Syaikh ‘Abdullah Al-Abhari

Syaikh 'Abdullah Al-Abhari
pinterest.com

Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu Bakar. Seorang sufi yang alim dan wara’. Bagian di antara kawan-kawan Syaikh Dalf Asy-Syibli. Bersahabat dengan Syaikh Yusuf bin Husen dan lain sebagainya. Wafat sekitar tahun 942 M.

Tentang kesalehan dan kemanfaatan Syaikh ‘Abdullah al-Abhari bagi sesama di zamannya, Syaikh Mahlab al-Mishri memberikan kesaksian dengan pernyataannya: “Tidak ada yang lebih bermanfaat dibandingkan persahabatan dengan Syaikh ‘Abdullah al-Abhari.”

Hal itu menunjukkan bahwa spiritualitas yang kuat dan dahsyat betul-betul bersemayam di dalam hatinya. Sehingga begitu terasa memantul menjadi aura yang sangat cerah dan perilaku yang sedemikian indah. Orang-orang di sekitarnya, sepanjang masih dimungkinkan untuk mendapatkan petunjuk, akan menjadi mudah terpengaruh oleh kesalehannya, baik secara vertikal maupun dalam konteks horizontal.

Pernah suatu hari Syaikh ‘Abdullah al-Abhari ditanya tentang hakikat. Beliau menjawab bahwa keseluruhan hakikat itu adalah ilmu. Dan ketika ditanya tentang ilmu itu, beliau menjawab bahwa keseluruhan ilmu itu adalah hakikat.

Antara ilmu dan hakikat: masing-masing di antara keduanya merupakan personifikasi bagi yang lain. Tentu saja mesti segera diikuti dengan sebuah anotasi bahwa yang disebut dengan ilmu di sini murni dalam kaitannya dengan konteks paradigma sufistik.

Hakikat yang merupakan intisari terdalam dari segala sesuatu, selain merupakan “permata” yang begitu agung nilainya, pastilah juga merupakan ilmu tertinggi tentang sesuatu itu. Bagaimana tidak, kalau kita menggunakan kaidah العلم تابع للمعلوم, bahwa ilmu itu mengikuti objeknya, maka menjadi jelas bahwa seseorang yang menggapai hakikat itu dapat dipastikan dia mendapatkan ilmu tertinggi. Ilmu yang sudah pasti terbuhul secara spesifik dengan Allah Ta’ala.

Para nabi dan para wali adalah orang-orang yang memiliki ilmu tertinggi. Karena jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang telah menggapai hakikat, mencapai asal-usul segala sesuatu yang tak lain adalah hadiratNya. Dan karena ilmu hakikat itu merupakan “ilmu pasti”, maka tidak mungkin ilmu itu akan menjadikan mereka tertarik kepada segala sesuatu yang wadag, muspra dan fana. Tidak mungkin mereka tertipu oleh berbagai macam fatamorgana kehidupan ini. Karena semua itu tidak tersambung secara valid dengan ilmu hakikat yang bersemayam di kebeningan telaga rohani mereka.

Untuk sampai kepada ilmu hakikat itu, di samping mesti banyak memohon kemurahan hadiratNya, kita mesti selalu menyusun kekuatan rohani untuk menerobos lapis-lapis permukaan segala sesuatu agar pada akhirnya kita sampai pada “alamat” Allah Ta’ala. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!