Tidak ada ideologi yang bisa diberangus. Kita tahu, pemerintah tahu. DI/TII boleh saja telah dilumpuhkan puluhan tahun silam beserta pemimpin tertingginya, tetapi obsesi ideologis untuk membangun khilafah islamiyah di republik ini takkan pernah benar-benar punah.
HTI menjadi penerus ideologi itu—meski garis genealoginya tidak lahir dari DI/TII. HTI boleh saja dibubarkan oleh pemerintah sebagai organisasi terlarang. Saya dan juga sebagian besar Anda boleh bersetuju dengan pemerintah bahwa usaha menggantikan Pancasila sebagai dasar negara ini adalah perbuatan melawan hukum. Tapi, denyar-denyar obsesi itu niscaya takkan pernah padam.
Ideologi selalu nyala dalam minimalnya pikiran.
Yusril Ihza Mahendra sebagai anak cucu dekat Masyumi yang pernah membangun narasi-narasi ideologis sejenis itu kita lihat tampil penuh semangat menjadi pembela utama kaum HTI itu. Mau menggunakan argumen demokrasi, HAM, hingga pasal 28 UUD 45 tentang kebebasan berserikat bagi setiap warga Indonesia, kita semua mengendus dengan jelas betapa perlawanan hukum yang dinakhodai Yusril tidaklah bisa disingkirkan dari kesamaan denyar-denyar ideologis itu. Prof. Ramli yang telah memberikan bantahan ilmiah-akademis kepada Yusril dan timnya tentang betapa riilnya pertentangan asas HTI terhadap asas Pancasila, itu semua takkan menyurutkan langkah Yusril dan timnya. Maklum, ini persoalan ideologis yang niscaya amat mendarah daging.
Sekali lagi, sebab ideologi selalu nyala dalam minimal pikiran semua kita.
Ideologi penegakan khilafah islamiyah secara ontologis sejajar belaka denyarnya dengan ideologi-ideologi lainnya di kepala setiap penganutnya. Yang disahkan ataupun disingkirkan. Lembaganya bisa saja dibubarkan, tidak ideologinya. DI/TII atau HTI bisa dilarang, tetapi suatu kelak sangat mungkin untuk muncul lembaga-lembaga lainnya yang mengusung ideologi yang sama. Selalu begitu dan niscaya akan selalu begitu.
Di hadapan ontologi ideologi beginian, negara dan semua kita yang tidak menginginkan adanya ideologi lain selain yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini, tidak patut untuk bertindak melampaui hal-hal yang bersifat kelembagaan belaka. Maksud saya, siapa pun yang menjadi pengikut bahkan pemuka suatu lembaga yang dilarang oleh negara, tidak boleh untuk tidak dilindungi hak asasinya sebagai manusia dan warga negara. Tindakan yang melampaui perkara kelembagaan yang dilarang itu hanya akan memicu pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya yang sama-sama tidak kita setujui dan dibenarkan oleh hukum.
Jadi, janganlah sikap kita dalam membela Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika menyebabkan kita tersandung pada praktik-praktik dehumanisasi pula.
Apa yang dilakukan oleh Yusril sebagai pembela hukum HTI untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap perpu yang menyebabkan HTI dibubarkan menjadi jalan yang sahih belaka. Itu harus kita terima dan hormati. Hasilnya pun, sepahit apa pun juga umpama, mesti kita terima dengan lapang dada.
Kita mungkin saja akan tertawa geli menyaksikan langkah tersebut. HTI yang menyebut Pancasila sebagai bughat dan demokrasi sebagai sistem politik kaum kafir yang harus dirombak, kini menjadikan demokrasi sebagai pelindungnya untuk menyelamatkan diri. Silakan tertawa saja. Tetapi, lagi-lagi, negara kita mengakui sepenuhnya hak setiap warga negara untuk melakukan judicial review tersebut.
Memang, harus buru-buru pula disertakan di sini, tatanan hukum apa pun, dari adat, agama, sampai negara, memiliki “ruh”, nyawa, bukan hanya kumpulan teks mati atau formalitas permukaan belaka.
Seorang maling yang mencuri sebatang kayu di perkebunan Perhutani, misal, secara teks hukum, formalitas permukaannya, jelas salah. Ada pidananya. Tetapi tatkala kasus pencurian itu dilakukan oleh seorang nenek yang tidak tahu bahwa itu melanggar hukum dan hanya dimaksudkannya untuk dijadikan kayu bakar memasak sehari-hari, lalu dipidanakan sesuai bunyi teks permukaan hukum tersebut, nurani kita seketika terkoyak luka. Kita menyebutnya “tidak adil”, “tidak bernurani”. Ini menunjukkan bahwa ruh hukum sejatinya adalah untuk menegakkan keadilan dan hati nurani kita.
HTI tentu saja memiliki hak kewargaan yang dilindungi hukum untuk mengajukan judicial review. Itu selaras dengan bunyi teks hukum kita, formal permukaannya.
Tetapi, apakah otomatis rasa keadilan dan hati nurani terakomodir pula di dalam proses hukum tersebut?
Saya pribadi menyebutnya tidak.
Umpama gugatan judicial review Yusril HTI terhadap perpu itu dikabulkan oleh MK, itu berarti keberadaan HTI harus dipulihkan demi keputusan hukum, tepat di detik yang sama rasa keadilan dan nurani kebangsaan kita terkoyak. Sah secara legal-formal hukum belum tentu adil secara keadilan dan kemanusiaan ternyata.
Jika sampai itu yang kemudian terjadi, sahih belaka bila warga negara lain yang menganut ideologi komunisme, misal, juga diberikan hak hukumnya untuk direhabilitasi dan mendirikan lembaga-lembaganya.
Benarkah kita sepakat pada keputusan hukum yang demikian?
Saya kira, di atas segala proses prosedural dan legal-formal hukum itu, ruh kebangsaan kita seyogianya selalu menjadi panji utama bangsa ini. Kita memang menganut sistem politik demokrasi, tetapi demokrasi kita bukanlah demokrasi liberal yang membebaskan segala-galanya bergerak. Demokrasi Pancasila kita adalah kebebasan yang dibatasi oleh asas Pancasila itu sendiri. Ini sesederhana Anda berkata kepada anak Anda, boleh kamu main PlayStation tapi hanya di hari libur. PlayStation dibenarkan untuk dimainkan, tetapi jangan langgar pembatasnya. PlayStation bukanlah yang utama, tetapi justru pembatas aturan itulah poin pokoknya. PlayStation bisa saja berwujud Nintendo atau Android atau game online.
Para pembela HTI, atau penganut ideologi apa pun, saya pikir mesti memahami dua sisi vital yurisprudensi ini, legal-formal dan ruhaninya. Menjadi hak mereka sebagai manusia bebas untuk menganut ideologi khilafah islamiyah di negeri ini, tetapi jangan sampai melanggar batas konstitusi itu. Pancasila sebagai dasar negara yang dinyatakan harus dijadikan landasan oleh semua organisasi adalah batasnya. Itu telah sangat paripurna. Tidak bisa dilanggar sedikit pun.
Kita percaya para penjaga hukum formal negeri ini akan senantiasa mengedepankan prinsip paripurna tersebut. Bahwa di rumah besar bernama Indonesia ini siapa pun yang menghuninya boleh berpikiran apa pun, berideologi apa pun, tetapi jangan pernah melanggar aturan-aturan dasar yang menjadi fondasinya. Aturan-aturan dasar yang telah permanen, paripurna, dan tak bisa diubah pada pokoknya.
Bila aturan-aturan dasar rumah ini diubah, atas nama prosedur legal-formal sekalipun, niscaya akan berantakanlah tatanan harmoni di dalamnya. Rumah ini akan menjadi sangat kacau, ruwet, penuh dengan perkelahian.
Na’udzubillah min dzalik.
Jogja, 23 Juli 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019