Sepak Bola, Hasrat, dan Agama

hasrat agama memilih klub sepak bola
Sumber gambar maisonneuve.org

Mengapa orang-orang suka sama klub sepak bola tertentu?

Sudah pasti ada sejumlah alasan. Alasan paling gampang adalah prestasi (1). Jadi, masuk akal banyak orang suka sama Barcelona, Bayer Munchen, Juventus, Chelsea, dan klub-klub lainnya yang musim kemarin menggapai peringkat tertinggi di liga domestik masing-masing. Sebutlah Barcelona yang menggapai treble winner. Tapi, apakah cukup begitu saja? Jika benar demikian, mengapa harus ada fans Manchester United dan Real Madrid yang musim lalu tidak juara, atau Milan dan Intermilan yang terseok cukup jauh di papan klasemen? Pasti ada alasan lainnya.

Pemain bintang (2). Tentu saja. Siapa yang tidak suka melihat cara bermain Lionel Messi, Christiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, Di Maria, Mario Gotze, Aguero, atau rising star Anthony Martial? Mereka adalah sederet bintang yang jika menghibahkan seupil gajinya niscaya cukup untuk kuliah S3. Kebintangan mereka, dan tentu saja kegantengan, telah menyihir mata para cewek untuk nge-fans meskipun gagal paham arti offside. Jika kamu keliling di akhir pekan, lihat sejumlah muda-mudi make jersey atas nama Ronaldo atau Messi dan yang lainnya, mungkin mereka baru saja mencetak gol ke gawang lawan.

Kemampuan membeli dan menggaji pemain bintang tentu saja berkaitan erat dengan kondisi finansial klub. Iya, kaya (3), menjadi salah satu alasan tersendiri mengapa seseorang menyukai klub bola tertentu. Tidak mengherankan jika beberapa tahun ini banyak yang tiba-tiba nge-fans sama Manchester City atau PSG, yang setelah dibeli konglomerat Arab bisa mendatangkan sederet pemain bintang sekaligus fans sepak bola. Sangat masuk akal pula bila Monaco dan Malaga hanya berstatus “hampir favorit” karena tidak bisa mempertahankan kekayaan dan pemain bintangnya. Klub kaya dan pemain bintang masuk ke daftar alasan orang-orang kekinian menyukai klub sepakbola.

Akan tetapi, kita masih belum selesai. Kita masih menemui klub sepak bola yang tidak juara beberapa musim terakhir, tidak kaya, dan hanya diperkuat pemain “agak bintang”, tapi masih memiliki fansbase yang cukup besar.

Apa lagi ya alasannya kira-kira? Oh, sejarah (4). Sangat banyak orang yang nge-fans sama klub tertentu karena sejarah. Milan punya sejarah cemerlang di Italia dan Eropa dengan sejumlah gelar masa lalu, tapi masih memiliki fansbase yang hebat. Liverpool apalagi. The Reds ini memiliki segudang kitab sejarah yang suci, meskipun selama lebih 17 tahun tidak pernah juara liga Inggris lagi, ya tetap saja berjibun orang yang menjunjungnya. You never walk alone, begitu dendang pembesar hati mereka, kendati ya tak pernah besar-besar juga sih. Kalah melulu, kok.

Ah, pokoknya terlalu banyak alasan seorang fans menyukai dan bahkan rela mati untuk klub tertentu. Jika disurvei, niscaya setiap orang memiliki alasan masing-masing. Dari itu, saya mulai berpikir, sepertinya ini bukan tentang apa klubnya, prestasi, kekayaan, pemain bintang, atau sederet alasan lainnya yang bisa dibuat-buat. Ini agaknya adalah tentang “siapa orangnya” yang memutuskan untuk menyukai klub tertetu.

Saya ingin mengatakan begini sebenarnya; bahwa seseorang menyukai sepak bola merupakan sebuah fenomena eksistensial di mana manusia dengan aktif memosisikan dirinya sebagai subjek yang merdeka. Sebagai subjek yang merdeka, manusia akan berpikir, memilih, menentukan, dan bertindak. Manusia sebagai subjek dan klub sepak bola sebagai objeknya. Selanjutnya, mereka akan membuat berbanjar alasan untuk melegitimasi objek pilihannya.

Namun di sisi lain, kita bisa mempertimbangkan satu objek lainnya, yaitu “manusia” yang lain. Teman sejawat, tetangga, kakak kelas, orang tua, atau bahkan musuh. Untuk melihat gambaran yang lebih jelas, “manusia yang lain” ini akan diambil dari pecinta klub sepak bola rival. Umpamanya, Murad seorang Madridista dan Pipit (Pirmansah Pitra) pencinta Barcelona. Keduanya adalah subjek yang merdeka, dan kedua klub sepak bola yang mereka dukung adalah objek. Akan tetapi, pada saat yang sama, Pipit adalah objek bagi Murad, begitu juga sebaliknya.

Apa yang kita lihat dalam relasi kedua subjek yang bisa berposisi objek ini? Kita akan tahu, mereka akan saling membanggakan klub masing-masing sembari merendahkan klub lawan. Bullying lalu menjadi ritual wajibnya untuk dirayakan oleh satu kepada yang lainnya.

Saya kok jadi berpikir, ada hal lain di sini ternyata, hal yang lebih mendasar. Jika ini beneran bukan soal apa klubnya, melainkan siapa yang jadi fans-nya, maka ini sebenarnya adalah soal hasrat. Iya, hasrat!

Bukankah sudah menjadi salah satu fitrah manusia untuk melambungkan hasrat bangga? Untuk memenuhi hasrat ini, mereka akan melakukan apa saja. Memilih klub sepak bola tertentu adalah peristiwa pemenuhan hasrat kebanggaan ini. Dalam rangka memenuhi hasratnya, seorang fans akan selalu membanggakan catatan bagus klub junjungannya di depan teman-temannya, kendati ia tahu benar bahwa setiap klub sepak bola tidak semata memiliki catatan-catatan bagus namun sekaligus catatan menyedihkan. Tentu, pada saat yang sama, fans akan menanggalkan catatan-catatan dosa itu, bahkan dengan cara mati-matian yang irasional. Sikap ini sudah pasti amat mudah dimengerti; karena intinya bukan di catatan-catatan itu, bukan pada klub sepak bolanya, tapi pada upaya subjek untuk senantiasa memenuhi hasrat membanggakan diri itu.

Kini saya ingin mengajak Anda memikirkan sesuatu. Jika hasrat subjek-subjek eksistensial-universal beginian dikaitkan dengan agama, apakah kita pun akan menjadikan agama yang notabene adalah doktrin spiritual sebagai jalan untuk memenuhi hasrat kita terhadap kebanggaan; sebutlah dengan cara membanggakan agama kita kepada semua orang sembari menista agama orang lain? Tegasnya, apakah agama akan kita paksa dan bahkan perkosa untuk menjadi alat sejenis dildo pemuas nafsu kita?

Fadhli Lukman
Latest posts by Fadhli Lukman (see all)

Comments

  1. Reza Reply

    Tulisan ini bikin ruwet sesuatu yang simpel. XD

  2. Triadi C Laksono Reply

    kadang sesuatu yang kita senangi malah sulit dijelaskan dengan kata-kata, cukup memupuk rasa suka dan senang itu. tak perlu alasan bertele-tele menjelaskannya. simpel..

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!