Semua Bunga Berwarna Merah

gambar ilustrasi cerpen Semua Bunga Berwarna Merah
Sumber gambar osnatfineart.com

Pada Kamis pagi, Odera berdiri di pintu ruang pameran. Saat Odera tiba di depan gedung itu, jam tepat menunjuk angka tujuh. Tentu masih terlalu pagi untuk melihat pameran lukisan, pikir Odera begitu menyadari belum ada tanda-tanda pengunjung lain kecuali dirinya. Namun, ia melihat pintu terbuka dan meja segi empat sudah diletakkan di sisi kanan depan pintu. Di meja itu terdapat buku tamu, pena warna biru, dan bunga plastik ungu yang berdebu. Tak ada petugas yang menjaga dan Odera mengisi buku tamu dengan pikiran setengah melayang ke tempat lain; pada seseorang yang semalam menawari untuk datang di pameran lukisannya. Odera menulis nama, alamat email, nomor ponsel, dan membubuhkan tanda tangan—semua ia lakukan dengan cepat saja di antara kelebatan ingatan pada seseorang itu, yang sekarang entah ada di mana.

Sambil terus bertanya-tanya, Odera masuk ke ruang pameran. Hawa dingin di ruang itu serta-merta menembus kulit lehernya yang lupa ia tutupi dengan selembar syal. Ia mulai ragu untuk masuk lebih dalam, tapi ia juga tak mau berhenti. Ia pandangi ruangan, lurus-lurus, sampai membentur dinding. Perlahan ia merasa sangat sepi dari yang seharusnya. Ia sudah biasa berada di sebuah tempat seorang diri. Ia malah sudah bertahun-tahun melewati malam-malam lengang yang kadang menjelma jubah hantu atau rambut panjang berwarna perak milik seorang penyihir yang bersatu padu dengan aroma sisa bunga kematian di tubuhnya. Namun, sepi yang ia rasakan ini, berbeda dari yang biasa ia rasakan tentang sunyi, tentang sendiri, dan halusinasi-halusinasi mengerikan yang tumbuh di dalamnya.

Ruang pameran itu dipisah jadi dua—di tengah-tengah sengaja dipasang dinding tanpa benar-benar membagi dua ruangan. Tepatnya semacam dinding yang didesain untuk memajang lukisan saat ada pameran yang memang memerlukan banyak tempat.

Kemudian yang melintas di kepala Odera: Benarkah ia sendirian di sini? Benarkah tak ada orang dalam hidupnya. Kegelisahan dengan cepat menyerangnya seperti yang sering ia alami akhir-akhir ini; kesepian yang tak tertahankan, keinginan bunuh diri, bayangan-bayangan tentang sebuah peti mati yang dihiasi rangkaian bunga merah.

Odera menenangkan perasaannya. Ia maju satu langkah. Berhenti sebentar. Berjalan kembali setelah sedikit tenang. Namun, kembali ia berhenti. Tubuhnya berat dan tidak mau digerakkan lagi. Telapak kakinya seolah melekat di lantai. Ia menundukkan kepala. Memandangi kakinya yang bagai dijerat tali-temali. Lantai di bawah kakinya terasa dingin, menembus sandalnya yang tipis. Sandal hotel tempat ia menginap yang tak sempat ditukarnya saat mau keluar. Odera membaca nama hotel yang tertera di sandal itu untuk memastikan kalau ia tidak sedang berada di waktu masa depan atau waktu jauh di belakang. Kalau ia masih Odera yang tadi pagi-pagi sekali meninggalkan kamar hotel. Kalau ia yang semestinya tak di sini sekarang, melainkan tetap di kamar sambil menunggu jarum jam menunjuk angka satu dan ia menuju bandara untuk kembali ke kota tempat tinggalnya. Perjalanan yang ia lakukan ini memang sebuah tindakan yang impulsif. Ia hanya ingin bepergian dan melakukannya begitu saja seolah-olah ia hanya pergi minum kopi di kafe.

Di hotel itu pula semua ini bermula. Tepatnya kemarin saat ia makan malam di restoran pada pukul sembilan belas. Ia berada di meja nomor tujuh. Seorang diri—seperti biasa ke mana pun ia pergi. Seseorang membawa piring yang sudah terisi makanan dan kelihatan bingung mencari tempat duduk karena semua meja sudah penuh. Hotel memang sedang ramai karena beberapa instansi pemerintah mengadakan acara jelang akhir tahun. Sampai orang itu melihat meja nomor tujuh dan minta bergabung. Odera mengangguk tanpa menoleh saat orang itu berkata singkat padanya, basa-basi yang terlalu biasa. Ia terlampau sibuk memotong-motong daging yang begitu alot di piringnya. Daging yang nyaris membuatnya gusar dan ingin melemparnya ke lantai.

“Kau perempuan yang manis,” tiba-tiba orang di depannya berkata.

Odera mengangkat wajahnya. Bola mata mereka bertemu, tak sampai satu detik. Dan apa yang bisa dilakukan dua pasang mata dalam waktu tidak sampai satu detik itu? Mungkin hanya pertemuan mata yang kosong belaka.

“Matamu indah sekali.”

Odera terhenyak dan melepaskan daging di piringnya. Ia menatap sekali lagi pada orang di depannya. Lelaki itu pasti saja seorang perayu ulung, pikirnya waspada.

“Apa kau punya sebuah nama yang bisa kuingat dalam waktu yang lama?”

Mulanya Odera tertawa dalam hati, lalu ia menjawab, “Odera.”—dengan suara datar saja.

Lelaki itu tampak tersenyum kalem. Mungkin saja ia curiga kalau Odera hanya sebuah nama palsu seperti yang banyak dipikirkan oleh seorang perempuan dalam keadaan terdesak. Odera tak memedulikannya lagi. Ia meneruskan memotong daging dan menganggap tak ada siapa-siapa di depannya.

“Kau seorang peramal atau…?”

Pasti saja lelaki itu telah menilai Odera dari penampilannya yang agak nyentrik dengan pakaian gaya gipsi; dandanan rambut dan anting yang besar, kalung dan gelang yang menumpuk, dress panjang berbahan ringan motif floral.

“Aku perangkai bunga kematian,” kata Odera tanpa mengangkat wajahnya.

“Oh.” Lelaki itu kembali tersenyum kalem dan mulai makan. Cara makannya sangat bersemangat dan seolah ia bisa menaklukkan makanan apa pun dengan mudah, termasuk daging yang mungkin sama alotnya dengan yang ada di piring Odera.

Mereka berdua makan tanpa ada yang bicara lagi. Hanya bunyi sendok membentur piring yang kadang-kadang terdengar. Juga gelas yang tak sengaja menyenggol benda lain saat diangkat. Ruang restoran cukup riuh. Terutama bunyi-bunyi benturan peralatan makan. Musik. Seorang anak menangis, ah, sepertinya dua anak. Odera tidak tahu di mana anak-anak itu tepatnya berada. Suara orang-orang yang sedang membincangkan sesuatu. Orang tertawa. Orang berserdawa.

Seseorang yang duduk di depan Odera menyelesaikan makannya dengan cepat. Ia meletakkan sendok dan mengakhiri sesi makan malam itu dengan meneguk segelas air putih. Dan mereka masih saja saling diam. Pun ketika orang itu berdiri. Ia sungguh orang yang tergesa, pikir Odera. Seseorang itu bersiap meninggalkan meja. Namun ia membalikkan badannya lagi, dan berkata, “Ada pameran lukisan saya di gedung kesenian, tak jauh dari sini. Lukisan-lukisan bertema bunga. Kalau kau ada waktu, datanglah besok pagi-pagi sekali. Mungkin saya akan ada di sana sebelum jadwal penerbangan pagi.”

Odera tidak terlalu menganggap serius apa yang dikatakan orang itu. Ia pikir banyak sekali orang tidak waras di dunia ini. Ia terus makan dan mengunyah lambat-lambat saat orang itu melangkah pergi dan sama sekali tidak mengangguk atau melambaikan tangan. Ia memang tak bisa makan dengan cepat. Dari kecil ia terbiasa makan sambil berhitung. Kadang-kadang sampai hitungan ke-100, ia baru menelan makanan di mulutnya. Ketika ia menghabiskan isi piringnya, ia lihat restoran sudah hampir kosong. Hanya ada tujuh orang pelayan hotel dan satu atau dua orang tamu yang terlambat makan malam. Lalu ia teringat begitu saja pada seseorang yang tadi duduk satu meja dengannya. Seseorang yang mungkin saja sengaja menabrakkan gelas ke pinggir piringnya—namun pada saat itu, Odera tak peduli dan sama sekali tak menganggapnya sebagai sebuah kejadian. Odera juga mengingat kembali, bunyi mulut orang itu saat mengunyah. Terburu dan sesekali giginya saling berbenturan dan menimbulkan bunyi yang sekarang membuat Odera ingin tertawa. Kemudian Odera juga ingat tentang pameran lukisan yang dikatakan lelaki itu. Dan mulut Odera seketika menganga. Ia ingat siapa orang itu. Ia seorang pelukis bunga terkenal yang wajahnya pernah ia lihat di sebuah artikel di surat kabar. Odera menyesal sekali mengingatnya saat semua sudah terlambat. Saat orang itu mungkin sudah tidur nyenyak di kamar hotelnya dan mungkin pagi-pagi sekali akan check out dan mereka tidak sempat bertemu saat sarapan. Namun, masih ada kesempatan, pikir Odera. Ia bisa menemukan lelaki itu di tempat pameran. Ia tiba-tiba merasa takjub.

Sepanjang malam Odera memikirkan lelaki itu, hingga pagi-pagi sekali ia memutuskan keluar dari kamarnya dan mencari gedung kesenian. Tidak susah mencari gedung itu. Bangunan yang berada di kompleks kantor milik pemerintah, kira-kira lima ratus meter dari hotel tempat ia menginap. Bangunan tua bercat putih kusam yang kalau saja bukan disebabkan keinginan yang kuat mau bertemu dengan lelaki itu lagi, Odera tak akan memasukinya. Namun yang ditemuinya ternyata hanya gedung kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada seseorang itu. Mungkin ia sudah beberapa hari di kota ini. Mungkin ia sudah ke bandara untuk mengikuti penerbangan pagi, kembali ke kotanya atau malah terbang lebih jauh ke kota lain.

Dan kaki Odera masih melekat di lantai. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat yang sedingin lantai itu. Apa aku benar-benar sendiri di sini? pikir Odera lagi dan tidak tenang dan ia mulai lebih gugup. Mata Odera mengelilingi ruangan itu. Ia seketika tersadar semua dinding dan benda-benda di sekelilingnya sudah berubah merah. Sepi yang tak terpahami makin menyusup dalam dadanya. Sepi yang lama-lama berubah nyeri. Seakan-akan ia tengah berhadapan langsung dengan berbagai rasa sakit dari tubuhnya sendiri.

Seharusnya ada lukisan-lukisan bunga di sini, pikir Odera bersikeras. Lukisan bunga-bunga aneka warna yang indah; merah, kuning, oranye, biru, ungu. Ia perhatikan lagi baik-baik lukisan-lukisan yang terpajang di dinding samping kiri, kanan, belakang—sementara dinding yang berada di tengah memang tak dipajang lukisan satu pun.

Astaga, pekik Odera tertahan, ini semua lukisan bunga! Warna merah itu merupakan kelopak-kelopak bunga, baik yang tersusun dalam bentuk mahkota yang berlapis-lapis maupun yang berceceran sebagai kelopak-kelopak yang terlepas; dari bunga mawar hingga begonia dan bunga-bunga lainnya dan bahkan juga bunga yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Kelopak-kelopak bunga dalam lukisan itu memancarkan warnanya ke segala penjuru ruangan dan mengalir bagai udara merah ke dinding-dinding dan lantai dan bunga-bunga yang hidup itu saling bertaut, membentuk gelombang-gelombang yang terus bergerak dan makin besar.

Seketika Odera sadar kalau bunga-bunga dalam lukisan itu adalah bunga yang selama ini ingin sekali ia rangkai menjadi bunga kematian untuk dirinya sendiri. Bunga yang akan menghiasi peti matinya yang berwarna gelap dan suram. Oh! Odera bergumam getir sambil mengusap tepi matanya yang cepat sekali basah. Lalu dengan sekuat tenaga, ia berusaha menggerakkan kakinya dan di depannya, di antara warna merah dan udara yang haru, samar-samar, ia melihat pelukis itu tersenyum, “Aku sudah menunggumu sejak tadi untuk membicarakan bunga kematian yang kauinginkan.” (*)

 

GP, 2015

Yetti A.KA
Latest posts by Yetti A.KA (see all)

Comments

  1. hani Reply

    maaf mau nanya, jadi pria itu sebenarnya siapa? apakah justrua pria itu adalah peramal?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!