki yang sibuk naik turun timbangan,
lalu malu lalu marah lalu sedih menyalakan mesin cuci
lalu duduk lalu lesu lalu tersedu di hadapan meja makan
yang angker itu: membuat prolog tentang timbangan.
7/
“Ranum. Mirip punggung Audrey Hepburn.”
gumamnya, seraya menatap sebingkai jendela.
Langit memutih, suara bajaj naik ke lantai 23.
2016
- Puisi-Puisi Halim Bahriz; Pada Matamu - 2 April 2019
- Sebuah Cara Menceritakan Diri Sendiri - 29 July 2017
- Puisi-Puisi Halim Bahriz; Pidato Dedaunan - 25 April 2017