Sebuah Cara Menceritakan Diri Sendiri

Judul               : Sebelum Sendiri

Penulis                        : M. Aan Mansyur

Penerbit          : Penerbit JBS

Tebal               : 70 hlm

Cetakan           : Maret, 2017

ISBN               : 978-602-61256-0-6

 

“Apakah diam adalah dusta?”

(Sebelum Sendiri, hal. 20.)

Barangkali, diam menjadi satu-satunya cara tersisa untuk mengalami kejujuran. Atau semacam kejujuran. Kau tentu tahu, bagaimana ia tersimpan di dalam kata dan bertumbuh di dalam bisu. Seperti telur yang kita erami dengan diri paling sepi. Tapi kata telah lebih dulu mengabadikan sebuah jarak, antara “kebenaran yang diambilnya” dan “kebenaran yang ditinggalkannya”. Saat kata kita dengar atau ketika kata kita ucapkan. Barangkali karena itulah diri tak pernah lengkap, sebab kata tidak pernah cukup.

Agaknya kau memilih sajak (baca: puisi) untuk menjamas kata—sebagaimana seorang Jawa memulihkan persona keris dari karat dan kepudaran. Apakah kau mengidamkan semacam kemurnian, dengan menghapus alamat dan keyakinan? Pula menyatakan, bahwa lebih indah membaca bibir yang tidak mengucapkan apa-apa atau bertanya kepada langit yang tak hendak menjawab, melalui mata pengemis tua yang masih menyimpan cita-cita masa muda.

Sebagai penyair, kau tampaknya ingin menjadi seorang petualang yang bahkan, ketika pulang, tak pernah sampai di rumah. Tapi kau juga ingin menahan orang-orang yang hendak pergi. Apakah yang mereka tinggal dan kau tidak ingin turut meninggalkannya, An? Mengapa kau ingin mengingkari kata jika kata di dalam yang kau tulis, puisi telah menjadi kanopi dan gema yang datang dari mikrofon telah redam; jika telah kau uruk liang-liang jawaban dengan sebuah bukit?

kata-kata dalam sajak ialah belantara.

pohon di mana-mana berbunga dan tidak

pernah ada yang berbuah.

(Sebelum Sendiri, hal. 15.)

Mengapa tidak berbuah, An? Agar kekosongan yang kau cari lebih rongga lagi dan diri lapar yang kau incar lebih lapar lagi? Apakah kejujuran hanya datang dalam suasana tak beres macam begitu? Betulkah kebenaran tak pernah gagal merayu seseorang untuk rela dan bahagia mengemban semacam “masokisme” (atau sacrificed?), sebab kebrutalan selalu merupakan residu dari berjumpanya kebohongan, kekuasaan, dan solidaritas dari kaum-kaum yang tertipu? Tapi aku setuju dengan pendapat ini: sebuah atau sejuta, puisi tidak akan membuat perut lapar mendapat kenyang dan justru membikin diri yang lapar semakin berpuasa.

kadang-kadang datang

seorang penghibur: tidak ada

permukaan indah tanpa kesedihan

di dasarnya.

dan aku mendambakan

sebaliknya.

(Sebelum Sendiri, hal. 24.)

Baiklah. Aku akan menjadi dirimu (untuk sekian tanda tanya itu), yang percaya: jika di kota, belantara telah lama terbonsai serupa kamar dan silau cahaya yang membuat warna langit pudar telah selesai membagi kewajaran. Akulah peragu yang “menulis berjuta-juta kata, tapi tiap kata lupa dari mana dan untuk siapa ia tiba.” Seorang masa lalu “yang membuat kopi pagi tidak butuh gula dan kawan bicara.” Penyendiri yang pergi ke sekolah tiap pagi dan berharap tiba di ruang kelas di mana tidak ada orang selain aku. Si pemilik pikiran gelap yang hendak menghubungkan diri dengan dunia yang dilupakan, lantas berkeliaran di bawah lampu-lampu jalan yang padam.

Aku tinggal di suatu kota yang terbuat dari lelehan kaca dan sepenuhnya telah menjadi jawaban. Semua orang tak ingin terlambat mengungsi dari pertanyaan, juga penantian. Mereka berbondong menuju sebuah mimpi milik orang-orang yang tidak pernah tidur. Terus berlari, meskipun mereka tidak juga menemukan wajahnya di sana. Kotaku telah masa depan, sebuah masa kini yang kosong, di mana hampir semua penghuninya takut untuk kembali jadi diri sendiri; (aroma) dapur berubah menjadi garasi dan kata-kata telah menjadi kantong plastik.

tidak ada kejujuran. orang-orang tidak suka

kebenaran. mereka lebih senang jatuh cinta

pada hal-hal ringan dan mudah terbakar.

            (Sebelum Sendiri, hal. 28.)

Aku ingin menjadi matahari yang gelap di kota itu, “melebihi puisi yang hidup dalam kemiskinan bahasa; kata-kata yang selalu berjuang memeluk tubuh yang tidak ada.” Aku ingin orang-orang kembali seperti tubuh yang berjalan di dalam malam yang belantara. Serupa janin dalam rahim, terhubung dengan langit yang telah menjadi sepejam mata. Tapi aku tidak ingin berkata “jangan pergi” kepada mereka yang berkata warna harapan menggenang dalam mataku yang putus asa tak bisa menahan mereka untuk tinggal meskipun, pada akhirnya, perkataan itu aku katakan juga. Mereka sampaikan kepadaku (sebelum sendiri), akulah kata yang takut ditulis.

Kenangan dan harapan adalah dua negara yang tidak ada dalam peta. Di dalam mereka membentang jarak antara kedua negara itu. Dari sana hidup berlimpah sepi, yang kemudian terasa lebih berat daripada ketanpaan ketika tidak mampu mereka temukan diri sendiri di mana-mana—dan ingatan: menjadi paspor yang selalu minta diperbaharui, tapi siapakah diri? Aku telah “daun lepas dari dahan menimpa bayangan sendiri di permukaan air,” saat tanya itu tumbuh dan sebuah ingin di dalamku bersemi menjadi serimbun kata, ada lebih banyak hal penting untuk tak dikejar dan dikerjakan. Harapan yang sempat menggenang telah lebih dulu menjelma alamat usang yang menguap menuju selepas jauh, di luar waktu, serupa puisi yang selalu meloloskan diri dari siasat bertangkup-tangkup kata.

kau tahu kau mencari seseorang

tapi kau tidak tahu siapa. kau berharap:

ia mencari dan kelak menemukanmu.

kau ingin sendiri. tapi kau tidak sanggup.

kita lahir bersama kesedihan orang-orang

yang berbahagia sebelum kita.

(Sebelum Sendiri, hal. 34.)

Aku ingin membuat pulau-pulau baru, di mana aku menyambut dan menyebut segala dengan nama baru. Di mana tak ada lagi yang merasa berkawan dengan batu-batu nisan yang tak bisa membedakan pergi ke kantor dengan menghadiri upacara pemakaman—pula memendam semacam segan dalam diri seorang sepi yang tabah menengadah wajah, bertanya-tanya di lengah dunia yang mendadak dipenuhi tawa menggelegak: dirikukah “manusia terakhir yang suka bercakap dengan langit?” Suatu tempat yang hanya berisi hal-hal biasa yang tidak perlu dituliskan dalam puisi. Sebab di tempat itu tidak ada yang pergi. Bahasa bukan guci pecah dan laut menyimpan abu semua ibu. Langit menjadi kalimat dengan tanda titik yang menggelinding entah ke mana.

Aku tidak ingin orang-orang terus tinggal di sebuah tempat seibarat unit gawat darurat; yang menyulap setiap peristiwa menjumpai seseorang bagai menjenguk kerabat yang sekarat, di mana waktu datang bergantian seperti para pasien yang tidak memegang surat pengantar dari kelurahan. Aku tak mau tinggal di sebuah keluarga yang setiap pagi meresmikan rumah sendiri sebagai rumah sakit—dan membuat napas semua penghuninya menebar bau obat-obatan. Aku sudah tidak kuat lagi tinggal di sebuah kota yang dikepalai seorang dokter yang gemar dan terus menciptakan para pesakitan demi mengabadikan karier kepahlawanan yang memulai kisah dari rekayasa. Kegembiraan dan kesembuhan, seperti yang telah aku katakan, cuma sebentuk kebohongan yang dirayakan golongan orang-orang yang tertipu. Kejujuran seperti udara yang tak pernah bersih atau suara yang tak didengar sebagai dirinya sendiri.

sejarah seperti bocah kecil dengan balon warna-warni meledak satu demi satu di tangannya dan orang-orang bernyanyi dengan riang.

(Negeri Sedarah, hal. 64.)

Apakah kejujuran seperti suara udara setelah ledakan itu, An? Aku tak sanggup sepenuhnya menjadi dirimu. Juga tak mampu sepenuhnya tidak menjadi dirimu. Selalu ada orang lain dan hal lain. Sebagian diriku adalah sebagian hal lain dan sebagian orang lain adalah sebagian yang telah diriku. Setiap kali merasa bahwa aku berpikir hanya sedikit, aku mendapat lebih banyak. Semakin berpikir lebih banyak, aku merasa mendapat semakin sedikit. Kejujuran seakan-akan mustahil diucapkan. Seperti seseorang yang selamanya menghuni diri kita dan senantiasa menolak ajakan kata-kata.

Seperti yang telah kau tulis, sudah tidak ada lagi hal sederhana di bumi. “Kata” telah membuat hidup sekadar menghafal lupa dan abai kepada banyak hal yang belumlah sempat kita semati nama-nama. Tapi, An, bisakah kita berdiam di luar kata? Jika “sebuah diam” semacam berkemas untuk kepergian yang selamanya, bukankah cuma dengan kematian, diam akan benar-benar menjadi pengalaman dan tubuh tidak lagi bisa menampung dusta? Aku tak tahu. Aku tak pernah mati dan belum sekali pun menyaksikan seorang mati memakai atau menanggalkan kata untuk keperluan memahami atau dipahami. Barangkali, manusia memang dikutuk untuk selamanya memaknai.

An, bukankah “kata” menandai hadirnya orang lain dan hal lain? Sebuah dunia yang nyaris mustahil menjadi sebenar-benar sepi dan kita tinggal pergi. Seperti perkataan ini, “jika kautemukan seorang pria di jalan—menatap langit—bicara kepada diri sendiri sambil menyebut namamu, dia bukan aku.” Barangkali kau benar: kau tak pernah menulis puisi dalam buku ini, aku sedang bicara dengan diri sendiri. Itukah yang kau maksudkan dengan, “hanya dan cukup; sebelum sendiri”, An? Aku tak sepenuhnya yakin. Sebab aku tidak pernah benar-benar menjadi dirimu. Juga tidak pernah benar-benar menjadi diri sendiri. []

Halim Bahriz

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!