
Beliau adalah sebagaimana judul di atas. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak menemukan data atau kitab thabaqat yang lain yang menyebut tentang nama lain beliau. Di mana dan kapan beliau lahir, saya tidak tahu. Di mana dan kapan beliau wafat, saya pun juga tidak tahu. Berguru kepada siapa dan berkawan dengan siapa saja, saya pun juga tidak tahu.
Tapi satu hal dari beliau saya kira penting untuk dipublikasikan agar menjadi teladan bagi kita untuk kita contoh di dalam kehidupan ini. Yakni, adanya spiritualitas yang sangat bagus dan tangguh dari beliau. Begitu dekat beliau dengan Allah Ta’ala. Begitu mesra beliau dengan hadiratNya.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menuturkan bahwa pernah terjadi pembicaraan antara Syaikh ‘Ali bin Syalwih dengan seorang temannya. Beliau mengatakan: “Saya adalah orang yang paling makrifat kepada Allah Ta’ala di atas gunung ini.” Dan temannya tidak lantas percaya begitu saja, tapi betul-betul ingin menyaksikan omongannya.
Waktu shalat tiba. Dan tidak ada sedikit pun air di atas gunung itu. Air itu berada di atas gunung yang lain. Tapi Syaikh ‘Ali bin Syalwih ingin sekali untuk berwudhuk. Dan yang sangat aneh kemudian terjadi. Apa itu? Dua gunung itu lalu saling mendekat, kemudian menyatu. Dan Syaikh ‘Ali bin Syalwih lalu berwudhuk, kemudian shalat di situ juga.
Dituturkan oleh Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif bahwa kebanyakan waktu di dalam umur Syaikh ‘Ali bin Syalwih adalah berada di padang sahara dan di atas gunung. Sementara para tukang jagal sangat mencintai beliau, melebihi cinta mereka kepada anak-anak mereka sendiri.
Dua orang dari pembesar tukang jagal itu mendatangi beliau. Mereka berdua berkata bahwa mereka memiliki dua orang putri. Dan masing-masing dari mereka mempunyai empat ribu kambing. Dan kambing-kambing itu mutlak mau ditasarrufkan untuk para fakir-miskin. Dan mereka berdua datang kepada beliau untuk menikahkan putri-putri mereka dengan beliau.
Kedua putri itu dinikahi oleh Syaikh ‘Ali bin Syalwih. Beberapa hari setelah pernikahan itu, Syaikh Muammil al-Jashshash berkata kepada Syaikh ‘Ali bin Syalwih: “Janganlah kau mengutamakan diri kepadaku. Karena sesungguhnya sekarang kau telah menikah sepertiku.” Syaikh ‘Ali bin Syalwih merespons: “Aku menikah karena Allah.” Demikian pula dengan Syaikh Muammil al-Jashshash.
Pelajaran spiritual macam apa yang bisa kita ambil dari beliau untuk kita terapkan di dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi semakin akrab dengan Allah Ta’ala? Tidak lain adalah menyerahkan hidup dan mati kita mutlak kepada hadiratNya. Karena sesungguhnya apa pun yang ada pada diri kita hakikatnya mutlak milik Allah Ta’ala.
Bahkan seluruh yang ada di dunia ini berasal-usul dari hadiratNya, tidak ada yang berasal-usul dari yang lain. Maka, seluruh kepemilikan kita sesungguhnya hanyalah bersifat majazi, sama sekali tidak ada yang bersifat hakiki. Hanya kepemilikan yang disandarkan kepada Allah Ta’ala yang betul-betul bersifat hakiki.
Hidup kita sekarang ini tetap berada dalam ruang lingkup kemahaan hadiratNya, tidak mungkin kita bisa keluar. Baik dalam pemahamannya secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pemahaman yang langsung, kita tidak mungkin keluar dari keterbatasan diri kita sendiri. Dalam pemahaman yang tidak langsung, kita tidak mungkin bisa keluar dari dunia ini. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- SYAIKH ABU AL-‘ABBAS AL-AMILI #4 - 2 May 2025
- Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili #3 - 25 April 2025
- Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili #2 - 18 April 2025
ratih
bagus