Sudah tujuh puluh tahun aku menunggu di terminal dan belum juga mendapatkan penumpang. Terminal kian ramai dari waktu ke waktu, tapi sudah lama tak ada yang mau memakai jasaku.
Setiap kali ada bus antarkota memasuki terminal Situbondo, aku segera mendorong becakku mendekati pintu bus, menunggu penumpang-penumpang yang barangkali membutuhkan becak untuk melanjutkan perjalanan mereka ke rumah. Selalu kulihat wajah-wajah lelah itu, orang-orang yang baru selesai melakukan perjalanan jauh, tapi mereka bahkan tidak melihat kepadaku. Setiap kali kutawarkan becak, selalu kudapat jawaban, “Tidak, saya sudah dijemput.”
Dan memang para penumpang itu kemudian melangkah keluar terminal, ada yang dijemput kerabatnya dengan sepeda motor, ada yang dijemput mobil. Aku masih berharap pada penumpang lain. Namun sampai penumpang terakhir turun, tidak ada yang menghampiriku.
Aku segera memundurkan becakku untuk menunggu bus berikutnya. Begitulah, sepanjang hari, siang dan malam, aku berada terminal, menunggu ratusan bus, ribuan penumpang. Ada yang seperti satu keluarga, ada pula yang berdua seperti sepasang kekasih, ada pula seorang ibu menggendong anak, ada yang sendirian. Namun setiap kali kutawarkan becakku, mereka segera pergi setelah berkata, “Tidak, Pak, saya sudah dijemput.”
Dahulu ada banyak tukang becak di terminal ini. Kami bahkan menjadi rebutan para penumpang. Di masa itu, ketika orang-orang belum punya telepon genggam, dan sepeda motor juga belum banyak berseliweran, para penumpang suka naik becak untuk melanjutkan perjalanan dari terminal ke rumah mereka. Telah ratusan kali aku menjadi saksi tentang sebuah pertemuan. Selalu menyenangkan melihat penumpang turun dari becakku, lalu disambut oleh keluarganya dengan begitu ceria di pekarangan rumah. Anak-anak kecil yang mencium tangan orang tuanya, lalu ada yang membawakan tas. “Gimana perjalanannya? Lancar? Alhamdulillah….” Terkadang aku diminta untuk duduk sejenak minum kopi setelah mendapat bayaran, tapi aku sering menolak sebab harus cepat kembali ke terminal.
Dalam sehari, aku bahkan bisa mengantarkan 20 penumpang ke berbagai tempat. Dan mereka tidak perlu khawatir tersesat atau sibuk menjadi penunjuk jalan. Telah kuhafal seluruh nama jalan, nama warung, hingga gang-gang kecil. Telah kutelusuri setiap sudut-sudut kota kecil ini. Dari nama-nama yang resmi maupun yang ilegal. Dari rumah pejabat Pemda sampai tempat-tempat sarang preman.
Namun dari waktu ke waktu, jumlah tukang becak semakin berkurang. Sepeda motor telah menggeser kami secara perlahan. Mereka memasang tarif lebih murah, dan lebih cepat. Mulailah berjejer sepeda motor di depan terminal, bersebelahan dengan kami. Dan rupanya para penumpang lebih suka naik sepeda motor daripada becak. Akhirnya sebagian kawan-kawanku sesama tukang becak mulai mundur.
“Sudahlah, Lem, (Oh ya, namaku Salem), buat apa menghabiskan waktu di sini. Mending bertani, atau jadi kuli pasir.” Begitu yang dikatakan sesama tukang becak.
Saat itu tukang becak tinggal sekitar tujuh orang, di antara kami ada yang berinovasi merakit mesin penggerak, sehingga jadilah becak motor. Tapi suara mesin rakitan itu sangat bising, tidak sebanding dengan kecepatan yang dihasilkan. Sehingga becak motor itu ibarat memiliki kecepatan suara: becaknya masih jauh, tapi suaranya sudah sampai lebih dulu.
“Salem, kau tidak ingin menambah mesin juga?” tanya seorang rekanku.
“Aku lebih suka menambah keringat.”
Dan terbukti, kesetiaanku pada dunia perbecakan tidak pernah luntur. Ketika becak motor mulai terisolir karena dilarang oleh Satpol PP, tinggallah aku sendirian menjadi tukang becak di terminal, bersaing dengan riuhnya tukang ojek yang gemar main kartu dengan para pengamen. Usiaku makin tua tapi aku merasa tenagaku tidak melemah. Tahun demi tahun kulalui di terminal, aku bahkan tidak pernah pulang. Terakhir kali istriku, Santi, datang membawa bekal dan menasihatiku, “Sudahlah, ayo pulang. Aku kesepian….”
“Tapi, San, aku adalah tukang becak. Dulu kau jatuh hati padaku setelah menumpang becak ini. Sekarang aku tidak akan pulang sebelum mendapat penumpang lagi.”
Dan ia pun pergi, sejak itu tak pernah muncul lagi. Tujuh puluh tahun kemudian, generasi berganti, tak banyak lagi sosok yang kukenal.
“Lho, Salem? Kamu masih hidup? Tahun berapa ini? Teman-temanmu sudah mati semua.” Begitu kata salah seorang mandor bus Akas.
Aku bahkan tidak ingat siapa teman-temanku. Dan bagaimana nasib mereka. Namun pernah kulihat seorang lelaki yang mirip denganku di masa muda. Dengan keberanian, kuhampiri lelaki itu, “Apa kamu cucuku?”
Ia menoleh sinis. “Gila, aku tidak punya kakek seorang tukang becak.”
Benar juga. Sudah tujuh puluh tahun aku tidak pulang dan tidak tahu bagaimana nasib keluargaku. Akan tetapi lelaki ini mirip benar dengan diriku, kalaupun ia benar cucuku, aku tidak akan mendoakannya menjadi patung. Aku tidak butuh hal-hal menakjubkan yang membawa-bawa perasaan seperti itu.
Aku hanya ingin mendorong becakku mendekati pintu bus, melihat penumpang-penumpang yang turun, tapi selalu mendapat jawaban, “Tidak, Pak, saya sudah dijemput.”
Lama-kelamaan aku seperti tak terlalu memerlukan bahasa di dunia ini kecuali pertanyaan, “Becak, Mas? Mbak? Pak? Bu?” dan jawaban seperti tadi.
Mengapa setiap orang yang turun dari bus selalu dijemput? Mengapa penumpang itu lebih suka meminta keluarganya menjemput di terminal daripada bertemu di rumahnya? Bukankah terminal lebih cocok untuk perpisahan daripada pertemuan?
Aku tidak ingat lagi tahun berapakah terakhir kali aku mengantar penumpang. Jika bus sedang sepi, aku suka merebah di dalam becakku, merenung tentang penghasilan tetap, uang pensiun di masa tua….
Ah. Jika laba-laba yang banyak menghabiskan waktu untuk berdiam diri saja tetap mendapat rezeki dari Tuhan, maka aku harus tetap yakin bahwa kelak pasti ada penumpang. Maka aku tetap percaya. Meski terkadang juga menjadi pesimis. Di malam hari, di bawah bintang-bintang yang menolak masuk ke sebuah puisi, aku biasanya tertidur bersama suara angin yang menggerak-gerakkan atap kain becakku. Dan karena aku seorang tukang becak, mimpiku tidak macam-macam, aku suka bermimpi dikerubungi penumpang, menjadi rebutan, dan aku kerepotan melayani mereka.
Namun malam ini, aku merasakan kejadian yang sangat aneh, di sinilah inti cerita pendek ini. Jadi begini. Malam ini, sekitar pukul 12, kebetulan tidak ada bus datang, terminal juga sepi, pengamen tertidur, pedagang menutup dagangannya. Tiba-tiba ada seorang lelaki berjas merah menghampiriku.
“Becak, Pak.” kata lelaki itu.
“Hah?” Aku terkejut. Mataku masih terkantuk-kantuk saat aku bangkit.
“Becak,” ia mengulangi.
Aku masih tidak percaya. Masih adakah manusia di dunia ini yang ingin naik becak? Maka kutanyakan, “Apakah Mas tidak dijemput?”
Lelaki itu tersenyum, “Justru sayalah yang menjemput Bapak.”
Aku terkejut. Belum sempat aku keluar dari becakku, tiba-tiba ia sudah duduk di kemudi belakang, dan mulai mengayuh. Lho, kenapa aku yang menjadi penumpang?
Lelaki itu mengayuh dengan cepat, kebetulan jalanan juga sepi, kawanan geng motor sepertinya sedang libur. Lelaki itu membawaku ke jalan yang makin lengang, saat itulah ia berkata. “Sudah waktunya, Pak. Sudah waktunya….”
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku menoleh ke arah kemudi, “Wah, apa Anda malaikat maut?”
Ia tersenyum. “Benar, Pak. Saya ditugaskan untuk….”
“Berhenti! Turun, Mas Malaikat. Saya tidak mau mati sebelum mendapat penumpang.”
“Lho?”
Aku meminta becak ini dihentikan. Aku berusaha memegang ban samping. Dan ia mengerem. Maka aku pun turun, mengusir malaikat itu dari kemudi. Lalu kukayuh becakku kembali ke terminal. Kutinggalkan malaikat itu berdiri sendirian di jalan yang sepi. Semoga ini cuma mimpi. Bagaimana mungkin aku menolak kematian? Kubayangkan malaikat itu kembali pada Tuhan dan berkata kalau aku menolak untuk mati.
Ah, pikiranku semakin kacau saja.
Sesampainya di terminal, ternyata lelaki berjas merah itu sudah tiba lebih dulu. Ia menghampiriku lagi.
“Mengapa Anda menolak untuk dijemput? Padahal tidak akan ada lagi penumpang untuk Anda di dunia ini,” katanya.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba lelaki itu lenyap, dan di saat yang sama, aku diserang kantuk yang teramat sangat. Belum pernah aku mengantuk seperti sekarang ini. Apakah malaikat itu memberiku obat tidur?
***
Situbondo, bertahun-tahun kemudian, kota kecil itu telah dihantam kemacetan seperti Jakarta. Zaman semakin maju, semua bus sudah ber-AC, sepeda motor menderu hampir 24 jam, lampu lalu lintas tidak bisa dipahami, kehidupan telah menggunakan mesin. Dan manusia menjadi seperti robot, kabel-kabel melilit tubuh mereka. Terminal telah diperluas, menjadi megah. Sepeda motor dan taksi berbaris menunggu penumpang yang turun dari bus. Para tukang ojek, dari yang online sampai yang offline, hilir mudik mengantar dan mencari penumpang.
Namun di salah satu sudut gerbang terminal, masih ada seorang tukang becak yang sedang tertidur lelap. Ia tidak ikut mencari penumpang. Ia tertidur sepanjang waktu.
Dan entah mengapa, tak ada seorang pun yang mau membangunkannya.
- Pada Peperangan Terakhir - 30 August 2019
- Ciuman Revolusi - 8 March 2019
- “Tidak, Saya Sudah Dijemput.” - 12 February 2016
lightgreenish
Judulnya itu alasan prtma bwt baca crpen ini… Asik…
Tapi endingnya itu gmn sh? Apkh malaikat bnar2 menjemputnya? atau gmn?
Mmm… ini apa sy yg gagal paham atau gmn nih, mas..
Saya sdikit rancu dg yg ini,
“…Lalu kukayuh becakku kembali ke terminal. Kutinggalkan malaikat itu berdiri sendirian di jalan yang sepi. Semoga ini cuma mimpi. Bagaimana mungkin aku menolak kematian? Kubayangkan malaikat itu kembali pada Tuhan dan berkata kalau aku menolak untuk mati.
“Sesampainya di terminal, ternyata lelaki berjas merah itu sudah tiba lebih dulu. Ia menghampiriku lagi.”
kalimat “Sesampainya di terminal,…” itu yg gmn gtu mas… bukannya si Salem yg berniat pergi ninggalin malaikat itu, Ini otakku yg error atau gmn y? hehe… maaf mas…
Tapi tetep uenakk kok dbca…
Hanifa Badriyanis II
Bapaknya gamau ikut si jas merah, maunya tetep di terminal, makanya dia balik lagi ke terminal.. kayaknya gitu, maaf kalo penjelasannya salah..
Lucky Nurfuahdianty
Bagus banget, speechless. Bingung mau bilang gimana, selalu suka sama cerpen-cerpen yang dikeluarkan basabasi.co
Havidz Antonio
Bagus. Aku suka cerpen-cerpennya Mas Sungging Rasa.
Fiya Gantara
awal-awalnya bikin terharu aku tuuuu…..
Erkira
Ceritanya sangat bagus.. cerita sederhana sarat akan makna. seringkali tidak kita sadari, padahal pak salem adalah orang2 yang seringkali muncul di kehidupan kita. Tapi saya juga pernah mengatakan, “saya sudah dijemput”
Rach
Kenapa saya nggak mrnikmati endingnya ya??
Ervina
Luarbiasa kerenn!