Puisi, Selamat Tinggal, Aku Pergi
Puisi, selamat tinggal, aku pergi
Aku pergi meninggalkan
sepasang mata yang menatapmu
sebagai jurang
dari ketinggian
Aku pergi meninggalkan
rumah lampauku yang duka
bersama satu-dua pertengkaran
yang kau wariskan pada pikiranku
Suntuk rasanya aku hidup
di antara hantu-hantu sekarat:
mereka yang kau lahirkan ke dunia
hanya untuk takjub pada dirinya
Biarlah cinta dan kesunyian
–dua berhala sesembahan penyair ini–
kutinggalkan bersamamu
Aku tak kuat menanggung
rayuan dan kutukannya
Aku kini jenuh mencuplik
segala hal sebagai metafora
dan memanggil renungan
yang menolak hidup
Aku kini benci kepadamu
yang menuliskanku
di atas sungai Heraklitus
dan di aliran darah
bangsa dunia ketiga
Sekarang aku pergi mengembara
mencari masa kecilku
yang kau sembunyikan
di antara hukum alam
Sekarang aku pergi
dan biarkan di tengah perjalananku
kau, puisi, mengunjungi musuhmu:
masa kecilku
Jogokaryan, 2015
Aku Ingin Tahu Segalanya
Aku ingin tahu segalanya:
bangkai bintang di sudut langit
denyut semesta di nadi setiap orang
atau jawaban atas pertanyaan purba
“Dari bahan apakah kebahagiaan tercipta?”
Aku ingin tahu bagaimana bunga rosela
menghapus rasa sedih dari wajah si duka
Bagaimana sepasang anak kecil di jalanan kecil
saling menyuapkan makanan dan tertawa kecil
Aku ingin tahu bagaimana di hatimu
dapat kuterjemahkan diriku
Orang-orang tiap hari bergegas
dan panik di depan meja kerja mereka
Orang-orang menekan diri untuk mengingat satu hal
dan melupakan hal lain
Kutatap wajahku di cermin dan berkata:
“Aku ingin tahu mereka dan kesibukannya”
Aku ingin tahu bagaimana langit mengembang
Bagaimana peradaban dibangun
di atas jutaan mayat dan sebuah manifesto
Bagaimana dunia tumbuh
dan menelusup ke dalam mimpimu
Aku ingin tahu segalanya
Tapi aku tak tahu
Bagaimana pun
aku tak akan pernah bisa tahu
Jogokaryan, 2015
Biarkan Aku
[1]
Biarkan aku jadi pintumu
ketika pagi kau buka
dan dunia lampau menjelma burung balam
yang merontokkan bulu-bulunya
di halaman
Biarkan aku jadi bayang-bayangmu
yang lebih nyata dari matahari penciptanya
saat senyum manismu pecah dan kau pergi
menjajaki dunia-dunia baru
Biarkan semua yang pergi
pergi begitu saja
Aku tak ingin lagi berkata:
kau bagiku neraka
Aku tak ingin mengatakan apa pun
sebab huruf pertama
yang diucapkan mulut pertama
adalah kau
Dadaku serasa ingin meledak oleh rasa bangga
tatkala kualirkan sesatnya isi kepalaku
di sungai-sungai penyesalan;
tatkala kupugar taman dan tangan kupatahkan
agar bunga-bungamu bebas tumbuh di tamanku
[2]
Sering kubuat kemerdekaanmu
jadi penjara yang samar
Diam-diam kadang kucerabut waktu
dari detak jantungmu
Seolah hanya gema suaraku
yang pantas didengar setiap telinga
Seolah hanya dengan memangsamu
aku merasa benar-benar ada
Namun semakin kumusuhi kau
semakin aku jauh dari diriku
Racun dan kelam berebut tumbuh
di petak sangsiku
Lalu hidup menjelma hutan
Dan di dalam hutan, kau tahu
semua hal hanya dugaan
Makna-makna dari barisan peristiwa
muncul sebagai geometri melankolia
dalam satu deraian air mata
Kebijaksanaan dan kebahagiaan
menjelma sepasang sayap patah
bagi seekor burung Simurgh
di ranting pohon Bidara
Kawanku, langit yang menaungimu
kutukan bagiku
[3]
Bosan aku takut
bila kau punya semua
yang padaku tak ada
Bosan aku takut
setiap kali suara kematian
menabuh gendang telingaku
Aku merindukan masa kecil
sebab masa kecil adalah kau:
berbicara yang adalah kau
bertindak, menangis, tertawa
yang adalah kau
Kawanku, terimalah aku
jadi pintu duniamu
Jogokaryan, 2015
Bila Saja Saat Itu Tiba
Bila saja saat itu tiba
aku akan menjadi segalanya
dan segalanya akan mengacuhkanku:
lukisan, catatan pesan, kotak merah
sepotong rambut dan kegilaan
Cahaya muram yang terbit
dari balik bukit hitam
akan memantul lewat benda-benda
dan menusuk mataku
Seribu bangunan dalam diriku
akan senantiasa hancur dan tumbuh
bagai peradaban-peradaban besar
Dan semua yang pernah kita alami
akan tenggelam ke dalam lautan
bersama kapal-kapalku yang sesat
Segalanya tak akan lagi mengenalku
Segalanya tak akan lagi mengenalku
Bahkan darah yang mengaliri tubuhmu
tak akan lagi terbakar
dan memanggil-manggil namaku
Jogokaryan, 2014
Pernah Kulihat Pejalan
Pernah Kulihat Diriku
Pernah kulihat pejalan melintasi bukit
dan badai dan kengerian
Pernah kulihat waktu
menyepuhnya jadi intan
yang tersimpan di kedalaman mata elang
Pernah kulihat elang melintasi bukit
dan badai dan kegerian
mencari jiwaku yang fana
Pernah kulihat diriku mengumpat waktu
bersiul-siul memanggil elang
dan menghancurkan setiap intan
Jogokaryan, 2014
Jangan Kau Tidur dalam Pikiranku
Tak mesti dengan kakimu aku berjalan
Dan tak mesti dengan tanganmu
kuatur semua perabotan rumahku
Sudah lama aku berpeluh di terik siang
layu bersama bunga di musim kering
Maafkan mimpi-mimpiku
yang menyala di angkasa
dan mengacuhkanmu
Aku bagimu bara api
Baiklah, aku tak akan tinggal
dalam anggapanmu
dan biarkan aku pergi
Aku akan berkemas bagai benih
tumbuh jadi pohon dan berbuah
Akan kukerjakan semua yang ingin kukerjakan
dengan kekuatanku sendiri
Tapi tolong jangan kau tidur
dalam pikiranku
dan melihat segalanya
dengan mataku
Jogokaryan, 2014
Bagaimana Harus Kulepaskan Doa Manis Ini
Bagaimana harus kulepaskan doa manis ini
tanpa sedih, tanpa amarah, tanpa ucapan:
“Bagaimana aku harus pergi?”
Aku bisa saja jadi pembaca buku
yang lupa judul dan pengarangnya
Bahkan jika ada pertunjukan lawak
aku bisa tertawa melebihi yang lain
Tetapi mampukah aku melupakan
wajahmu, suaramu dan tatapan matamu:
tempat kubenamkan cahaya kemuramanku
Aku kini sandal jepitmu yang putus
keringat di tubuhmu dan stasiun
yang diacuhkan kereta
Aku tak akan minum dari gelas lain
dan berjalan di atas jalan lain
Aku tak akan jadi pencuri
di antara rumah-rumah kosong
Namun air di kolam kita keruh
Dan apa yang kita rawat ini
adalah taman buah simalakama
Di dalam mataku ribuan burung enggan bernyanyi
Mereka tak ingin melihat kau jadi tua
tanpa malaikat kecil, tanpa sosok
yang dapat menyelimutimu kala kau tidur
Katakan padaku, bagaimana
bagaimana harus kulepaskan doa manis ini
lalu pergi tanpa hartaku yang berharga:
dirimu yang kukenal
selamanya
Jogokaryan, 2014
Aku Akan Begitu Bahagia
Aku akan begitu bahagia
dengan kemiskinanku
dengan satu-dua bus yang lewat
dan tak kuhapal lagi namanya
Aku akan begitu bahagia
bahwa aku hanya bagian peristiwa
dalam pikiran novelis yang malas
Atau mata pelukis berbakat
yang membiarkan gunung
sebagai gunung
Ranjangku sudah habis
dimakan rayap
Dan aku tak bisa tidur
di atas tilam masa lampau
Aku tak akan jadi mimpi
seekor burung hantu
di malam-malam angker
Aku tak akan jadi sekarung ketela
di pundak seorang kakek tua
Perjalanan, oh, perjalanan
aku telapak kaki para musafir
Maka aku akan begitu bahagia
dengan kemiskinanku
sebab itu adalah kemiskinanmu
yang kaya
sangat kaya
Jogokaryan, 2014
Ada Suatu Ketika Hari
Ada suatu ketika hari
Pemain Gitar mematahkan tangannya
Ada suatu ketika hari
sebuah tangan menelusup ke jantungku
dan memetiknya tiada henti
Hingga kulihat dunia menari
Kulihat orang-orang, jalanan, bukit
pepohonan dan rumah-rumah menari
Aku heran dan bertanya-tanya:
mengapa tanganMu memetik jantungku
di saat hidup terasa berat
dan aku tak ingin bahagia
Jogokaryan, 2015
Sumber gambar: rebloggy.com
- Sajak-Sajak Muhammad Ali Fakih (Yogyakarta) - 21 July 2015