Nama lengkap beliau adalah Syaqiq bin Ibrahim al-Balkhi. Kun-yahnya adalah Abu ‘Ali. Termasuk di antara kaum sufi pada generasi awal di Khorasan. Sezaman sekaligus menjadi guru bagi Syaikh Hatim al-Asham. Di antara guru-gurunya adalah Syaikh Ibrahim bin Adham. Beliau juga adalah murid seorang ahli fikih yang agung, kawan Abu Hanifah, Syaikh Zufar bin al-Hudzail. Beliau wafat di Khalton, Tajikistan pada tahun 810 M.
Pertama-tama dalam kehidupannya, beliau adalah seorang pemikir ulung yang senantiasa berpegang teguh kepada kalkulasi akal. Lalu beliau menekuni tentang berbagai ilmu hadits dan sunah. Akhirnya beliau secara murni dan tuntas menempuh jalan asketis, mengambil jarak dari segala hiruk-pikuk duniawi, menepi bersama hadiratNya, melebihi apa yang telah ditempuh oleh gurunya, Syaikh Ibrahim bin Adham. Beliau mengarungi hidup tawakal. Sepenuhnya tawakal kepada Allah Ta’ala.
Pada suatu hari, beliau bertanya kepada Syaikh Ibrahim bin Adham: “Bagaimana kehidupanmu, Tuan?” Yang ditanya itu kemudian menjawab: “Jika aku mendapatkan rezeki, aku bersyukur. Jika tidak, aku bersabar.”
“Kalau seperti itu,” tukas Syaikh Syaqiq, “anjing-anjing di Khorasan juga demikian.” Syaikh Ibrahim balik bertanya: “Lha, bagaimana kehidupanmu sendiri?” Yang ditanya lalu menjawab: “Jika aku mendapatkan rezeki, maka aku infakkan di jalan Allah Ta’ala. Jika tidak, maka aku senantiasa bersyukur.”
Tidak tanggung-tanggung, sang guru itu kemudian mencium kepala muridnya dengan bangga sembari mengatakan: “Engkaulah guruku.” Sebuah ungkapan yang muncul dari ketulusan dan keluasan hati. Sebuah pengakuan terhadap kecemerlangan spiritualitas muridnya sendiri. Sebuah tindakan terpuji yang pasti sangat sulit untuk temukan di zaman sekarang ini.
Mensyukuri karunia dengan menggunakannya di dalam berbagai kebaikan dan bersikap sabar ketika tidak mendapatkannya sungguh merupakan perbuatan yang luhur dan mulia. Akan tetapi jelas bahwa hal itu bukanlah merupakan perbuatan yang bertahta pada tingkatan spiritual tertinggi.
Di atasnya masih ada lagi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Syaqiq al-Balkhi. Yaitu, bersyukur justru ketika tidak mendapatkan karunia. Artinya adalah bahwa tidak mendapatkan karunia itu sama saja dengan mendapatkan karunia dalam wujud dan bentuk yang lain. Yakni, ketika orang sadar dan haqqul yaqin bahwa tidak mendapatkan karunia itu merupakan kondisi rohani terbaik menurut hadiratNya.
Sementara ketika mendapatkan karunia, Syaikh Syaqiq al-Balkhi sesegera mungkin memosisikan diri sebagai tangan Allah Ta’ala yang sedemikian dermawan dan dipenuhi dengan rasa belas dan kasih-sayang kepada siapa pun yang berhak untuk mendapatkannya.
Pada kedudukan rohani seperti itu, beliau berarti sudah sepenuhnya terbebaskan dari kediriannya sendiri yang pekat dan kelam sehingga bukan saja tidak dimungkinkan bagi adanya penggunaan karunia yang tidak benar dan salah sasaran, tapi jauh lebih tinggi dari itu beliau diberi kemampuan untuk menjadikan tangannya sebagai tangan hadiratNya. Atau sebaliknya.
Di saat yang sangat sakral seperti itu, lenyaplah beliau bagi dirinya sendiri, dan pada saat yang bersamaan, muncullah beliau sebagai teofani hadiratNya yang begitu nyata. Sufi pada tingkatan rohani seperti itu, di dalam perilaku dan tindakannya akan senantiasa mengejawantahkan akhlak dan sifat hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025