Sihir Jaran Goyang

Dikafe, ketika pengunjung belum terlalu banyak, Dewi Uma memesan kopi dan pisang goreng, duduk menyendiri di sudut ruang. Sadewa, pemilik kafe, sengaja datang melayani Dewi Uma, penyanyi kelab malam, istri ketiga sang saudagar–yang konon, memikat lelaki kaya itu dengan sihir mantra jaran goyang. Tinggal di sudut gang, tak jauh dari kafe, perempuan itu berjalan kaki dari rumah besar yang ditempatinya.

“Tidak berangkat kerja?” sapa Sadewa, setenang mungkin, tak ingin menyinggung perasaan Dewi Uma. Hati-hati, ia letakkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng pesanan Dewi Uma.

“Aku minta libur,” balas Dewi Uma, “Mau cari ibu kandungku.”

“Cari ibu kandung? Lalu, Mak Yah yang selama ini hidup bersamamu itu siapa?”

“Mak bukan ibuku. Aku baru tahu kemarin, ketika Mak marah, mengatakan kalau aku bukan anaknya. Aku jadi sangat benci pada orangtua yang telah menyingkirkanku,” kata Dewi Uma dengan mata murung, wajah menahan gelisah. Ia merasa terbuang. Ia seperti orang yang terasing. Ia yang biasa bersikap ramah, suka menyapa pada banyak orang yang dikenalnya, kini menikmati kesendirian, menghindari teman, dan memilih tempat sunyi.

Sadewa mendengar semua keluhan Dewi Uma, memahami kemarahan, keputusasaan dan kesia-siaan hidupnya. Ia membiarkan penyanyi kelab malam itu menikmati kopi seorang diri. Merokok. Tak seorang pun pengunjung kafe yang mengganggunya, meski mereka mengenal penyanyi kelab malam itu. Beberapa kali Dewi Uma mengundang pelayan untuk memesan minuman dan makanan. Ia seperti ingin membuang semua kebenciannya terhadap ibu kandung yang selama dua puluh lima tahun menyingkirkannya. Ia ingin mencari tahu, kenapa dipisahkan dari keluarga orangtuanya yang tinggal di ujung timur pulau, yang berbahasa Osing.

Tengah malam, ketika para pengunjung mulai meninggalkan kafe, Dewi Uma masih duduk seorang diri, merenung, dan tak ingin beranjak. Wedang rempah yang diminumnya memberi kekuatan tenaga padanya. Sepasang matanya terus nyalang, hingga tinggal dia seorang diri. Kafe mulai tutup, perempuan itu membayar minuman dan makanannya di kasir, berjalan kaki pulang ke rumah di sudut gang. Ia mendapati Mak Yah masih menunggu di ruang tamu. Tapi ia tak menyapa.

Dewi Uma tak ingin bicara pada seseorang yang telah merawatnya sepanjang dua puluh lima tahun, dan merahasiakannya kalau dia bukan anak kandung. Mak Yah lepas kendali bicara, saat memintanya tak menjadi istri ketiga sang juragan, “Dasar anak penyanyi kampung! Sekarang jadi penyanyi kelab malam, istri ketiga yang dinikah siri sang saudagar!”

***  

Masih terlalu pagi ketika Dewi Uma mengendarai mobil sport merah hati meninggalkan pelataran rumah yang teduh pepohonan dan bunga-bunga anggrek. Ia tak mengantuk sama sekali setelah nongkrong di kafe sampai lewat tengah malam. Lebih dari tujuh jam perjalanan ke arah ujung timur pulau, melalui jalan tol. Ia menempuh lebih 600 kilometer untuk bertemu dengan ibunya, yang dikatakan penyanyi kampung. Tiba di kota kecil tempat kelahirannya, ia merasa asing. Ayah almarhum dan Mak Yah, ibunya, membawanya pindah meninggalkan kota kecil di ujung timur pulau ini ketika ia berumur dua tahun. Tak ada kenangan yang membekas dalam benaknya.

Lama ia mencari-cari rumah ibu kandungnya, yang bertempat tinggal di tepi kota. Ia mesti memasuki gang sempit, yang cukup dilewati satu mobil. Tiba di rumah tua, tak terawat, ia bertemu ibu kandungnya yang kini sudah tampak rapuh, tapi masih menampakkan kecantikannya sebagai seorang penyanyi Osing yang diiringi kendang kempul. Tentu kecantikan itu dulu menjadi tenung bagi laki-laki yang terpikat padanya.

Dewi Uma diperkenalkan dengan saudara kembarnya, Dewi Umayi. Gadis itu penyanyi Osing, yang memukau panggung-panggung hajatan, dan tampak menutup diri. Menatap Dewi Umayi, perasaan Dewi Uma seperti melihat dirinya sendiri, dengan kepribadian yang lebih menahan diri, suka merenung, dan diliputi rasa sungkan.  

Tak terlihat seorang lelaki tua yang dipanggil ayah di rumah itu.

Ibu kandung memeluk Dewi Uma dengan canggung. “Kau begitu memikat,” katanya.

Dewi Uma melepas pelukan ibu kandungnya. Masih tersisa perasaan marah pada ibu kandung yang membiarkannya dibesarkan orang tua angkat.

“Ayahmu masih hidup?” tanya ibu kandung.

“Ayah meninggal sepuluh tahun lalu,” balas Dewi Uma. Ia meredakan kemarahannya. Ia tidak tinggal di rumah tua ini bersama dengan saudara kembarnya. Betapapun Ayah yang menghidupinya hanya seorang pegawai pemerintah biasa, ia senantiasa berkecukupan.

Lama berbincang-bincang, Dewi Uma tak melihat laki-laki tua yang dipanggil ayah. Ia menanti beberapa lama percakapan, tetapi tidak juga menyebut-nyebut ayah. Ibu kandungnya tak pernah sekali pun mengatakan tentang ayah. Dewi Uma menanti saat yang tepat untuk menanyakan ayahnya. Ia telah mengendarai mobil sport merah hati lebih dari 600 kilometer ke ujung timur pulau untuk menyingkap masa lalunya. Berharap bertemu ibu dan ayah kandung.

“Mana Ayah? Aku belum ketemu dengannya,” tanya Dewi Uma. 

“Apa ibumu tak pernah cerita akan ayah kandungmu?”

“Tidak pernah sekali pun Mak cerita tentang Ayah.”

“Kalau begitu, tanyakan pada Mak, siapa ayah kandungmu. Biar dia yang bercerita,” kata perempuan tua yang tak lagi mementaskan nyanyian Osing dengan iringan kendang kempul. Dewi Uma merasa bahwa keluarga ibu kandung dan ibu angkatnya, memang terjalin suatu selubung rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. “Kau dipungut sebagai anaknya semenjak bayi. Aku tak pernah punya pikiran untuk memisahkanmu dengan Dewi Umayi. Juga kehendak ibu angkatmu untuk meninggalkan kota kecil ini, pindah ke kotamu sekarang, biar kau jauh dariku.”

Dewi Uma meredakan dendam dan kemarahannya terhadap ibu kandungnya. Ia kini menaruh iba pada ibu kandungnya, yang terpaksa melepaskannya untuk diasuh keluarga ibu angkatnya. Ia melepas kalung, gelang, dan cincin yang dipakai, diberikan pada ibu kandungnya, sebelum berpamitan. Ibu kandungnya menerima pemberian perhiasan itu dengan menahan tangis, bibir gemetaran, dan tak kuasa berdiri sampai Dewi Uma meninggalkan rumah tua yang tak terawat.

Dewi Umayi mengantarkan Dewi Uma sampai saudara kembarnya naik mobil sport merah hati menjauh dari gang. Dewi Umayi yang senantiasa membayangkan pertemuan dengan saudara kembarnya, merasa berat hati melepas Dewi Uma. Tapi Dewi Uma yang tak pernah menduga ia memiliki saudara kembar, lebih tenang. Pelan-pelan ia mengendarai mobilnya menuju jalan raya.

Dada Dewi Uma terasa lapang, meski belum tersingkap di mana ayah kandungnya. Ia mencapai rumah makan untuk memesan pecel pitik: nasi dengan ayam kampung bakar disuwir-suwir, diurap parutan kelapa bumbu mentah.

Tubuh Dewi Uma terasa penat setelah makan. Ia perlu istirahat, mencari hotel di tepi pantai untuk merebahkan badan semalam.

***

Terbangun pagi hari, Dewi Uma merasakan kepalanya yang memberat sudah mulai ringan. Tubuhnya segar. Ia tidak ingin segera menempuh perjalanan pulang. Ia menyusuri pantai, seorang diri, menyambut matahari bangkit dari cakrawala laut, dan mencari jejak kenangan masa kecil yang begitu gelap, dan tak ditemukan. Ia suka memandangi bayang-bayang dirinya yang memanjang di hamparan pasir putih. Ingin diciptakannya bayang-bayang itu menjadi gadis yang menampung segala gejolak hasratnya.

Ia menikmati sarapan rujak soto di hotel. Dengan pikiran tenang, ia berkemas-kemas. Turun menghadap resepsionis. Menyerahkan kunci kamar. Mencapai tempat parkir. Mengendarai mobil sport merah hati meluncur ke arah matahari tenggelam, memacu kecepatan di jalan tol.

Hampir senja Dewi Uma mencapai kota tempat tinggalnya. Tidak pulang ke rumah. Ia ziarah ke makam ayahnya. Tenang, ia melangkah pelan mendaki jalan setapak di bawah pohon kamboja. Dari jauh ia melihat Mak Yah duduk di batu besar depan makam Ayah. Berdoa. Dewi Uma berdiam diri. Menanti Mak Yah selesai berdoa. Tanpa percakapan, Mak Yah menatap dengan perasaan bersalah pada Dewi Uma.

“Mestinya tak kukatakan, kau bukan anakku,” kata Mak Yah meredakan perasaan. “Aku dan Ayah sudah berjanji untuk merahasiakan ini. Tapi aku telanjur marah padamu. Kau nekat nikah siri dengan sang saudagar sebagai istri ketiga. Aku takut, hidupmu tak tenteram.”

“Jangan lagi diungkit,” kata Dewi Uma. “Yang ingin kumengerti kini, siapa ayahku?”

Lama Mak Yah terdiam. Memandangi Dewi Uma. “Apa yang dikatakan ibu kandungmu?”

“Aku diminta bertanya pada Mak.”

“Ini makam ayah kandungmu,” kata Mak Yah. “Dulu tetangga selalu berbisik padaku, ia terkena sihir mantra jaran goyang. Ia nikah siri dengan ibu kandungmu. Ketika lahir bayi kembar, aku minta bayi yang lebih tua jadi anak kami. Dan ibu kandungmu mengasuh saudara kembarmu. Aku tak membiarkan anak-anak terus lahir dari rahimnya. Aku paksa Ayah menceraikannya, dan kami pindah ke kota ini.”

Sunyi sekali makam sore itu. Tak ada lagi percakapan. Dewi Uma terdiam. Lunglai. Tak lagi ingin menggugat siapa pun kali ini. Ia menikmati berdiam diri. Mak Yah tak ingin menambah derita Dewi Uma. Mereka berjalan beriringan meninggalkan makam.

“Apa kau ingin meninggalkanku kini?” tanya Mak Yah, setelah mencapai gerbang kuburan. Tepat di depan mereka mobil sport merah hati diparkir.

Malam nanti Dewi Uma ingin kembali menyanyi di kelab malam. Ia tak bisa lama meninggalkan panggung. Ia sangat menikmati saat menyanyi, saat pengunjung menatap takjub, tersihir penampilannya.  

                                                   

Pandana Merdeka, November 2021

S. Prasetyo Utomo
Latest posts by S. Prasetyo Utomo (see all)

Comments

  1. Indhalone Reply

    Wahh, keren Pak.

  2. Mahalia Widyaningsih Reply

    Suka sekali dengan alur ceritanya, cerpen yang bernas, Pak Pras, kapan ya saya bikin cerpen seperti ini??

  3. Elviway Reply

    awal paragraf pak, kok disambung?

  4. Fateema_Cholis Reply

    Suka banget sama bacaan yang ada unsur kejawennya🤭 Sukses terus Pak Pras.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!