Itu dimulai dari sebuah malam, saat ia kencing di lantai kamar mandi sebuah terminal, dan ia tidak mendapati air untuk menyiram air kencingnya sendiri. Ketika kemudian aroma pesing itu merebak dengan cepat ke seluruh ruangan dan menerobos kelubang hidungnya, mendadak ia teringat aroma sesuatu. Aroma yang begitu pekat dan tidak asing. Aroma kecoak. Sejak itu ia menemukan sebuah teori baru tentang asal mula kecoak, bahwasannya: kecoak berasal dari air kencing yang tidak disiram.
Kelebat-kelebat percakapan di kepalanya terus berlanjut. Kemungkinan itu besar, sebab aroma kecoak dan aroma kencingnya benar-benar serupa. Di luar itu, ia tidak pernah ada pengalaman langsung, melihat atau menyaksikan bagaimana kecoak terbentuk atau lahir atau muncul dari cangkang telur. Kecoak selalu datang tiba-tiba dan secara tak terduga, dari kolong-kolong meja, got, serta kamar mandi.
Untuk meyakinkan teorinya itu, setiap kali kencing, ia tak pernah menyiramnya, dan ia selalu membauinya dalam-dalam untuk memperdalam keyakinannya, bahwa teorinya tentang asal mula kecoak tidaklah main-main. Meski kadang kala, bau air kencingnya itu mirip aroma ampas kopi. Tentu saja ia ragu untuk membuat teori baru tentang asal mula ampas kopi. Sebab, sudah jelas ampas kopi berasal dari biji kopi yang ditumbuk dan mengendap di dasar cangkir. Dan biji kopi berasal dari pohon kopi. Dan pohon kopi… bukankah bisa saja pohon kopi berasal dari kecoak yang mati? Secara, pada satu titik yang tepat, aroma itu sedikit mirip. Dan warna kecoak tidak jauh-jauh dari warna kopi. Kemungkinan itu pasti ada, pikirnya. Dan ia pun mulai menuliskan sebuah teori baru tentang asal mula pohon kopi: pohon kopi berasal dari kecoak yang mati.
Ia selalu meyakini satu hal, bahwa segala sesuatu memiliki permulaan. Itu pasti. Dan teori-teori tentang permulaan segala sesuatu telah diciptakan oleh para pencipta dan beberapa telah dibuktikan oleh para pembukti, atau keduanya: diciptakan sekaligus dibuktikan oleh para pencipta sekaligus pembukti. Meski demikian, tak ada yang melarang seseorang untuk membuat sebuah teori baru tentang asal mula segala sesuatu. Pikiran manusia berkembang, Tuhan menciptakannya seperti itu. Oleh karenanya, berpikir kreatif itu sangat boleh, bahkan dianjurkan. Ia sering manggut-manggut sendiri oleh pemikirannya itu.
Dan semenjak menemukan teori baru tentang asal mula kecoak, ia mulai menyelidiki segala sesuatu untuk menemukan teori-terori baru tetang asal mula segala sesuatu. Ia yakin sekali, bulu halus yang tumbuh di ketiaknya itu pasti bermula dari sesuatu. Tahi cecak yang berwarna hitam putih itu juga bermula dari sesuatu. Bahkan, mengapa mulut-mulut ikan selalu menekuk ke bawah seperti mulut yang sedang cemberut, itu juga bermula dari sesuatu.
Dari waktu ke waktu, ia disibukkan dengan segala tingkah lalu yang tak pernah dipahami orang-orang. Bahkan ibunya sendiri. Bapaknya meninggal beberapa tahun silam karena kakinya menginjak paku payung karatan. Setelah dibawa ke rumah sakit, bapaknya sempat sembuh, tapi setelah itu kakinya membusuk tidak keruan sampai ajal menjemputnya cepat-cepat. Kepergian bapaknya itu sempat membuat kuliahnya tersendat. Ia mahasiswa semester lawas di sebuah perguruan tinggi swasta yang kurang dikenal, ia mengambil Jurusan Keguruan. Sebelum menemukan teori baru tentang asal mula kecoak, tugas akhir kuliahnya sudah keteteran, dan setelah menemukan teori baru tentang asal mula kecoak, tugas akhirnya semakin keteteran.
Ia tak peduli lagi pada omong kosong soal tugas akhir. Itu sama sekali tidak penting. Tidak ada lagi yang lebih penting selain menyelidiki segala sesuatu dan menemukan teori-teori baru tentang asal mula segala sesuatu. Gagal di akademik bukanlah masalah besar, para penemu dan pencipta teori-teori terdahulu sebagian besar gagal dalam akademik. Mereka adalah orang-orang yang dikeluarkan dari ruang kelas, dan mereka menemukan sesuatu yang berabad-abad kemudian diobrolkan oleh orang-orang dungu—yang tidak pernah menemukan teori apa pun, di ruang-ruang kelas di seluruh dunia. Itulah dirinya, kelak. Berabad-abad kemudian, akan ada orang-orang dungu yang mendiskusikan, bahwasannya aroma kecoak adalah aroma lain dari air kencing yang tidak disiram. Dan bukannya tidak mungkin, kelak, orang-orang akan menanam kopi dengan cara menimbun bangkai-bangkai kecoak ke dalam tanah.
Untuk membuktikan temuan kedua itu, sampai sekarang ia masih sregep melakukan uji coba dengan mengubur bangkai-bangkai kecoak ke dalam polybag.
Ketika ibunya bertanya, “Apa yang kau tanam di situ?”
Dengan penuh keyakinan iya menjawab, “Pohon kopi.”
Dan selang berbulan kemudian, dirinya ataupun ibunya tak pernah melihat kecambah apa pun tumbuh dari dalam polybag-polybag itu, alih-alih yang tumbuh beberapa jumput rumput yang tidak ia kenali jenis ataupun namanya. Kendati demikian, ia tidak menyerah. Sambil terus menyelidiki segala sesuatu, dari waktu ke waktu, ia terus mengubur kecoak-kecoak mati dalam polybag-polybag itu, menyiraminya secara berkala dan menyiangi rumput-rumput yang tumbuh. Ia percaya, kegagalan adalah anak kandung dari sebuah percobaan. Sewaktu SD, guru Bahasa Indonesianya pernah mengatakan itu.
Perihal pembuktian dari teorinya yang pertama, ia merasa tak perlu melakukannya lagi. Sebab sudah jelas, di awal-awal penemuan teori baru tentang kecoak itu, ia pernah menguji cobanya sendiri. Sehari setelah ia menemukan teori itu di kamar mandi sebuah terminal, ia kencing banyak-banyak di lantai kamar mandi menjelang tidur dan tidak menyiramnya. Pagi harinya, ia menemukan seekor kecoak tergeletak dalam keadaan terlentang, tepat di depan pintu kamar mandi. Dan ia sangat yakin, bahwa kecoak itu berasal dari air kencingnya sendiri yang sengaja tidak ia siram. Pada hari itu juga, ibunya mengomel panjang perihal bau pesing yang membuat ibunya hampir mati. Ia tak peduli pada omelan ibunya, sebab ia yakin ibunya tahu, bau pesing tak akan membuat seseorang mati.
Pada malam-malam berikutnya, untuk meneguhkan teori barunya itu, ia melakukan hal yang sama dengan malam lalu, sebelum berangkat tidur. Dan pagi harinya, ia tak mendapati kecoak di mana pun. Ia telah melongok ke kolong-kolong meja, di bawah lemari. Dan tak ada satu kecoak pun ia dapati. Sampai ibunya datang bersungut-sungut, mengomelinya perihal tata cara buang air kecil.
Ia manggut-manggut. Ia tahu kenapa tak seekor kecoak pun muncul. Jelas, karena semalam ibunya telah menyiram bekas air kencing yang sengaja tidak ia siram itu. Buktinya, lantai kamar mandi pagi hari itu begitu kesat dan beraroma detergen. Sesuatu yang tidak disukai kecoak. Jelas. Itu sudah terbukti. Dan ia tak perlu membuktikan untuk yang kedua kali. Lagi pula tak baik membuat orang tua mengomel setiap hari.
Dan setelah bulan-bulan yang ia lalui, setelah penyelidikan-penyelidikan yang mendebarkan, ia kembali menemukan beberapa teori baru tentang asal mula segala sesuatu. Teori-teori baru itu kelak akan ia jadikan sebuah buku. Dan sementara ini, sambil menemukan teori-teori baru yang lain, ia menuliskannya dalam sebuah buku catatan supaya tidak hilang atau lupa. Sebab, peribahasa latin kuno bilang, verba volent scripta manent, segala sesuatu yang diucapkan akan cepat hilang dan dilupakan, dan apa-apa yang ditulis akan awet, abadi.
Maka, berikut adalah daftar urut dari teori-teori baru tentang asal mula segala sesuatu yang ia temukan dan ia tulis serapi mungkin dalam buku catatan:
- Kecoak berasal dari air kencing yang tidak disiram (terbukti).
- Pohon kopi berasal dari kecoak mati (proses).
- Kodok berasal dari biji selasih (proses).
- Pohon kemangi berasal dari tahi kodok (proses).
- Kura-kura bersal dari batu yang terendam air terlalu lama (proses).
- Batu berasal dari tahi kura-kura yang mengembang dan mengeras (masih praduga).
- Pohon jagung berasal dari gigi-gigi tanggal yang tak pernah disikat (masih praduga)
- Pohon mentimun berasal dari gigi tanggal yang rajin disikat (masih praduga)
- Ular berasal dari potongan-potongan rambut yang dibuang sembarangan (masih praduga).
Genap tujuh bulan semenjak teori pertama perihal kecoak itu ia temukan, dan proses-proses pembuktian yang ia lakukan itu tidak membuahkan apa pun. Ketika ibunya menggeledah kamarnya, ibunya mengomel panjang karena melihat begitu banyak perkakas tidak berguna menyempal-nyempal di kamar itu, persis sarang tikus: biji selasih dalam stoples, kodok dalam stoples, batu yang direndam dalam ember, bangkai kodok, potongan-potongan rambut, pipilan jagung, mentimun busuk, tiga butir gigi yang tanggal yang ia rendam dalam gelas—entah gigi siapa.
“Ini ruang eksperimenku, seharusnya Ibu tidak masuk tanpa seizinku, apa lagi menggeledah semua barang-barangku,” ia silih mengomeli ibunya.
“Ini rumahku, aku bisa saja mengusirmu sekarang juga kalau aku mau,” balas ibunya tak kalah sengit.
Dan ibunya masih saja memekik-mekik seperti mesin bunyi yang tak bisa dimatikan. Ibunya mengatainya hilang waras, sambil mengobrak-abrik, menendang, dan membanting segala perkakas tak berguna itu. Lalu mengungkit-ungkit soal kuliah yang tak selesai-selesai, mengungkit-ungkit kematian bapaknya yang disebabkan oleh kebebalannya (Ia membela diri, berbisik pelan, bahwa kematian bapaknya disebabkan oleh kesalahan paku paying berkarat). Kegaduhan itu diakhiri oleh bantingan pintu dan tangisan ibunya yang tanpa suara.
Setelah ibunya keluar kamar, ia ikut menangis, bersimpuh, menangisi segala jerih payahnya yang jadi berantakan gara-gara ulah ibunya. Ia terus meneguhkan hati, bahwa untuk menjadi seorang penemu ia memang harus melalui banyak ujian dan cobaan. Seperti yang baru saja dilakukan ibunya—itu adalah sebuah cobaan. Ia tak ingin peduli. Ia tak ingin berputus asa. Ia harus keluar kamar untuk menemukan inspirasi baru, atau setidaknya, supaya jantungnya dialiri angin segar. Dan ketika ia keluar kamar menuju halaman, dadanya yang sesak itu sontak berdebar tak keruan, sebab dari polybag-polybag dekil itu ia melihat kecambah-kecambah mulai muncul dan mulai memekarkan dua daun pertamanya. Ia yakin sekali, teori keduanya itu berhasil. Itu pasti kecambah dari pohon kopi. Kalaupun itu bukan pohon kopi, tetap saja itu bermula dari bangkai kecoak. Dan itu adalah hasil temuannya.
Di halaman itu ia melompat-lompat seperti orang kesetanan sambil membopong polybag-polybag berkalang tanah. Ia tak pernah tahu, bahwa pada bulan kelima, ibunya pernah begitu jenuh melihat polybag-polybag kosong di halaman, berjajar tanpa menumbuhkan apa pun. Sebab itu, iseng-iseng ibunya menenggelamkan biji-biji kakao ke dalam polybag-polybag tua itu dan melupakannya. Benar-benar melupakannya.***
Malang, 2018
- Keladi Bercak Darah - 22 November 2024
- Hantu Hutan - 26 July 2024
- Hakim di Dapur - 26 January 2024
Yun Lestari
Keren, nih
Anindyka
hehehee tentang kencing
Dewi
Imajinatif bingitttt! Good!
Lintang Citr
Hahaha
Pesan moral: Jangan sepelekan kencingmu!
Anonymous
konsepnya sederhana dan bahkan bisa dibilang absurd, tapi eksekusinya kelihatan jelas hasil tulisan pro. sasuga penulis indo : )
oelom
hahahahsyuuuuuu …. keren!!!
Didik Mujianto
Hahah. . Lucu saja dengan teori. Kenapa ga bilang teori dari asal ibunya menangis adalah adanya dirinya? Kwkkwwk
Anonymous
Lucu nih wkwk
Fulica
Love it
Initial A
Ini jelas bukan abal-abal. Great imaginery, great story telling.