
Konon, ada sebuah bangsa kecil, sebut saja “Bangsa Dora”. Di dalamnya hidup beberapa kelompok masyarakat yang sangat tenteram. Dari saking tenteramnya, tak terlihat satu pun di hadapan publik bangsa tersebut yang mengeluh, menuntut, meminta, dan tak satu pun ada orang yang merasa perlu untuk demonstrasi.
Mereka sadar bahwa dalam kelompok masyarakat itu haruslah damai, nyaman, dan aman. Mereka hidup harmonis meskipun di dalam kelompok masyarakat yang berbeda-beda itu terdapat dua sosok, “yang mulia” dan “yang bangsat”. Karena saking mulianya, tak ada gambaran tepat yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk mewakili kemuliaannya. Begitu pula “yang bangsat”, tak ada perumpamaan sebanding yang mampu menyamai kebangsatannya.
Meskipun demikian, Bangsa Dora tetap hidup nyaman. Tak terlihat pertikaian antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Tak ada percekcokan yang membuat jiwa melayang. Tak ada rebutan kekuasaan yang membuat bagian-bagiannya tercerai-berai. Saya pun mengira bahwa Bangsa Dora ditata sedemikian rupa, di-design oleh kelompok pemimpin yang genius.
***
Meskipun tak ada gambaran yang pas untuk menghadirkan sosok “yang mulia” dan “yang bangsat” di dalam masyarakat Bangsa Dora, saya ingin meraba-raba sedikit demi sedikit dan pelan-pelan, siapa tahu bisa mengantarkan saudara-saudara semua untuk mempelajari dua sosok masyarakat yang lumayan dominan di Bangsa Dora.
Pertama, Sosok “yang mulia” ini adalah seorang pemimpin salah satu lembaga tinggi Bangsa Dora. Dan semua bangsa-bangsa di dunia ini sudah tahu bahwa Bangsa Dora adalah bangsa yang kaya raya. Bangsa Dora memiliki kekayaan alam yang berlimpah, mulai dari emas, besi, baja, nikel, batu bara, minyak bumi, dan lain sebagainya.
Salah satu pimpinan, Nova—begitulah rakyat-rakyat jelata di Bangsa Dora menyebutnya. Ia murah senyum, pakaiannya bersih, bagus, kepalanya plontos. Jika ada rakyat jelata yang datang ke rumahnya, ia mempersilakan duduk di ruang tamunya. Ia memberi hidangan makanan-makanan yang sama dengan yang dimakan dirinya dan keluarganya.
Rakyat-rakyat jelata pasti menundukkan kepala dan mengangguk, “Terima kasih, yang mulia.” Dan “yang mulia” Nova pasti tersenyum, berdiri tegap, telinganya sedikit mengembang, bahunya naik, dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Heh…heh…heh…. Iya sama-sama.”
Ia memandang ke arah jauh, lalu mengarahkan pandang pada rakyat jelata yang datang. “Ayo, silakan dinikmati. Apa pun yang kalian inginkan, di sini tersedia. Nikmati saja.” Suaranya terdengar seolah-olah berwibawa. Sesekali ia membetulkan kerah bajunya.
Begitulah. Ya, begitulah cara “yang mulia” Nova mempersilahkan rakyat-rakyat yang datang untuk mandi, makan, ngopi, merokok, bahkan Nova menyediakan penginapan yang mewah di rumahnya. Sebagai orang kaya dan salah satu pemimpin tinggi Bangsa Dora, yang mulia Nova memiliki rumah di atas petak tanah berukuran 20 hektar. Rumahnya sangat luas dan besar; terdapat kebun-kebun yang indah; terdapat tanaman bunga-bunga yang wangi; terdapat ruang musik bagi rakyat yang ingin bermain musik; terdapat lampu-lampu yang sangat terang bila malam hari; terdapat jalanan beraspal yang halus dan mulus.
Selain itu, “yang mulia” juga menyediakan tempat khusus bagi para penyair untuk menulis puisi. Tempat khusus bagi para pelukis yang ingin melukis. Tempat khusus bagi para intelektual untuk berdiskusi. Tempat khusus untuk pertunjukan teater. Tentu di masing-masing tempat itu, tersedia kantin gratis dengan menu-menu luar biasa yang jarang dinikmati rakyat jelata.
Sementara di jalan-jalan setapak menuju ruang-ruang yang tersedia, terhampar karpet merah yang di kanan kirinya permadani yang indah. Ia juga memiliki para asisten wanita yang cantiknya tak dapat dimiliki siapa pun. Wanita-wanita cantik itu berdiri di setiap ruang-ruang yang tersedia. Mereka selalu senyum bunga mawar. Setiap orang yang datang bebas pula merayu wanita-wanita pelayan yang ada di rumah “yang mulia” Nova.
Tak pernah tergambar di wajahnya yang bersih ada rasa sedih. Hidupnya seolah-olah selalu dalam kedamaian.
Setiap malam pastilah ramai dengan musik-musik dan pertunjukan. Setiap malam pula banyak orang-orang datang ke rumah “yang mulia”. Jamuan-jamuan berlangsung dengan sangat meriah. Itulah sebabnya, semua rakyat yang datang menganggap “yang mulia” Nova sebagai satu-satunya manusia yang paling mulia di Bangsa Dora.
Bahkan, penyair terkemuka di Bangsa Dora seperti Syekh Maulana Abdul Hamid al-Landepi pernah menulis puisi khusus untuk “yang mulia”, berbunyi:
Matahari telah terbit di bangsa Dora
Cahayanya menelusup ke ruang-ruang jelata
Berbahagialah
Di sini cinta dan bahagia dicipta
Puisi penyair terkemuka ini memang tidak terlalu buruk. Tapi hal ini menunjukkan bahwa “yang mulia” Nova bukan hanya dimuliakan rakyat-rakyat jelata di Bangsa Dora. Ia telah menjadi orang yang sangat dikagumi, disayangi, disenangi, bahkan bisa jadi disembah.
Itulah sebabnya, seluruh rakyat Bangsa Dora selalu beranggapan, apa pun yang dilakukan oleh “yang mulia” Nova selalu benar. Bahkan suatu waktu, ia mengajak seorang wanita rakyat jelata yang amat cantik. Wanita itu diajak ke dalam kamar, disetubuhi berkali-kali hingga pagi. Tidak seorang pun rakyat jelata Bangsa Dora yang memprotes. Sebab rakyat-rakyat jelata yakin, semua tindakan “yang mulia” Nova selalu benar.
Di lain waktu, ketika Bangsa Dora menjalin kerja sama dengan bangsa lain, sebut saja Bangsa Sam. Bangsa Dora bekerja sama dalam persoalan tambang. Nah, secara terang-terangan yang mulai Nova menjadikan kerja sama itu menjadi milik dirinya. Dan tentu rakyat-rakyat jelata tahu, akan tetapi tidak mempersoalkannya, karena apa pun yang dilakukan “yang mulia” pastilah benar.
Rakyat-rakyat jelata sangat kagum dari cara berjalannya yang gagah, kepalanya yang plontos, pakaiannya yang rapi, mimik mukanya yang selalu tampak senyum semangka. Bibirnya yang plintat-plintut, seolah-olah bijaksana-bijaksini, dan ekspresi kemewahan lainnya cukuplah bagi rakyat Bangsa Dora untuk menganggap Nova sebagai “yang mulia”.
Kedua, sosok “yang bangsat” ini kini tidak disukai banyak orang. Hidupnya miskin. Tubuhnya kurus, kerempeng, pipinya ceking, dekil, rambutnya keriting, dan kulitnya hitam. Tentu saja mukanya sangat buruk. Ia hanya hidup bersama dua istri dan empat orang anak.
Ia menjadi satu-satunya “yang lain” di Bangsa Dora. Ia tidak mau ikut-ikutan menjilat pantat “yang mulia”. Dengan bekal ilmu yang ia miliki, ia merasa bahwa rakyat jelata seperti dirinya sedang dikadali oleh “yang mulia” Nova.
Nah, suatu waktu, ia pernah ngengek di sebuah nampan, dicampur kencing, dicampur kecoa, dicampur ludah, dicampur cacing, dicampur tai babi lalu dibungkus plastik. Lalu ia membawa bahan-bahan yang sudah dicampur itu ke dekat rumah “yang mulia” Nova. Ia mengintip di pohon-pohon. Saat itu, yang mulia Nova sedang bersiap menghadiri salah satu pertunjukan di ruang C di rumahnya. Ketika ia dikawal empat orang yang gagah berseragam, di belakangnya ada dua orang wanita cantik.
Ia melemparkan tai yang bercampur segala macam itu ke arah yang mulia Nova. Bungkusan itu mendarat di wajahnya. Lalu “yang bangsat” ini segera lari seperti seorang pencuri. Para pengawal mencari, dari mana arah lemparan itu datang.
Tidak banyak yang tahu peristiwa itu. “yang mulia” berusaha menutupi aib itu sekuat tenaganya. Ia berusaha memaafkan perilaku “yang bangsat” itu atas nama seorang pribadi yang telah mendapatkan stempel “yang mulia”. Para pengawal yang tegap dan gagah terus mencari-cari orang yang melempari.
Si Bona—begitulah “yang bangsat” itu dipanggil. Ia kabur secepat kilat. Tidak ada yang tahu peristiwa ini, kecuali para pengawalnya. “yang mulia” pun memastikan, peristiwa itu dapat dirahasiakan. Sebab bila tercium rakyat, apalagi bangsa-bangsa di dunia, tentu dapat meruntuhkan wibawa Bangsa Dora.
Bukankah perbuatan si Bona itu sudah cukup untuk menjadi bukti bagi semua rakyat Bangsa Dora untuk menyebutnya sebagai “yang bangsat”?
Tidak hanya itu, Bona Dekil yang cerdik dan cerdas itu membuat selebaran, semacam kertas-kertas tempel bertuliskan “Bangsa kita kuat. Bangsa kita kaya. Hentikanlah mencuci otak rakyat jelata agar selalu menjilat pantat Nova brengsek! Kekayaan Bangsa Dora habis dikeruk atas nama pribadi Nova.”
Bona menempelkan pamflet-pamflet itu di dinding rumah warga dan papan-papan pengumuman di desa-desa. Ia menyelusup di lorong-lorong kampung. Sendirian.
Tetapi di pagi hari, kertas-kertas yang ditempel itu telah hilang. Ia curiga, ada orang-orang yang bertugas menjaga tatanan di kampung-kampung yang menyobek kertas itu. Siapa yang melakukannya? Entahlah!
Bona Dekil memilih hidup miskin dan terasing daripada membiarkan dirinya dan keluarganya hidup dalam kondom “yang mulia”. Rakyat jelata di seantero bangsa telah memberi stempel kepada Bona Dekil sebagai “yang bangsat” karena tidak mau diajak bersama-sama bergabung dengan “yang mulia” Nova.
Bagi Bona, hidup sesuai alur pikirannya sendiri lebih nikmat dibanding menjilat pantat “yang mulia”.
***
Saudara, hidup di Bangsa Dora memang memiliki kerumitannya sendiri. Bisa jadi “yang mulia” menjadi yang paling bangsat sepanjang hidupnya karena tindakan-tindakannya. Begitu pula yang menyandang “yang bangsat” sejatinya tindakan-tindakannya bersandar pada ide-ide dan pikiran “yang mulia”.
Substansi kehidupan di Bangsa Dora memang sudah kabur, mana “yang mulia” dan mana “yang bangsat”. Hanya orang-orang yang memiliki hati nurani jernih yang mampu menyimpulkan dengan jelas. Sebagaimana pernah dikatakan oleh tokoh Pendeta Allaby yang sedang bersaksi di pengadilan terkait Ibn Hakkan dalam novel Labirin Impian karya Jorge Luis Borges:
“Ibn Hakkan, menolak duduk di kursi, atau mengucapkan kata-kata ini atau kata-kata semacam ini: tak seorang pun mampu menjatuhkan putusan tentang apa yang kulakukan sekarang. Dosa-dosaku sedemikian rupa sehingga kalaulah aku menyeru Nama Tertinggi Tuhan sampai beratus-ratus tahun lamanya, niscaya itu tak kan bisa sedikit pun meringankan siksaku.
Dosaku sedemikian rupa sehingga kalaulah aku membunuhmu pendeta Allaby, dengan tangan ini, tindakanku itu tak kan menambah sedikit pun siksa yang disiapkan oleh Yang Maha Adil untukku. Akulah Ibn Hakkan al-Bukhari, dan di masa jayaku aku memerintahkan suku-suku padang pasir dengan tangan besi.
Bertahun-tahun dibantu oleh sepupuku Zaid, aku menginjak-injak kehidupan rakyatku hingga akhirnya Tuhan mendengar jerit mereka dan membuat mereka memberontak melawanku. Bala tentaraku kocar-kacir dan banyak yang terbunuh. Aku berhasil melarikan diri bersama harta jarahan yang telah kutimbun selama berkuasa.
Zaid membawaku ke makam manusia suci, di kaki sebuah bukit batu. Kuperintahkan budakku mengawasi muka gurun. Aku dan Zaid masuk membawa peti berisi koin-koin emas dan tidur, karena sangat kecapaian. Malam itu aku seperti mendapati seekor ular meliliti tubuhku. Aku terbangun dalam rasa takut yang hebat. Tetapi di sampingku, di kala fajar, Zaid terbaring lelap; selapis jaring laba-laba yang meliputi tanganku telah membuatku mengimpikan mimpi-mimpi ini.
Agak menyakitkanku bahwa Zaid, yang pengecut itu, dapat tidur dengan nyenyak….”
Yogyakarta, Desember 2015
- Biografi Kesetiaan - 3 April 2016
- Tuhan, Nabi, dan Kesakralan Sebuah Nama - 6 March 2016
- Sajak Buah Pinang; Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin (Madura) - 16 February 2016