Pelajaran Onani Bermartabat dari Sidang MKD

ketua MKD Onani
Sumber gambar konfrontasi.com

“Mas, apa sudah onani hari ini?” Sundari berkirim BBM demikian setiap hari kepada kekasihnya, Trijoko.

“Sudah, Dik….”

“Enak, Mas?”

“Enak, Dik….”

“Lemes, Mas?”

“Lemes, Dik….”

“Besok lagi, ya, Mas?”

“Iya, Dik, enak kok….”

Selain makan gratis dan nyalahin orang lain, hal lain yang amat enak dilakukan ialah onani. Tanya saja sama tangan masing-masing, dengan meniru plesetan saya pada cerpen Gunawan Tri Atmojo itu, Sundari Keranjingan Puisi, sudahkah Anda onani hari ini?

Di derajat yang sama, sidang MKD atas kasus Setya Novanto menjadi uswatun hasanah cara onani paling bermartabat. Paling elite. Tentu karena dilakukan oleh orang elite, dengan sarana prasarana yang pula high-class, rasa enaknya pun berlevel dewa. Bermaqam makrifat!

Saat Anda beronani sembunyi-sembunyi di kamar mandi atau kamar kos, difasilitasi sabun atau lotion atau ludah atau oli bekas, plus foto Duo Serigala di gadget, lalu ngeden dengan suara ditekan-tekan khawatir kedengaran emak atau teman kos, mereka telah fasih beronani dengan (1) penuh bangga, (2) di gedung mewah, (3) pakai fasilitas hadiah rakyat, (4) berpayung undang-undang, dan (5) disuarakan dengan lantang bak pahlawan.

Pada aspek apa pun, Anda yang tak kunjung lelah beronani demi mereguk kenikmatan ragawi, baik karena desakan situasi khas kaum jomblo atau sebagai pilihan ideologis mensyukuri anugerah tangan dari Gusti Allah atau melawan iri dengki pada cacing yang hermafrodit, harus mengakui betapa praktik onanimu selama ini tak ada apa-apanya dibanding ilmu onani para bapak paduka yang mulia itu; para pilihan rakyat yang tentu mewarisi vox populi vox dei; yang dipilih lagi untuk memangku marwah diri sendiri berjuluk Dewan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DK-DPRRI). Para bapak paduka yang mulia ini tiada lain adalah sari pati kita semua, simbol nilai-nilai keadiluhungan kita, puncak Realitas Ultim bangsa ini. Dengan sendirinya, onani mereka adalah manifestasi puncak onani kita. Mereka orgasme, kita lemes. Dor!

Secara etimologis, onani adalah aktivitas seksual untuk memuaskan “barang” diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri. Setamsil filosofi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” warisan Abraham Lincoln. Panggung sidang MKD kali ini juga merupakan bentuk eksplorasi falsafah demokrasi Lincoln yang amat kreatif. Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, yang dengan malu-malu “agar ketimuran” mengaitkan diri dengan prinsip musyawarah-mufakat Pancasila, kendati praktiknya tak kalah liberalnya dibanding demokrasi Barat, onani super-kreatif ini sama sekali tidak melanggar kitab legal-formal mana pun. Karenanya, sidang MKD itu sah sekali. Soal terendus kebusukan di dalamnya, bukankah demokrasi bukan pelajaran agama, tetapi politik? Baiknya, agar tak sakit hati terus-menerus, belajarlah untuk tidak mencampur-aduk dogma demokrasi dengan doktrin agama. Bukankah pilihan demikian merupakan konsekuensi logis atas penolakan kita pada khilafah?

Kita yang pada sakit hati melihat praktik onani para bapak paduka yang mulia itu pastilah hanya sedang alpa untuk menerima onani sebagai Hak Asasi Titit. Kita mendengki sarana prasarana mewah yang mereka dapatkan untuk beronani di hadapan kita yang hanya bisa beronani dengan perangkat ala kadarnya.

Di koordinat ini Fakhri Hamzah tak salah. Sebab ia tak mungkin salah. Bukankah kita tahu ia berasal dari partai yang mengusung doktrin mulia agama? Berani menyalahkan agama jelas adalah sikap yang harus dibasmi dari bumi Indonesia yang religius. Begitupun Fadli Zon, sama sekali tak sahih disalahkan, segembung apa pun pipinya dipamerkan di tipi-tipi untuk membela karib kepentingannya sampai alpa menyitir hafalan lamanya pada puisi Widji Tukul. Ia pun tak pernah salah. Bukankah menyalahkan para nasionalis mengisyaratkan masih merajalelanya ancaman laten komunisme?

Sekarang mari camkan bersama dengan hati dan pikiran tenang—energi ributnya disiapkan untuk menyambut Natal tanggal 25 Desember nanti saja.

Pertama, MKD adalah wadah bentukan para dewan untuk mengadili anggota-anggota dewan yang suatu kelak “disinyalir” bermasalah demi merawat marwah lembaga kedewanan sendiri. Komposisinya disusun berdasar representasi setiap partai yang duduk di kursi-kursi dewan. Ini merupakan manifestasi kebudayaan demokrasi yang amat sempurna untuk disinetronkan: sesuai undang-undang dan karenanya sah-sah-sah. Judul sinetron terbaik di sini ialah “Jelek-jelek Serigala” (JJS).

Lupakan berahi objektivitas di sini. Keadilan apalagi. Tertawakanlah saja, seperti fatwa Milan Kundera, sebab tertawa merupakan cara melawan yang paling bijaksana. Mengharapkan objektivitas pada tangan sendiri yang mengocok titit sendiri dan orgasme sendiri sama utopisnya dengan mengharapkan Setya Novanto mengakui kenakalan anak-anaknya yang gemar dugem dan sesekali berkelahi di Blowfish. Hanya tinggal mimpi; selanjutnya kenangan, yang bila dipikirkan terlalu mendalam hanya akan memicu tumpahan air mata di atas bantal tengik berlogo Real Madrid macam kelakuan Ve dan Dhanica.

Makanya berhentilah menuntut sidang MKD digelar terbuka, sebab yang namanya onani bagaimanapun memang cenderung ditutup-tutupi. Juga jauhkanlah pekik keadilan, sebab keadilan orgasme hanyalah milik sejoli, bukan para pemain tunggal yang dikomandani Agus Mulyadi. Bukankah onani merupakan “cara mengada” untuk memuaskan diri sendiri, ya, Gus?

Menyumpal ekspektasi tinggi kepada tukang onani merupakan cara terbijak untuk tidak menderita kecewa lagi dan lagi. Mari move on saja, sembari mengeksplorasi kepiawaian tangan masing-masing untuk beronani. Siapa tahu kelak ketiban sampur jadi anggota dewan, tho, pengalaman onanimu akan sangat membantu untuk tidak canggung-canggung amat beronani di sono.

Kedua, mafhum semualah bahwa “power tends to corrupt”, sehingga siapa pun yang berjuang untuk berkuasa, duduk di kursi kekuasaan, termasuk kedewanan, khittah-nya memang beraras pada corrupt itu. Ini memang pandangan skeptis, suasana batin capek maha luar biasa akibat keseringan dionaniin dengan cara-cara yang makin bebal sampai pada derajat “kal an’am balhum adhal” (seperti binatang ternak, bahkan lebih dongo lagi). Jika Anda ingin bebal, lalu tangkas berkorupsi, atau setidaknya fasih berbusa-busa membela kawanan yang tertuding korupsi, bergabunglah dengan partai politik, apa pun jubahnya. Lupakan label Islam dan nasionalis di sini, sebab semua itu hanyalah cara men-display dagangan belaka.

Jika kini Anda hanya bisa ngeles lugu saat ketahuan beronani, “Daripada berzina kan mending onani, aku masih kuat menjaga iman daripada mereka yang pacaran,” setelah bergabung dengan partai politik, apa pun jubahnya (catat: apa pun jubahnya), lidah Anda akan fasih secara alamiah untuk menarasikan pledoi setebal 12 halaman bagai cendekiawan, “Yang Mulia, rekaman itu ilegal sebab diperoleh dengan cara melawan hukum, secara sembunyi-sembunyi, tanpa restu saya, sehingga menggunakannya sebagai alat bukti merupakan pelanggaran hukum itu sendiri.”

Argumen ilmiah yang keren sekali, kan? Setamsil, ehmm, pledoi logis bila ketahuan onani, “Matamu itu ilegal, melanggar hukum, sebab mengintip saya beronani tanpa seizin saya. Kembalikan intipan tadi!”

Para begal, maling, penjudi, pemalak, pembalak, penipu, dan lain-lain, teladanilah pelajaran onani bermartabat para bapak paduka yang mulia itu! Kali ini, kalian semua berhak untuk dimintai “izin resmi” dulu sebelum disidang.

Tentu pula, Nikita Mirzani yang digerebek secara “ilegal”.

Jogja, 12 Desember 2015

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!