Edward W. Said dalam bukunya, Orientalisme, memberikan “hiburan” kepada kita—tepatnya kelompok manusia Indonesia yang terus-menerus membiarkan diri dibekap beban-beban klasik poskolonialisme melalui “perlawanan-perlawanan kultural” kepada segala yang datang dari Barat dan Amerika—melalui narasinya: orientalisme adalah segala usaha untuk menguatkan dominasi kepada kelompok-kelompok yang dijajah melalui penggalian-penggalian informasi, keilmuan, karakter, kultur, dan sebagainya. Orientalisme, dengan kata lain, adalah kolonialisme yang bersenjatakan ilmu pengetahuan.
Snouck Hurgronje (1857-1936), yang lahir dari keluarga pendeta Belanda dan kemudian memiliki nama lain, yakni Syekh Abdoel Ghafar, seiring beredarnya kabar bahwa ia masuk Islam di Mekkah, misal, disebut oleh Said, dan banyak pihak lainnya, sebagai semata orientalis yang mendedikasikan ilmu pengetahuan untuk kepentingan-kepentingan kolonial Belanda—khususnya, dalam ranah agama Islam. Walhasil, Hurgronje yang pernah belajar banyak kitab tafsir, seperti Tafsir al-Baidhawi, Tafsif al-Bajuri, Al-Ikna’, hingga Tuhfah, dihujat oleh sebagian besar kita, di sini dan kini.
Di Jazirah Arabia, posisi Hurgronje bisa disejajarkan dengan Thomas Edward Lawrence (1888-1935) yang menjadi “duta Inggris” untuk kepentingan-kepentingan kolonial, khususnya vis-a-vis Dinasti Turki Ustmani, yang kemudian bersekutu dengan klan Saud dari Najd untuk melawan otoritas Turki Ustmani hingga lahirlah Saudi Arabia.
Begitulah gambaran sejarah lahirnya istilah orientalisme, yang kemudian direspons secara head-to-head oleh gerakan Oksidentalisme—kita sangat mengenalnya melalui sosok cendekiawan Mesir bernama Hassan Hanafi. Oksidentalisme, secara sederhana, adalah gerakan paradigmatik untuk kembali kepada tradisi (turast) di hadapan realitas pembaruan-pembaruan yang menyeruak tak terhindarkan (al-hadatsah al-jadidah).
Di kita, dalam konteks sastra, perlawanan estetik dan paradigmatik kepada dominasi kolonialisme dapat dilacak dengan benderang pada Angkatan Sastra 45, yang dikomandani Chairil Anwar. Ketika Chairil Anwar menandaskan, “Bangsa mereka juga merampok kekayaan bangsa kita!” untuk membenarkan sikapnya mencuri buku dari toko buku terbesar saat itu, Van Dorp, dan Perpustakaan USIS (United States Information Services), dapatlah hal tersebut dijadikan perlawanan terhadap kolonialisme. Melalui sajak-sajaknya, misal “Antara Karawang Bekasi”, paradigma perlawanannya memperlihatkan kedalaman yang luar biasa.
Saya tiba-tiba teringat Milan Kundera!
Sastrawan besar Ceko ini pernah menyatakan betapa ia menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk mengoreksi banyak buku terjemahan atas karya-karyanya. Ia membeli buku-bukunya yang diterjemahkan di banyak negara. Ia resah, bagaimana bisa karyanya yang ditulis dalam konteks Ceko diterjemahkan ke dalam bahasa Amerika Latin oleh orang yang tak paham bahasa dan konteks Ceko, dengan menjadikan buku terjemahan dari bahasa Prancis sebagai sumbernya?
Kegelisahan Kundera ini tentu sangat beralasan jika mengorelasikannya dengan “kontesktualitas” yang niscaya sublim dalam diri setiap pengarang dan karyanya. Jika Anda membaca Siti Nurbaja, misal, dan pernah mendaki gunung Padang yang didongengkan menyimpan kuburan Siti Nurbaja—saya pernah mendakinya di dekat kota Padang kini bersama Yetti A.KA., Tia Setiadi, dan Reza Nufa—dapat dipastikan bahwa Siti Nurbaja adalah sepenuh-penuhnya konteks-konteks Padang (bukan sekadar sebuah roman atau novel fiksi), yang jelas takkan mampu diwadahi konteks-konteks Prancis, Inggris, ataupun Belanda. Situasi ini setara dengan konteks-konteks konflik Aceh bertahun silam yang muskil disapih dari novel-novel Arafat Nur yang kerap meletupkan “ungkapan-ungkapan sarkas tak terduga” macam Lampuki, Surga Tanah Merah, dan Seumpama Matahari. Pada risalah “konteks yang melekat” ini, Kundera berbeda dengan Roland Barthes yang menarasikan pengarang telah mati ketika karyanya dibaca orang lain atau publik.
Sampai di sini, saya ingin menegaskan satu hal terkait beban klasik poskolonialisme dalam khazanah teks sastra kontemporer kita: beban-beban sejarah kolonialisme itu memang konteks kita, tetapi bagaimana cara kita melawan deraan poskolonialisme di hadapan khazanah literatur Barat dan Amerika sebagai simbol kaum kolonialis yang notabene malang-melintang di hadapan cakrawala susastra kita; apakah kita memilih untuk pure kembali ke tradisi kita belaka dengan mengabaikan eskalasi sastra dunia (tepatnya, kaum kolonialis), dengan risiko besar kita akan menjadi “lalat dalam toples kaca”; ataukah kita mendesak untuk membuka diri pada sastra dunia, belajar darinya, dan membangun peta baru pada apa yang kita sebut tradisi?
Eskperimental yang Membebek Barat
Ungkapan-ungkapan heorik-negasi kepada khazanah Barat di masa kini untuk membuat kepala kita menegak sama tingginya dengan sastra Barat niscaya bertali-temali dengan perjuangan merehabilitasi mental bangsa poskolonial. Ini tentu suatu usaha yang positif untuk menebas sisa-sisa rasa minder, inlander, dan keterbelakangan khas kaum terjajah.
Tetapi perkaranya ternyata melebar bukan hanya pada bidang menegakkan kepala tersebut. Sepaham benar saya bahwa tidak ada alasan logis bagi setiap kita untuk memberhalakan Barat sebagai “puncak peradaban”. Barat, di dalamnya tercakup Amerika tentu saja, adalah keping-keping peradaban yang tersusun dari keping-keping peradaban selainnya dan sekaligus menyimpan berbagai perilaku yang jauh dari keadaban.
Simaklah Donald Trump yang berkali-kali melontarkan tweet yang amat hegemonik kepada Korea Utara, Tiongkok, dan Iran, misal. Seorang presiden, dari negeri adidaya, bagaimana mungkin kita maklumi “pernyataan-pernyataan kolonialistiknya” yang jelas tak beradab itu?
Kita tidak bisa menoleransi kenyataan tersebut sebagai “Trump personal”, bukan cerminan peradaban luhung Amerika. Dan, bagaimanapun, mau Barat dan Amerika, menyimpan nilai-nilai yang tidak beradab demikian—Anda tentu masih ingat bagaimana Charlie Hebdo mengolok-olok Nabi Muhammad Saw. atas nama kebebasan dan demokrasi, bukan?
Saya cukup cemas bahwa gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan untuk melawan beban-beban poskolonialisme itu tak lebih dari sekadar arogansi kepada peradaban-peradaban lain, karya-karya sastra lain, yang akhirnya hanya akan menjebak kita pada “ketertutupan literer” di satu sisi dan “kepongahan introver” di sisi lain.
Mari bayangkan.
Jika kita menolak membaca Milan Kundera, Leo Tolstoy, Franz Kafka, Toni Morisson, Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Bertrand Russell, Umberto Eco, Guy de Maupassant, Oscar Wilde, Carlos Fuentes, George Orwell, Marx Twain, Octavio Paz, Paulo Coelho, hingga Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez, atas nama menggali galur-galur kekayaan tak tepermanai tradisi sendiri atau antipati kebak kebencian terhadap segala khazanah kaum (mantan) imperialis, kita sejatinya menampik kesejatian wacana, yang kata Michel Foucault, sebagai “dalam budaya kita dan niscaya dalam budaya-budaya lainnya pula, wacana bukanlah suatu hal, produk, atau barang yang orisinal.”
Wacana sebagai sebuah wellstanchauung yang lahir dari mekanisme dialektika sudah pasti tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri; ia membutuhkan kaki-kaki lain, bahkan yang sangat jauh, agar menderaskan rinai-rinai paradigma, epistemologi, yang terus bergerak dinamis-progresif. Mematikan kesejatian wacana yang demikian, umpama dengan cara menampik khazanah sastra dari berbagai belahan dunia lainnya, sejamaah dengan usaha membekap diri dalam kevakuman dan akhirnya (kembali) ketertinggalan. Dus, mencampakkan khazanah teks sastra bangsa-bangsa lain, termasuk dari kaum (mantan) kolonial, sama sekali bukanlah paradigma yang sehat bagi dinamika peradaban kita sendiri, teks mutakhir sastra kita sendiri.
Tidak lantas kita (perlu) terseret inferioritas memang pada khazanah sastra lokal kita. Ini bukan sesuatu yang biner dan bipolar. Ini jauh berbeda dengan stigma dangkal; jika saya menyukai warna hitam, otomatis saya membenci warna putih dan merah.
Membaca karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, AA. Navis, Hamka, Danarto, Hamsad Rangkuti, Budi Darma, YB. Mangunwijaya, hingga Seno Gumira Ajidarma dan Eka Kurniawan, misal, juga tidak lantas berisiko mendorong kita alergi kepada karya-karya sastrawan Eropa dan Amerika, bukan? Begitupun sebaliknya, membaca karya sastra Jorge Luis Borges dan Gabriel Garcia Marquez tidak sontak berisiko menjungkalkan kita pada penghambaan Realisme Magis, bukan?
Maka, dikotomi Barat dan Timur di masa kini sungguhlah tidak relevan lagi. Merasukkan kesumat-kesumat poskolonialisme dengan cara-cara ideologis—misal menolak membaca dan menyerap karya-karya sastra Barat—juga bukanlah pilihan cerdik untuk memajukan kesusastraan kita.
Yang mendesak untuk kita eksplorasi kini sejatinya adalah kesejatian wacana itu tadi: suatu interaksi, diskusi, dialog, atau integrasi antarkhazanah (fusion of horizons) dalam olahan-olahan epistemoloigis yang produktif. Bukan membebek ataupun memalingkan muka.
Pada konteks perlunya kita terus bergerak memajukan postur teks sastra kita, tak terhindarkan bagi kita untuk menempuh mekanisme dialektika tersebut. Selalu saja, dan selalu saja, karya sastra apa pun niscaya lahir dari “jagat epistemologis” yang mencacah-cacah “jagat ontologis”—kita lantas menuangkannya dalam bentuk-bentuk teks sebagai “jagat aksiologisnya”. Dapat dipastikan karenanya bahwa suatu dinamika teks hanya akan terlahir dari suatu dinamika epistemologis itu. Epistemologi yang mandek, beku, dan jumud dengan sendirinya meniscayakan produksi teks yang pula mandek, beku, dan jumud. Dan, kita tahu, sangat tahu, segala sesuatu yang mandek, beku, dan jumud lambat laun akan kedaluwarsa, ahistoris, dan tak sanggup bersuara apa-apa kepada angin-angin yang berlalu-lalang tanpa batas antara Timur ke Barat.
Sudah tentu kita mesti keluar rumah untuk merasakan lalu-lintas udara-udara itu; ada yang sepoi-sepoi, semilir, tandas, dan bahkan badai. Semua itu adalah cara “udara kita” untuk bergerak, bergerak, dan bergerak. Dan, ini tercermin dengan sangat mendasar pada apa yang lazim kita sebut “eksperimentasi” atau “eksperimental”.
Pada mekanisme dialektika literatur dan wacana, sebagai sumber dinamika “jagat epistemologis” dalam menerawang “jagat ontologis”, eksperimentasi-eksperimentasi menjadi sangat tak terhindarkan untuk digerakkan. Meski, peluang untuk menjadi martir selalu terbuka lebih lebar daripada kesempatan untuk menjadi pahlawan.
Tapi, tenang saja. Segala perubahan, dinamika, dan progresivitas, sebagaimana telah dituturkan sejarah dunia, selalu diawali oleh kemartiran. Tengoklah sejarah Nabi Muhammad Saw., misal. Beliau menjadi martir di hadapan kaum Quraisy yang mandek, beku, dan jumud. Di ranah sastra, niscaya pula berlaku hal-hal demikian.
Blandongan, Jogja, 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019