Sekitar 13 tahun silam, saya terpaksa harus membaca buku Karen Armstrong yang saya kutip judulnya di esai ini, Berperang Demi Tuhan. Di antara kekayaan data khas Armstrong dalam membedah sejarah Perang Salib, terselip argumen bahwa potensi radikalisme senantiasa berdenyut dalam setiap agama dan keyakinan.
Orang Barat jelas terlalu paranoid ketika semena-mena mengklaim bahwa radikalisme adalah gaya khas umat Islam. Lantas, ayat-ayat jihad disodorkan sebagai pembenar normatifnya. Plus, sejarah ekspansi Islam di masa silam yang membentang hingga daratan Eropa, Andalusia. Apalagi bila mulai diembeli aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia kini.
Sebaliknya, pembelaan yang membandingkan statistik radikalisme Islam dengan genosida Hitler dan Stalin (sebutlah misal sebuah postingan dari Ippo Santosa) untuk mengukuhkan bahwa secara kuantitas bangsa Barat jauh lebih radikal dibanding Islam, juga hanya bentuk lain sebuah watak paranoid. Kematian dan kerusakan sangat tak elok didekati dengan deretan statistik. Mau satu orang pun korbannya, ia tetaplah nyawa manusia. Jadi, mari singkirkan kalkulasi statistik korban dari meja kita, sebab kita sedang membahas nyawa manusia.
Dengan mengekor Armstrong, mari kita pahami terlebih dahulu bahwa radikalisme adalah milik semua umat beragama; lintas agama.
Sebut saja ulah Charlie Hebdo yang terus-terusan menghina Nabi Muhammad Saw. Itu radikalisme. Kemudian, balasan berondongan senapan ke kantor Charlie Hebdo yang mengakibatkan kematian, itu jelas radikalisme. Penyingkiran hak hidup kaum Syiah dari tanah leluhurnya sendiri di Sampang, itu juga radikalisme. Demikian pula penyegelan masjid Ahmadiyah, jelas radikalisme. Penyerangan pondok Adz-Dzikra, juga radikalisme. Pekikan Arifin Ilham di telivisi (“Kami siap jihad!”) sebagai balasan heorik atas penyerangan pondoknya, juga radikalisme. Pun penyegelan gereja di Gunung Kidul, bagian dari radikalisme. Serta pemukulan kawan Julius Felicianus di rumahnya, Sleman, jelas radikalisme. Dan, yang terbaru, pembakaran masjid oleh jemaat Gereja Gidi di Tolikara Papua saat Idul Fitri, sudah pasti adalah radikalisme.
Daftar sejarah radikalisme antaragama ini akan sangat panjang sekali halamannya jika diuraikan satu-satu, apalagi bila nama FPI dicakup ke dalamnya. Ah, sudahlah….
Dari dulu, pertanyaannya selalu mengerucut begini: mengapa radikalisme terus terjadi?
Saya teringat proklamasi sepasang suami istri, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang mengusung sebuah tagline yang mereka sebut Megatrend 2000: “Spirituality yes; organized religion no!”
Keduanya tampak bosan sekali untuk memeluk sebuah agama formal, lantaran di mana-mana agama selalu mementaskan diri bak pedang bermata dua: satu sisi menjunjung kemanusiaan dan sisi lainnya menghunjam kemanusiaan.
Secara spiritual, semua agama mengajarkan kebaikan, etika, dan pemuliaan kemanusiaan. Tetapi kala spiritualitas diewajantahkan dalam sebuah agama formal (organized religion), muncul fakta meresahkan: mengapa agama lalu kerap tampil menjadi perusak akar spiritualitasnya sendiri melalui banyak aksi radikalismenya?
Fanatisme. Inilah biang kerok sejati segala bentuk radikalisme agama. Bahwa setiap agama menuntut pengakuan iman dari pemeluknya, itu sudah pasti. Agama tanpa iman, jelas omong kosong. Memeluk agama tanpa pengikraran kesetiaan, jelas hanya lipstik belaka. Berislam tanpa bersyahadat, jelas tidak diterima.
Masalahnya, di tengah keragamannya seperti Indonesia, sebuah agama yang asalinya menghasratkan pengakuan keimanan dari umatnya akan selalu berdampingan dengan pengakuan-pengakuan keimanan dari umat-umat lainnya. Sebuah fanatisme akan bersisian dengan fanatisme lainnya. Pada derajat tertentu, posisi bersisian itu tak terhindarkan akan beririsan. Salah satu bentuknya adalah aksi-aksi radikalisme.
Sekilas, meletusnya sebuah radikalisme antarumat beragama di tengah keragamannya terkesan alamiah belaka. Sesuatu yang bersisian sungguh sulit untuk tak pernah berdentingan.
Kita tentu saja, sekalipun berdasar argumen natural demikian, tidak dalam posisi memaklumi radikalisme. Apa pun bentuknya, radikalisme hanya akan selalu menghadiahkan kerusakan dan kelukaan. Dan ini sepenuhnya bertentangan dengan nurani terdalam setiap kita (lintas agama) sebagai manusia. Bertentangan dengan spiritualitas itu sendiri sebagai akar agama-agama.
Tak ada jalan lain untuk mengatasi potensi konflik ini kecuali memutlakkan setiap kita untuk mengelola akar fanatisme dengan sebaik-baiknya terjauhkan dari segala bentuk konflik.
Saya teringat nasihat Nurcholis Madjid di sini, bahwa fanatisme harus dikelola dalam dua kutub:
Pertama, fanatisme ke dalam. Ini terkait dengan soal iman, pengakuan, dan peribadatan yang menjadi keniscayaan bagi setiap agama. Di ruang ini, berfanatismelah sekental-kentalnya, sekhusyuk-khusyuknya.
Kedua, fanatisme ke luar. Inilah spektrum tersensitif yang harus selalu bisa dikelola dengan baik oleh setiap umat beragama. Pemahaman bahwa ada iman-iman lain di luarnya, di sebelahnya, seyogianya selalu dijadikan panduan ketika bergerak ke luar. Sehingga potensi benturan akibat egoisme truth claim (fanatisme ke dalam) bisa terkikis sampai level tertingginya, yakni toleransi.
Lepas dari problem lawas itu, sebab ia terus terulang dan terulang di tangan segelintir kaum fanatis-radikalis, mengedepankan kuasa hukum jelas menjadi kemutlakan. Segala bentuk radikalisme hanya akan segera tersejukkan bila negara tampil dengan payung hukumnya, seadil-adilnya. Aksi balas-membalas harus dicoret sejak dini dari level niat sekalipun.
Sampai di sini, saya kira Habib Rizieq, Fahira Idris, dan Ary Hafidz bisa istirahat saja. Jalan-jalan ke pantai mungkin bisa bikin lebih santai. Ke masjid untuk shalat berjamaah, pasti bikin lebih sehat. Soal yang berat-berat macam kasus Tolikara, yang menurut hasil penelitian Komnas HAM sama sekali tak terkait dengan kebencian jemaat Gereja Gidi terhadap umat Islam tetapi semata keteledoran aparat kepolisian, percayakan saja penyelesaiannya pada negara. Biar Pak Jokowi dan Pak JK merasakan betapa tidak enaknya jadi pemimpin bangsa napsuan ini, to.
Jadi, tak perlulah menjerit-jerit kayak ABG: “Kami siap jihad! Kami siap berperang demi Tuhan…!”
Untuk apa? Kayak nggak punya Pak Budi Waseso saja, ah….
Sumber gambar: habadaily.com
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Teguh
Amstrong itu yg nulis buku sejarah tuhan juga bukan ya?