Di balik jendela yang kayunya rapuh, Mina menatap langit kemarau yang kering dengan sepasang mata yang temaram. Pelupuknya bengkak dan dari sudut-sudutnya, butiran bening terus mengalir, labuhi ujung kaki, lalu jatuh membasahi lantai semen yang retak.
Ia selalu berharap, langit lekas berbedak mendung, memuntahkan hujan ke tanah kampungnya yang gersang, menghijaukan kembali reranting yang gundul, melumuri wajah kusam ladang dan persawahan dan selebihnya bisa membasuh mulut orang-orang yang rajin menggunjing dirinya.
Perempuan yang hanya hidup dengan seekor kucing berbulu putih itu sudah hampir sebulan terus-menerus menangis, atau sejak gunjingan tentang dirinya itu menyeruak ke seantero kampung.
Gunjingan warga itu tak sekadar membuat irisan pisau di hati Mina, tapi juga mengancam dirinya, sudah beberapa kali warga mendatangi rumah beratap rumbia itu dengan pentungan dan senjata tajam, mereka berteriak-teriak, bahwa menurut mereka, kemarau panjang yang melanda kampung itu disebabkan oleh Mina.
“Kamulah penyebab kemarau panjang ini. Kamu hamil tanpa suami, dihamili kucing putih, itulah yang menyebabkan hujan enggan turun, pergi kau dari kampung ini!” ancam warga di halaman rumahnya.
Kala itu Mina menangis, tubuhnya gemetar menahan rasa takut. Ia terus bersandar pintu, tangan kanannya menekan palang kayu panjang agar terus melesak ke lubang berpaku, ia tak ingin pintunya terbuka. Sedang kucingnya yang putih senantiasa mengeong, sambil mennggesek-gesekkan tubuhnya ke betis Mina.
Sejak saat itu Mina tak banyak keluar rumah, ia hanya berdiam di kamar kumuhnya dengan seekor kucing putih. Sesekali melihat panorama melalui jendela yang daunnya terbuat dari anyaman bambu, dan hampir seluruh pelipirnya telah rusak, menyisakan rumah rayap yang meliuk panjang. Di balik jendela itulah ia bagai mengundi nasib; mati atau bertahan, sambil terus mengelus dadanya yang nyeri, di antara ricik butir air mata. Kini yang ia makan hanyalah pemberian dari sebagian kerabat dan tetangga yang masih iba kepadanya.
Jika tak ada yang mengantar makanan, Mina akan ke belakang rumahnya, mengunyah buah srikaya yang masih muda. Makan sudah bukan perkara penting baginya. Gunjingan dan ancaman telah melupakannya pada mengingat rasa kenyang.
Mina terus menangis. Di luar, daun-daun kering terus berjatuhan, menimbulkan suara kersik gesekan yang seperti mewartakan hujan yang enggan tandang. Debu sesekali mengepul, diracik angin, melumuri gedek bambu rumahnya. Dan di antara tangis perih itu, ia kerap mengaduh dengan wajah yang meringis, tangannya memegang perutnya yang buncit. Sakit sekali.
Kucing putih kesayangannya mengeong dan mencium betisnya, sejenak Mina menatap mata kucing itu sangat tajam. “Apa benar kau telah meniduriku saat aku lelap sehingga perutku buncit?” tanyanya lekas. Lalu ia mengelus kucing kesayangannya itu sambil merasakan sebuah ketololan, sebagaimana warga-warga tolol yang mendatangi rumahnya.
#
Tanah kian dipenuhi liuk retakan, gersang dan kerontang, berbalut rumput ranggas dan guguran daun. Pohonan berdiri kaku, sembahyang dalam kematiannya, sebagian patah dan ambruk. Panas matahari bagai tusuk jarum langit yang bertabur ke bumi. Warga semakin rajin datang ke halaman rumah Mina, menggunjing dan mengancam. Sementara Mina melihat perutnya semakin buncit, ia tak bisa membayangkan jika benar-benar harus melahirkan.
Ada kalanya ia benar-benar melempar keras kucing putih kesayangannya itu dengan balok kayu. “Bukkk!” kucing itu mengeong keras kesakitan, meloncat dan berjalan terpincang, sebelum akhirnya berdiam di bawah lincak bambu, dengan mata yang redup berkedip pelan.
Mina sangat menyesal kenapa dulu harus membawa kucing itu ketika ia tengah berteduh di emperan sebuah warung kayu, sepulang dari menyabit rumput. Saat itu kucing putih itu masih kecil dan menggigil kedinginan, bulunya kuyup oleh air, suaranya samar jauh tenggelam di dalam mulutnya yang seperti lama tidak makan. Lalu Mina mengambil dan membawanya pulang. Selain karena kasihan melihat keadaan tubuh kucing itu yang sangat lemah, ia bermaksud menjadikan kucing itu hewan penghibur demi mengusir hari-harinya yang sunyi, lagi pula ia beranggapan kucing itu punya jalan hidup yang sama dengan dirinya; hidup sebatang kara dalam cengkeram nasib yang kurang beruntung.
Dirawatnya kucing itu dengan telaten, bulu-bulunya yang putih selalu ia bersihkan dengan semprotan air di pagi hari. Setiap apa yang ia makan, mesti harus dibagi dua dengan kucing itu. Kucing jantan putih itu tumbuh sehat dan gemuk, matanya bening kekuningan, padu dengan jurai kumisnya yang panjang lurus dan teratur. Bila ada waktu senggang, Mina akan membawa kucing itu ke sebuah kebun di belakang rumahnya. Di sanalah kucing itu dilatih banyak gerakan seperti bertepuk tangan, menari, dan lainnya.
Hari-hari berikutnya ia dan kucingnya, terlihat bagai ibu dan anak bocahnya, ke mana pun selalu bersama. Warga pun paham, jika Mina punya kucing jinak yang bagus, yang bisa disuruh meniru beberapa gerakan manusia. Belasan tahun ia bahagia dengan kucing itu, hingga tiba hari ini; pikirannya berubah seratus delapan puluh derajat, ia jadi benci kucing putih itu, yang oleh warga—dan Mina juga memercayainya—dianggap telah menghamili Mina hingga perutnya buncit. Mina sangat membenci kucing itu, ia beranggapan kucing itulah yang membawa benih petaka ke dalam kehidupannya.
Tak sedikit pun ia memberinya makan, kecuali sabetan keras sapu lidi dan lemparan benda keras lainnya. Berkali-kali kucing itu jatuh pingsan, menggelepar dan berdarah, hingga suatu pagi ia pergi meninggalkan rumah Mina dengan wajah memar. Mina sangat bahagia melihat kucing itu pergi. Seolah segala nasib buruknya telah dibawa kucing itu.
#
Linang air mata Mina kian subur, merembes di sudut pelupuknya yang bengkak, ia hanya mampu menggerakkan jemarinya saja, pada lincak bambu rapuh, tempat ia berbaring sejak dua bulan sebelumnya. Tubuhnya sangat kurus, tinggal tulang berbalut kulit, hanya perutnya yang terus buncit, seperti hendak meledak.
Nyatanya, meski kucing itu sudah tiada, kemarau tetap mencakar-cakar kampung, ladang dan sawah semakin kerontang, hanya sedikit pohonan yang masih berdiri, itu pun dengan dahan tak berdaun. Selain itu, gunjingan warga tetap tak henti. Setiap hari selalu ada warga yang datang mengancam, tak peduli Mina telah tergolek tak berdaya.
Mina terus menangis dan menikmati irisan pedih dalam dadanya. Hampir saja ia putus asa, hendak mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, tapi beruntung, kucing putih itu datang kembali ke rumah itu, diikuti seorang dokter berpakaian dinas. Kucing itu mengeong-ngeong gelisah, kadang menatap dokter lalu menatap Mina. Mina menatap kucing itu dengan sorot yang lemah.
Dokter itu pun memeriksa tubuh Mina yang sangat lemah tak berdaya itu, ia pun tahu jika Mina sedang mengidap penyakit tumor ganas. Dokter itu hanya mengelus lembut rambut Mina beberapa kali dengan wajah yang sedih, lalu menimang kucing putih itu dan mendekapnya penuh iba. Tak mungkin ia menjelaskan penyakit Mina kepada kucing itu.
Setelah beberapa menit mencari cara, dokter itu akhirnya memanggil beberapa tetangga Mina, semuanya ia kumpulkan di teras gubuk bambu itu yang dipenuhi debu dan tebaran daun dan bulu ayam.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati. Perlu saya sampaikan, tadi sepulang dari acara, saya bertemu seekor kucing yang melompat-lompat unik sambil terus mengeong di sebuah jalan, saya sangat suka tingkah kucing itu, karena takjub dan penasaran, saya pun mengikuti ke mana arah kucing itu berjalan, hingga ternyata tiba di tempat ini. Setelah masuk ke dalam, saya terkejut melihat ibu pemilik rumah ini, ia terbaring tak berdaya dengan perut menggunung. Setelah saya periksa, ternyata ia sedang menderita tumor ganas yang menyerang perutnya, dan saat ini keadaannya sangat kritis, dan..,” kata-kata si dokter terputus ketika kucing putih itu tiba-tiba mengeong dan bergerak-gerak tak keruan dari dalam ruangan, bunyinya memekik panjang dan matanya menyipit redup, ekornya meliuk-liuk, sedang kepalanya selalu diarahkan ke daun pintu, seperti hendak menjelaskan ada sebuah kejadian di dalam ruangan.
Dokter sedikit paham pada gerak-gerik kucing yang tampak sangat gelisah. Ia perlahan melangkah ke dalam ruangan. Beberapa tetangga perempuan yang hadir—yang selama ini mengirim makanan kepada Mina—turut masuk ke dalam ruangan. Dari dalam ruangan itu lalu terdengar tangis dan jerit histeris. Mina purna telah pulang ke sisi-Nya. Sebagian kecil tetangganya berduka dan sebagian besar lainnya malah bahagia.
“Si penyebab kemarau panjang itu, yang hamil tanpa perkawinan sah itu sudah meninggal,” ucap mereka, dibumbui tawa, terus berkelakar dan terbahak saat mengantar jenazah Mina ke lokasi pemakaman, seolah hendak mengubur sumber petaka.
#
Kucing putih itu tengkurap lemah di lincak bambu rapuh yang ada di teras gubuk Mina. Tak terasa sudah tiga bulan berpisah dengan tuannya. Kepalanya dibaringkan pada sebelah kaki depan yang diselonjorkan. Perutnya kempes dan tampak sesekali, beberapa kutu keluar-masuk dari bulu-bulunya yang menegang. Matanya kerap terpejam atau kadang berkedip lemah. Sementara di sekitarnya, terik matahari terus mencakar. Kemarau masih menjambak dusun. Tanah dan pohon dalam sekarat. Warga mulai berpikir dingin, “Jangan-jangan penyebab kemarau panjang itu bukan dosa Mina, tapi dosa kita semua?”
Rumah FizaIbel, 26.11.18
- Puisi A. Warits Rovi - 2 July 2024
- Bibir dan Bibir - 5 August 2022
- Pulang ke Kampung Asing - 23 July 2021
Anonymous
?
Lilis
Bagus ka ceritamu.😇
Anonymous
lurus
Anonymous
good..
Anonymous
Bagus suka dengan ide cerita yang sederhana, tidak bertele-tele tetapi sangat tepat sasaran.
Pokoknya kerenn
Anonymous
Bagus
annisafiina
Keren banget😭❤️
Anonymous
Kudos dude!
Anonymous
Suka
Anonymous
Badass!!