Jagad netizen dimuakkan oleh ontran-ontran reshuffle, anjloknya mata uang negeri, seteru narkoba yang tak kunjung usai, gegernya kemunculan AA, sampai dengan kasus icik-icik ehem-ehem pret-pret lainnya. Semua lapis ikut andil menyumbang pucingnya‘pala Pak Jokowi. Saya turut berduka. Tapi Pak Jokowi, sebelumnya saya mau sungkem dulu, soalnya apa yang akan saya sampaikan nanti bisa jadi menambah pucingnya‘pala Bapak.
Maafkeun!
Jadi, gini, Pak, ada sebuah data berkaitan dengan dedek-dedek gemes kita yang bikin saya tambah gemes (baca: prihatin). Gara-garanya berasal dari data statistik Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, yang mengindikasikan bahwa pada tahun kemarin ini, angka kelahiran bayi dari ibu remaja berusia sekitar 15 hingga 19 tahun rata-rata di dunia menembus angka 49 dari 1.000 gadis remaja. Sedangkan di Indonesia sendiri oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) disampaikan bahwa angka kelahiran pada kalangan remaja putri masih “tinggi”, yakni sekitar 48 dari 1.000 gadis remaja.
Biar isu ini terasa lebih hot apalah-apalah gitu, coba Anda belalakkan mata dan lihat sekitar! Adakah salah seorang (atau mungkin lebih) yang Anda kenal, entah tetangga, saudara, atau siapalah dia yang bisa jadi ikut menyumbang angka pada data tersebut? Emm, pasti jawabannya “iya” kan? Nah itu, bisa dibayangkan to betapa ngeri banyaknya? Jadi nggak salah dong, saya mengeluarkan sabdatama mengangkatnya sebagai isu nasional? Hehehe.
Semua ini semata karena saya sayang dengan semboyan perempuan adalah tiang negara. Jadi, yang saya soroti lebih pada dedek-dedek gemes cantik kita–yang ganteng jangan iri. Selain itu, terus terang saya masih belum tega jika harus mengganti panggilan dedek-dedek gemes ini dengan emak-emak gemes. Kan nggak lucu to? Nggak enak didengar.Wagu.
Benih Masalah
Zaman memang banyak berubah. Dulu saat saya masih SD, yang namanya pacaran alias yang-yangan adalah hal tabu yang tidak layak untuk diperbincangkan. Boro-boro yang-yangan, dipace sama lawan jenis saja kita jengkel, kok. Coba kalau sekarang? Pacaran seorang dedek SD mah bukan lagi sebuah skandal. Kiblat mereka bukan lagi Saras 008 atau Panji Manusia Milenium sih, tapi Ganteng-Ganteng Setan (GGS). Hati-hati, ya, Dek, sama tontonanmu!
Seorang Albert Bandura pernah memperkenalkan tentang teori belajar modelling, sebuah proses belajar dengan mengamati tingkah laku atau perilaku dari orang lain di sekitar kita. Hasil dari modelling atau peniruan tersebut cenderung menyerupai, bahkan sama perilakunya dengan perilaku orang yang ditiru tersebut.
Nah, ini kan jadi gawat kalau yang ditiru adalah kelakuan aeng-aeng macam di GGS itu–GGS cuma contoh ekstremnya saja. Sebutlah pacaran, pegangan tangan, juga pelukan. Itu baru awalnya lho. Hemm, saya hanya bisa geleng-geleng kepala kalau lihat dedek gemes sudah begitu, soalnya saya belum pernah. Dedek gemes masih terlalu kinyis-kinyis untuk dijejali modus pacaran pret macam begituan. Ibaratnya nih, anak TK disuruh nyanyi lagunya Mbak Pamela, Abang Goda, kan ya nggak pantes to? Apalagi suruh dribel sekalian.
Itu SD-nya, belum nanti kalau sudah jadi dedek-dedek gemes sejati. Berahinya itu, yang masih level cecak, bisa jadi bakalan memuncak dan nggak bisa ditahan lagi. Kalau Om Google belum bisa memuaskan, banyak yang lantas menyerbu mas pacar atau mas gebetan. Itu pun kalau ada, kalau nggak ada ya siap-siap saja menjadi penerus mbak AA. Na’udzubillah!
Uh, kalau tahu efeknya sampai dahsyat begitu, daripada dijejali tontonan pertelevisian yang aeng-aeng, mbok ya mending dijejali materi antikorupsi saja! Kan itung-itung bisa bantu-bantu Pak Ruki, siapa tahu to nanti justru dikasih bonus naik jabatan?
Saya jadi merindukan gaya pacaran jaman doeloe yangmasih tradisionil bingits. Dulu, surat terasa istimewa karena digunakan sebagai media pengungkap rindu. Berasa romantis, kan? Nah kalau sekarang? Wuah, dedek-dedek gemes kita ini jauh lebih modern atuh! Banyak yang cukup melek IT karena mengusung warnet bukan hanya sebagai media pelepas rindu tapi juga pelepas baju. Iya to?
Rasa isin yang dijunjung luhur sama kapribaden ketimuran itu sudah banyak ditinggalkan. Banyak dedek gemes kita ini yang tak malu lagi obral selangkangan. Walah, selangkanganmu itu lebih berharga dari hasil UN, Dek! Serius ini.
Saya tidak akan menggantikan kharisma dr. Ryan Thamrin dalam menjlentrehkan bahaya-bahaya dari sisi medisnya–sebutlah kanker serviks sampai dengan HIV/AIDS. Bergurulah, Dek, padanya! Akan kau jumpai sekawanan fakta mencengangkan yang bisa jadi mengubah kondisi pikiranmu sekarang.
Anggap Saja Sebuah Penutup
Dedek-dedek gemesku yang super dan baik hatinya, saripati penjelasan saya hanyalah ini: “pacaran seusiamu itu tak lebih dari sebuah entut”. Asli. Cukup sekali dirasakan, selebihnya dilupakan. Lebih baik kau jomblo seperti saya saja. Eits, jangan salah! Memiliki titel jomblo di usiamu itu bukanlah sebuah tindakan nista, Dek, apalagi aib. Sebuah kebanggaan malah. Serius! Tapi beda cerita dengan jomblonya para editor Diva Press, lho!
Eh.
Lebih baik habiskanlah masa penuh iler dan ingusmu itu dengan berkarya nyata penuh prestasi! Itu jauh lebih keren. Masalah pacaran itu jelas masih sangat pret buatmu. Percaya sama saya! Jangan biarkan perutmu yang begitu langsing itu menjadi mlenthung. Mencegah selalu menjadi obat terbaik. Saya ngomong lebar panjang begini semata-mata karena saya peduli, Dek.
Asli.
***
Cerah menyambut pagi. Clara beserta mamanya tengah berjubel dengan wali murid lainnya di lorong kelas. Hari ini pembagian rapor kenaikan kelas.
Mama Zahra–teman satu kelas Clara–yang saat itu berada di samping mama Clara pun membuka obrolan dengannya, “Kok yang ngambil rapor kamu, Dek? Mamamu ke mana?”
Mama Clara pun gelagapan, tidak siap menerima pertanyaan macam begitu. Lalu, dia pun spechless. “Emm, anu… ee… emm…. Itu… emm….”
Krik-krik.
Jangan sampai ya dedek-dedek gemesku, kamu mengalami kejadian itu. Saya peduli, maka saya ada.
Krik.
Sumber gambar: drprima.com
- Surat untuk Lebaran - 16 July 2015
- Gerakan Penyelamatan Dedek-Dedek Gemes Kita - 11 June 2015
kadarwati TA
seneng banget baca yang satu ini,,, bisa ngebuat ekspresi muka berubah-ubah. miris juga sih kalo tahu keadaan dedek2 jaman sekarang ini. 🙂
jati setya
alhamdulillah, terimakasih, semoga bisa mencerahkan 🙂
EDI AH IYUBENU
Tulisanmu gurih kyk krupuk.kriuk kyk crispy. Mulesi weteng kayak ss. Ditunggu esai2 lainnya….
TriCé Fakhri
Wohlah ini nih esai yang berkualitas. Udah lama nunggu yang mencubit banget. Kan sudah sepantasnya dedek-dedek itu dicubit karena udah bikin gemes. :’D
Sanaz Damaiyanti
haha dede gemes.bagus nih..tapi sayang dede gemes kita ini mana mau baca beginian..malah buka web yang lain (mungkiiiin—-)
Ugahari Nurul Utami
iya nih fenomena dedek gemes yang pacaran bikin gemes kita (walau belum punya anak juga) hahaha.
Nunu Nugraha
wah ini esai kok kriuk banget, ya. mantep euy!
Indhun Dyah Susanti
baguuuuus jaaatiii 😀 gemeeesss dewe bacanyaa :3
Zahara Safira
Bahasannya bagus bgt! Yg kaya gini harus banyak2 dishare sampe para dede gemes diluar sana baca biar pada sadar. Ini pelajaran juga sih buat saya toh saya msh generasi abu-abu haha two thumbs up!😊
Prily Carla Marita
Ini keren banget!