Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi

update.ahloo.com

Salah satu kisah legendaris tentang Chairil Anwar, tokoh utama Angkatan Sastra 45, ialah kepiawaiannya mencuri buku. Suatu kali, ia mencuri buku filsafat karya Nietzsche dari toko buku terbesar saat itu, Van Dorp, berjudul Also Sprach Zarathustra—kini mudah Anda dapatkan dengan judul terjemahan Sabda Zarathustra. Tentu saja, sebagai pencuri buku yang expert, ia lolos dari toko itu. Ia juga kerap berkunjung ke Perpustakaan USIS (United States Information Services), meminjam buku, dan tak pernah mengembalikannya. Meminjam dan tak mengembalikan merupakan bentuk lain dari pencurian, ya. Sebagian buku hasil curian atau pinjaman yang tak dikembalikan itu “dibeli” oleh Mochtar Lubis.

Untuk aksi-aksi nakalnya ini, Chairil Anwar punya argumen pembenarannya. Katanya, “Bangsa mereka juga merampok kekayaan bangsa kita.”

Kisah menggelikan yang dimuat dalam buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api (2017) itu tentu saja bukan untuk saya bela. Mencuri tentulah tetap mencuri—terlarang. Meminjam buku tanpa mengembalikan juga tetaplah tindakan tidak baik—terlarang.

Tetapi, mari singkirkan dulu kenakalan-kenakalan itu, sebab perkara keburukan-keburukan sejatinya juga tercetak jelas di dalam jiwa-jiwa kita. Kita acap kali semata gunduk-gunduk keburukan yang berkibar di panggung-panggung kehidupan sebagai kebaikan dan kemuliaan. Iya, bukan? Boleh jadi bukan dalam bentuk mencuri buku, tidak mengembalikan buku pinjaman. Boleh jadi nama kita begitu megah, mewah, dan wangi di permukaan, namun di kedalamannya, ada belang-belang, kenistaan, dan aroma bacin yang tersembunyikan. Belum tersingkap. Masih disimpankan oleh Tuhan.

Bukankah manusia, sebagaimana Chairil Anwar, memang begitu adanya, semua kita. Ada angel and demon, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada sabar dan murka, dan lain-lain.

Di atas hal-hal fitrati demikian, lebih berharga bagi kita untuk selalu insaf mempertanyakan satu hal: apa gerangan yang bisa menjadikan saya (bisa) hidup seribu tahun lagi?

Chairil Anwar jelas telah teruji memiliki nama megah yang bertahan sangat lama. Seminimnya, sampai hari ini, namanya terus disebutkan. Dalam pencapaian sastrawi yang dikenang mendalam. Mungkin ia akan benar-benar terus diingat dan disebutkan sampai seribu tahun lagi.

Bagaimana kita?

****

Di dunia ini, ada dua pilihan cara untuk dikenang dalam jangka yang panjang. Satu, meninggalkan dunia dan hiruk-pikuknya. Dua, menceburkan diri ke dalamnya. Lao Tzu mewakili jalan pertama—sebutlah demikian—dan Kong Hu Chu mewakili jalan kedua. Keduanya menggerakkan esensi yang sama: kedalaman batin.

Apa pun jalan yang dipilih, kanan atau kiri, ramai atau sepi, mari ingat selalu esensinya: kedalaman batin.

Chairil Anwar adalah pemilih jalan kedua, dengan sebenar-benarnya “binatang jalang”. Ucapan Ida Nasution yang menolak cinta Chairil Anwar cukup mewakili keadaan itu. “Apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertinya (binatang jalang) dalam arti sesungguhnya?” Ia meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Batavia, dan hidup secara bohemian. Meninggalkan kesunyian kampungnya dan memasuki keramaian ibu kota.

Tak ada yang perlu diperdebatkan soal pilihan sejenis itu—toh, merantau atau urbanisasi bukanlah sikap yang melanggar hukum apa pun, juga moral. Begitupun umpama Chairil Anwar memilih jalan pertama, menjauhi keramaian, menjauhi kampung kelahirannya, dan melarutkan diri dalam kesunyian gunung, hutan, laut, atau ngarai—toh, pilihan sikap demikian pun tak melanggar hukum apa juga, termasuk moral.

Tentu saja, orang kampung yang merantau ke keramaian, ke ibu kota, bukan Chairil Anwar semata. Apalagi sekarang. Tetapi mengapa “hanya” Chairil Anwar yang moncer dalam ingatan sejarah?

Ihwal kedalaman Chairil Anwar yang ditestimonikan oleh Sumirat, salah satu perempuan yang pernah dekat dengannya, kiranya mewakili perjalanan hidup Chairil Anwar. Hal yang membuatku tertarik, kata Sumirat, ialah betapa Chairil Anwar tak terpengaruh oleh keramaian apa pun sekalipun tengah berada di tempat wisata dan khusyuk tenggelam dalam buku tebalnya.

Ternyata, bila direnungkan, perkara kedalaman yang diarungi Chairil Anwar adalah pembebasan diri dari belenggu-belenggu sekelilingnya, dunianya. Kemampuan melepaskan diri dari segala yang membelenggu akan berbanding lurus dengan pencapaian kedalaman itu.

Mari pikirkan, bagaimana caranya supaya Anda yang seorang pekerja kantoran tidak terjebak untuk menjadi robot rutinitas—bukan siklus kerjanya yang salah, tetapi spirit pembebasannyalah yang utama. Bagaimana caranya agar Anda yang berdagang tidak terjungkal dalam bekapan barang-barang dagangan semata—bukan soal buka warung atau tokonya yang salah, tetapi spirit membebaskan diri itulah yang utama. Bagaimana Anda yang berprofesi sebagai penulis tidak membiarkan diri dirantai oleh produksi-produksi karya belaka—bukan pencapaian jumlah karya itu yang salah, melainkan bagaimana membebaskan diri dari aktivitas menulis itu sendiri yang utama.

Dapat diandaikan, tuntutan kedalaman berbaris rapat dengan tuntutan permenungan untuk melakukan sesuatu yang “tidak biasa”. Dalam istilah Michel Foucault, filsuf Prancis, disebut “diskontinuitas” alias patahan episteme.

Episteme, kita tahu, adalah sistem berpikir, sistem beropini, tentang suatu hal. Bila Anda memandang malam, lalu Anda berpikir dan berpendapat bahwa malam adalah masa gelap yang menggantikan siang yang terang untuk kemudian diganti oleh siang yang terang, lalu diganti lagi oleh malam yang gelap, niscaya Anda berada dalam episteme yang biasa saja. Ekstrem, sebutlah episteme orang mati. Tak ada refleksi di situ, nir-kedalaman.

Semuanya beku, jumud, stagnan, ya begitulah adanya. Mau apa lagi?

Andai Anda mencoba untuk memanjangkan malam, melawan kantuk, mengawasi kepekatan, menyimak rerumputan, juga embun-embun yang bertandang, niscaya Anda akan menemukan perubahan episteme yang tidak biasa dalam postur kehidupan Anda. Inilah sumber “tidak biasa”. Inilah langkah untuk mencetak diskontinuitas, “patahan episteme” tadi—berikutnya membentuk sistem berpikir baru.

Memang takkan banyak orang yang berani menembus kejumudannya. Ada begitu banyak perkara yang lazim melilitinya. Seperti comfort zone. Tetapi, dapat dipastikan bahwa ketidakberanian itulah biang dari segala kefanaan; nama yang tak memiliki alasan untuk diingat; nama yang takkan awet bahkan sekadar setahun lagi.

Tentu, memilih jalan demikian tidaklah salah. Biasa saja. Bebas saja. Pun ihwal kedalaman macam apa yang akan diselami, juga bebas saja. Boleh saja ia bersifat sangat personal, dan tentunya ada yang lebih ruah lagi di atasnya, yakni impersonal.

Impersonal, istilah ini memungkinkan kita untuk meletakkan di sini bahwa sesuatu yang abadi itu pastilah melampaui kedirian, kepersonalan. Chairil Anwar sebut saja terejawantah dalam impersonalitas “akulah binatang jalang” atau “sekali berlari sudah itu mati”. Makanya ia abadi, hidup seribu tahun lagi.

Bagaimana dengan kita?

Bebas memilih ke kanan—menceburkan diri dalam keriuhan dunia—atau ke kiri—menjauhi keramaian dunia dan mengakrabi kesunyian; sebutlah demikian istilahnya. Apa pun itu, mari pastikan bahwa kita berjuang untuk melampaui personalitas kita. Bisa dalam impersonalitas sosial—untuk pilihan pertama—atau bisa dalam impersonalitas alam—untuk pilihan kedua.

Kedalaman akan selalu berbaris kelak di level-level demikian.

 

Indramayu, 18 Maret 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!