Virus Jalan-Jalan dan Tanggung Jawab yang (Sengaja) Dilupakan

virus jalan-jalan travelling
Gambar koleksi pribadi Ayun Qee

Sebab media telah menjadi kiblat gaya hidup, sontak segala sajiannya menjelma konsumsi masyarakat yang kemudian begitu tangguh memengaruhi gaya hidup. Termasuk dalam hal jalan-jalan. Sebutlah “My Trip My Adventure”, sebuah acara televisi yang muncul di tengah menjamurnya acara epleketek ala remaja-remaja lebayalay dalam sinetron-sinetron percintaan aduhai yang skripnya sama sekali tak layak diterbitkan.

Acara ini gemilang menularkan virus jalan-jalan, bahkan fan base-nya tersebar di berbagai kota. Kausnya? Jangan tanya lagi, bahkan tukang ojek di pasar hingga tukang tambal pun memakainya dengan bangga.

Oke, tulisan ini tidak hendak membahas kaus MTMA—yang entah karena pertimbangan apa kemudian juga disisipkan logo National Geographic—melainkan tentang tren jalan-jalan, khususnya di kalangan anak muda. Ini jelas berita bagus, mengingat para pemuda memang seyogianya bertualang, melihat dunia luar, membuka jiwa dan pikiran, agar tak menjadi katak dalam tempurung atau lalat dalam stoples. Tak usah cemas, sebuah negara tidak akan kekurangan sosok pemimpin jika generasi mudanya sering bertualang ke hutan, gunung, dan lautan, demikian kata Henry Dunant.

Sayangnya, pada sebagian kasus, banyak pemuda baik yang terjangkiti virus jalan-jalan dan bertualang justru menyumbang kerusakan lingkungan. Andai Henry Dunant masih hidup, ia mungkin akan meralat fatwanya.

Terlalu banyak pejalan dan petualang yang bermasa bodoh pada sampah-sampahnya. Adanya tempat-tempat sampah, plus tulisan dilarang membuang sampah sembarangan, hanya dianggap aksesori. Celaka lagi bila seseorang sampai tega berkata, “Kita masuk ke sini bayar, kok, ngapain harus susah-susah bawa sampah, nanti juga ada petugas yang membersihkan. Buang sampah bukan urusan gue, dong!”

Ini belum termasuk perilaku orang-orang yang dengan santainya membuang sampah ke jalanan sambil menyetir motor atau mobil. Mencari adegan demikian sungguhlah jauh lebih mudah ketimbang mencari jodoh. Dalam sebuah perjalanan Jogja–Salatiga, beberapa anak muda berboncengan motor dan membawa carrier berukuran enam puluh liter, lengkap dengan matras dan sepatu tracking, yang dapat dipastikan hendak naik gunung, secara mengejutkan melempar seplastik sampah ke pinggir jalan. Ya Tuhan, jika di jalan raya saja bisa seenak udelnya begitu, apalagi di gunung? Dogma jangan meninggalkan sesuatu selain jejak hanya omong kosong bagi mereka, karena mereka pun meninggalkan sampah.

Lebih mengerikan lagi jika sampah yang mereka tinggalkan adalah puntung rokok yang belum sepenuhnya mati, seperti yang banyak saya temukan di Bukit 2900 Mdpl, Lumajang. Puntung rokok berserakan di antara rerumputan bersama sisa api unggun di sekitar camping ground. Meski bukan satu-satunya penyebab, bagaimanapun, puntung rokok dan api unggun yang tak tuntas mati sangat berpotensi memicu kebakaran hutan. Kita tak bisa pura-pura amnesia pada penyebab kebakaran di Gunung Lawu dan Semeru beberapa waktu lalu yang ditengarai akibat api unggun.

Belum lagi masalah lingkungan yang dipantik urusan cinta dan romantisme. Tebak apa? Tak lain para pendaki-petualang yang memetik edelweis untuk sang kekasih. Lagi-lagi, ungkapan jangan mengambil sesuatu selain gambar hanya isapan jempol. Saya teringat perjalanan pulang ke Jogja dari Solo dengan bus malam. Ada seorang mas-mas yang baru turun dari Gunung Merbabu. Kami sempat ngobrol selama di bus, lalu sejenak ia mengeluarkan kresek hitam berisi edelweis yang masih segar, kemudian memotretnya. Mungkin ia mengirim foto edelweis itu kepada kekasihnya dengan caption romantis bahwa edelweis adalah bunga abadi yang melambangkan keabadian cintanya.

Halah, Le, gombal! Jika menjaga lingkungan saja tidak bisa, bagaimana mungkin kuasa menjaga cinta, menjaga hati kekasihnya? Saya rasanya ingin berkata padanya, jika ingin menunjukkan cinta kepada sang kekasih, akan lebih manis bila mengajak kekasihnya melihat langsung pesona edelweis, bukan membawa turun edelweis.

Tak beda jauh dengan gunung, nasib pantai dan objek wisata lainnya senasab saja. Pantai yang dulu sepi kini mulai dieksplor atas nama petualangan, jelajah alam, tadabbur alam, atau istilah agung lain. Sayang, tak semua orang punya kasadaran untuk tak meninggalkan sampah. Kesadaran berwisata tak diimbangi kesadaran menjaga. Semangat bertualang tak dikawani semangat mencintai alam.

Lalu, yang terbaru dan mengguncang media sosial, fenomena taman bunga amarillys di Patuk, Gunungkidul, Jogja. Setelah foto hamparan amarillys yang mekar di awal musim hujan menyebar di media sosial, orang-orang berarak mendatangi taman bunga milik pribadi itu. Para ABG dan mamah muda bersaing mencurahkan esksitensi di hadapan kamera. Pasukan tongsis merajalela. Dengan semangat mengutamakan moncong monyong artistik pragmatik—meminjam istilah Prie GS—di depan kamera untuk kemudian memamerkannya di media sosial, tanpa merasa durja bunga-bunga yang seharusnya bisa disaksikan keindahannya dalam waktu yang lebih lama itu diinjak-injak.

Jika demikian adanya, masih relevankah fatwa Henry Dunant itu? Bagaimana mungkin pemuda yang tak bisa bertanggung jawab pada sekadar sampahnya kelak dijadikan pemimpin? Bagaimana mungkin pemuda yang tak bisa menjaga lingkungan sahih dipercaya menjaga negeri ini?

Segala sesuatu memang haruslah dimulai dari hal kecil, salah satunya dengan cara bertanggung jawab tidak membuang sampah sesukanya. Sesuatu yang makin (sengaja) dilupakan.

Dari sudut filosofi Jawa, dikenal istilah sedulur tunggal dino kelahiran untuk menyebut segala sesuatu, baik tumbuh-tumbuhan maupun binatang, yang lahir bersamaan dengan kelahiran seorang manusia. Jika setiap orang berpegang pada filosofi ini, niscaya mereka akan seturut dalam menghargai dan menjaga alam demi menyayangi sedulurnya yang lahir di hari yang sama.

Tapi, itu “sekadar” filosofi. Munculnya “anak gaul” yang hobi traveling, bertualang, mengaku pencinta alam, justru lebih sering merusak alam. Saking meluasnya jarahan kelompok ini, di media sosial bahkan beredar luas “komik strip” untuk tidak mengunggah foto tempat wisata agar tidak dirusak mereka. Pada derajat ini, traveling yang seharusnya mampu mengayakan batin dan pikiran, menisbatkan kebijakan dan kedewasaan, sebagai pengalaman berharga yang bahkan tak didapat di bangku sekolah, menjadi sangat sering ambigu. Dalam celoteh Edi AH Iyubenu, traveling yang tidak mendonorkan makna apa pun pada pikiran dan batin hanya akan menyisakan kerugian material, waktu, dan energi.

Lepas dari nilai idealitas traveling sebagai urusan tiap pribadi yang niscaya takkan pernah sejamaah, seyogianya para traveler berkomitmen kuat untuk selalu menjaga alam dan seisinya. Sebab alam seisinya adalah titipan anak-cucu kita dari masa depan. Soal seorang traveler berhasil meraih sesuatu yang memperkaya batin, keberuntungan itu adalah miliknya. Bilapun tidak, cukuplah kerugian materi, waktu, dan energi itu menjadi tanggungan pribadinya.

Yogyakarta, 1 Desember 2015

Ayun Qee
Follow Me

Comments

  1. Nasirullah Sitam Reply

    Hallo mbak Ayun 😀
    Tulisanmu emang bener kok, pengalaman pribadi waktu naik Merbabu, mereka yang terlihat kayak orang sudah senior dalam urusan mendaki malah membuang putung rokok sembarangan dan ikut membuanng sampah pada tumpukan sampah yang terbengkalai di Sabana 1. Padahal seharusnya mereka membawa pulang sampahnya dan menaruh di tempat sampah dekat basecamp 🙁

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!