Kertas identik dengan banyak hal, dengan ekonomi, politik, agama, dan sebagainya. Sejatinya, kertas mempunyai bahan baku yang sama. Jadi, dilihat dari bahan baku itu, sejatinya kertas mempunyai harga yang sama, paling tidak: tak jauh berbeda. Namun, di lapangan, harga kertas bisa jauh berbeda. Buku tulis jauh berbeda dengan buku cetak; kertas koran jauh berbeda dengan kertas uang; kertas undangan jauh berbeda dengan kertas sertifikat; kertas kalender jauh berbeda dengan ijazah.
Semakin diteliti, bahkan sesama kertas untuk fungsi yang sama pun, harganya bisa sangat jauh berbeda. Untuk yang paling simpel: uang kertas ratusan ribu rupiah jauh berbeda dengan uang seribuan bukan? Buku best seller juga lebih dihargai bukan? Kertas juga terkait dengan keagungan dan sejarah. Meski sudah robek, kertas penuh sejarah tak akan mungkin dibuang begitu saja ke rongsokan. Meski sudah usang, adalah tak mungkin seseorang membakar kitab suci lalu menukarnya dengan kitab suci yang baru.
Namun, kertas tak selalu bernasib mujur. Di sekitar kita, ada banyak tumpukan kertas yang berakhir pada pembakaran massal. Nah, apa yang hendak saya utarakan dengan berbagai ilustrasi di atas? Sederhana saja, betapa kertas itu ternyata identik dengan manusia. Semakin bernilai, semakin dijaga. Semakin berfungsi, semakin dirawat. Lebih jauh dari itu, kertas bahkan tak hanya soal nilai dan fungsi. Kertas itu telah menerangi kaki kita melangkah karena kertas itu adalah peta petunjuk bagi kita.
Didengar dan Dibungkus
Kertas menyimpan segudang informasi masa lalu sebagai bekal untuk masa depan. Artinya, jika kertas adalah informasi masa lalu, kertas juga dapat diartikan sebagai informasi di masa depan. Sayangnya, belakangan ini, budaya kertas, terutama terkait budaya ilmiah sudah mulai disingkirkan. Kertas seakan tak berharga lagi. Fungsi dan nilainya sebagai kendaraan dan brankas pengetahuan sudah digeser, bahkan digusur. Kertas seakan dicukupkan fungsinya sebagai pembungkus makanan.
Saya tak sedang mengutuki perkembangan zaman yang dengan gegas mengganti kertas menjadi mesin digital. Sebab, begitulah peradaban: saling menukar. Peradaban batu, misalnya, tersingkir bukan karena habisnya batu dari alam. Peradaban ini punah karena sudah ditemukannya besi, tembaga, hingga emas. Demikian juga kertas. Tengara bahwa zaman kertas akan punah bukan karena akan habisnya kertas. Jikalau bahan baku kertas hanya dari pohon, pohon bisa ditanam, bahkan dengan mudah.
Jikalau alasannya hutan semakin tipis sehingga pohon tak bisa ditebang lagi, kertas juga bisa didaur ulang. Artinya, punahnya zaman kertas sama sekali tak ada kaitannya dengan habisnya kertas. Punahnya zaman kertas, khusus untuk tradisi ilmiah, lebih pada ditemukannya teknologi yang baru. Itu berita positif, seharusnya. Namun, jika ditelaah mendalam, penemuan teknologi baru pengganti kertas ini sangat berdampak buruk. Paling tidak, budaya berpikir mendalam sudah tak ada lagi. Pengetahuan memang begitu mudah ditemukan.
Cukup googling, segalanya akan beres. Semua pengetahuan dan informasi terkait langsung bermunculan. Sayangnya, melimpahnya informasi dan pengetahuan ini tanpa saringan yang ketat. Siapa pun bisa membuat informasi. Media digital terlalu egaliter sehingga suara setiap orang didengar dan dibungkus. Tak ada bedanya lagi suara anak ingusan dengan suara guru besar. Semua mendadak ahli. Sayang sekali, semua mendadak ahli sama sekali bukan berita positif. Semua mendadak ahli sinonim dengan semua mendadak tidak ahli.
Tak ada lagi penghormatan untuk pengetahuan. Inilah yang disebut Tom Nichols sebagai matinya kepakaran. Matinya kepakaran bukan berarti budaya berpikir habis total. Matinya kepakaran lebih pada tiadanya saringan memadai untuk setiap informasi. Semua masuk begitu saja. Sampah berbaur dengan makanan. Karena di medis dihital semua suara diumpukan, suara itu lantas berubah jadi kebisingan. Tak ada lagi kesunyian. Kita seakan tak punya waktu lagi untuk bermeditasi memikirkan segala informasi itu secara mendalam.
Suara itu sudah seperti disebutkan di atas: sampah berbaur dengan makanan. Kita pun kini ibarat pengepul di tempat sampah. Semua kotor dan mengotori. Lihatlah adab kita saat ini. Hoaks begitu cepat melesat. Keributan menjadi keseharian. Hujatan menjadi sarapan pagi. Dendam jadi bekal untuk mimpi di malam harinya. Betapa tidak. Setiap harinya, kita menjadi korban dan pelaku penyebaran informasi tanpa seleksi. Teknisnya begitu mudah dan, oh, tragis. Kita duduk di rumah bersama anggota keluarga.
Tetapi, meski tinggal di rumah yang sama, kita sudah tidak serumah lagi. Kita sudah terasingkan dan mengasingkan diri. Kita menutup diri dengan orang-orang rumah. Kita fokus dengan gawai kita sehingga orang-orang rumah dicukupkan fungsinya sebagai latar belakang. Bayangkanlah fakta ini. Menjelang malam, kita asyik dengan gawai berikut informasi di dalamnya. Kita lantas membaginya dengan kalimat: hanya share. Kita kebelet. Kita membawa gawai. Dari kamar mandi, kita turut membagi informasi berlabel valid, tetapi, oh, minim saringan.
Memilih Sebagai Apa?
Keluar dari kamar mandi, kita masuk ke kamar tidur. Budaya bercerita dengan keluarga sudah sirna. Di kamar tidur, di balik selimut, kita mengonsumsi berita-berita tanpa saringan. Lama-kelamaan, kita tertidur dengan bergelimang informasi di gawai. Saban bangun, oh, informasi untuk dibagikan sudah antre. Maka, alih-alih berdoa atau menyapa keluarga, pertama kali yang kita lihat adalah gawai. Kegiatan pertama yang kita lakukan adalah membagi informasi tanpa saringan.
Bayangkanlah betapa brutalnya hidup kita: membuka hari saja sudah ikut serta membagi informasi tanpa saringan lalu menutupnya tanpa klarifikasi pula, apalagi maaf, justru yang ada menumpuk dendam. Bayangkanlah juga, kita terlelap dengan informasi kebodohan, kita terjaga pula dengan informasi yang sama. Tak ada lagi bedanya tidur dan jaga. Semuanya, sadarilah itu, sudah dilakukan tanpa kesadaran. Bagaimana tidak. Kita mendadak jadi manusia grasa-grusu. Tak ada lagi narasi Hegelian di mana konon kita dipandu kertas koran.
Tidak ada lagi deskripsi membaca kertas koran setiap pagi. Saat itu, kita dipandu oleh doa yang sama: koran. Pikiran kita dibentuk untuk semakin dalam. Maka, bukan hal aneh jika pada masa itu orang berjuang keras menumpuk berbagai pengetahuan secara sadar dari perpustakaan, misalnya. Dengan sabar kita mendalami dan merenungi setiap informasi. Kini, kita tak menumpuk pengetahuan di kepala lagi. Maka, jangan heran jika kini orang semakin suka berpikir pendek.
Apakah Anda tak berpikir bahwa ini semua dampak dari dipunahkannya kertas? Jadi, tak salah jika saya mengambil hipotesis ini, punah kertas, punahlah manusia. Itu pun jika arti manusia adalah makhluk berpikir dengan penguatan dari filosofi cogito ergo sum. Kecuali itu, jika manusia tak lagi makluk berpikir, maka saya tetap percaya, punah kertas tak identik dengan punah manusia. Seperti di awal tulisan ini disebut, kertas dilihat dari nilai dan fungsinya. Manusia juga semestinya dilihat dari akal dan budinya.
Masalahnya kini, apakah kita sudah memilih sebagai makhluk berpikir atau…, oh, saya tak sanggup menyebutkannya!
- Bangsa yang Konyol itu, ya, Kita! - 23 March 2022
- Surat: Dari Siapa, Bukan untuk Siapa! - 23 February 2022
- Bahasa Indonesia: Menuju Perjalanan Akhir? - 14 November 2019
Putri Shafira
Hai Bang Riduan, terima kasih atas tulisannya yang berhasil menyuarakan pikir yang terpendam. Saya izin share ya! Keep on writting ya Bang 🙂
Anonymous
apakah ada orang yang berhipotesis buku merah punah, jayalah manusia ya? hehe
makasih bang riduan
Yunita Karang
Hai Riduan, terimakasih, tulisannya sangat bermutu. Saya suka
OZ
Sangat bermanfaat, Tetap lanjutkan 👍👍👍
Anonymous
mantap bg,, lanjutkan..
Amira Khoirun isa
Sangat bermutu, terimakasih