Cangkul: Pesan dan “Kemakmuran”

Lelaki cakep sedang mesem. Caping di atas kepala. Cangkul (pacul) ada di pundak. Ia tak mengenakan baju. Ia pasti petani! Di belakang, tampak gambar gunung, jalan, sawah, sungai, dan pohon. Ia tentu petani di Indonesia yang sudah terlalu lama mengaku menjadi negeri agraris. Kita jangan tergesa berimajinasi kemakmuran dan kebahagiaan di kalangan petani. Kerja bersawah itu melelahkan dan berisiko. Sakit bagi petani itu menghalangi kerja. Sakit perlu obat. Nah, gambar itu berjudul besar: Balsem Tjap Matjan (Kadjawen 9 September 1941). Pesan bagi petani: “Sengadja di keloearkan dalam blik ketjil boeat orang jang penghasilan sedikit dapat menjemboehkan sakit oerat-oerat, rheumatiek, kepala poesing dan sebagainja.”

Petani itu berarti “orang jang penghasilan sedikit”. Petani “terlarang” makmur? Obat khusus bagi petani diadakan agar selalu waras dan rajin pergi ke sawah. Kita lekas ingat buku berjudul Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (1981) oleh James S Scott. Buku mendebarkan saat dibaca tanpa bab khusus membahas cangkul. Sejak dulu, cangkul mungkin belum terlalu penting bercerita petani, negara, modernitas, kapitalisme, religiositas, dan pemberontakan. Di Indonesia, cangkul-cangkul memiliki cerita panjang, derita dan perlawanan petani tercatat di sejarah meski belum jua menjadi tema terpenting.

Pada 2006, terbit buku berjudul Perkembangan Pertanian di Indonesia oleh Jan HM Oudejans. Di sampul buku terbitan UGM, gambar cangkul ditampilkan sebagai simbol pertanian. Pada abad XXI, cangkul tetap saja bercerita pertanian meski sudah digunakan para petani selama ratusan tahun di pelbagai negeri. Semula, cangkul itu alat, sebelum mendapatkan pemaknaan tambahan dalam tata hidup kaum petani dan penguasa. Cangkul mungkin tak seheboh sabit (arit) saat sering terpilih menjadi simbol gerakan politik atau kekuasaan.

Cangkul di pundak petani malah sering mewartakan kemiskinan, kepasrahan, kesetiaan, dan kerja keras. Adegan petani mencangkul tanah semakin memastikan ada kemauan hidup, memuliakan alam, dan mengimpikan kemakmuran. Cangkul berurusan dengan tanah, keringat, dan kekuatan raga. Pada cangkul, petani menjalankan peradaban berusia ribuan tahun, bermula dari keputusan manusia hidup menetap dan mengolah tanah dalam pengadaan pangan.

* * *

Kita mengenang juga cangkul dalam perkara-perkara pendidikan dan literasi. Pada masa 1930-an, Soetan Sanif Rajin menulis buku-buku bertema pertanian. Buku terus cetak ulang sampai akhir 1940-an. Buku berisi cerita dan pelajaran bagi murid agar mau bertani meski sedang dijajah atau sedang mengalami revolusi. Gambar di sampul buku khas: petani mencangkul dan petani membajak sawah. Mereka belum berkenalan dengan traktor. Buku berjudul Harta Benda jang Terpendam (1947) memberi warisan imajinasi bahwa cangkul atau adegan mencangkul bercerita mimpi orang-orang Indonesia mau makmur.

Pemberian imajinasi berbeda disajikan Djaja Baja, 24 November 1968. Tahun-tahun setelah malapetakan berdarah dan memberi salah ke petani, cangkul dimunculkan berpesan literasi. Petani sedang istirahat. Cangkul ditaruh di depan. Ia sedang membaca. Petani Indonesia itu membaca! Pesan terpenting dalam bahasa Jawa: “Patjul bakal kethul jen ora dienggo matjul. Mangkono ngapikir, ajo tansah diasah sarana mematja.” Keren! Pada masa 1960-an, iklan itu anggaplah mendidik dan cerdas ketimbang berita-berita politik bermuslihat.

Pada Djaja Baja edisi 8 September 1968, pembaca majalah berbahasa Jawa itu telah pula diberi pesan mujarab dari redaksi: “Ora bakal pinter matjul, jen ora ngulinake matjul. Semono uga: ora bakal pinter matja jen ora ngulinake matja.” Iklan-iklan itu masih ada di tumpukan majalah lama, menunggu dihidupkan lagi. Bertani itu berliterasi.

* * *

Di Indonesia, cangkul pernah bercerita derita panjang dalam lakon tanam paksa sampai pemberontakan kaum petani. Penguasa kolonial memaksa petani mencangkul untuk lapar dan nestapa. Hasil pertanian tak pernah dimiliki akibat nalar penguasa kolonial. Pajak tanah semakin memperpanjang sengsara. Pada cangkul, petani melihat kerja dan kekuasaan tak pernah berbarengan memberi cerita kemakmuran dan kebahagiaan. Cangkul pada masa kolonial menjadi simbol kekalahan tapi membuktikan kaum petani berani melawan berisiko penjara atau mati.

Cerita besar itu sempat “dihilangkan” dengan kemunculan gambar-gambar Nusantara berupa tampilan gunung, sawah, petani, cangkul, kerbau, dan sungai. Gambar itu molek, muslihat atas derita petani. Di mata orang-orang Eropa, gambar-gambar petani sedang mencangkul atau menanam padi dipandang dalam pengertian turis, mengabaikan kuasa kolonial dan penciptaan kemiskinan kolosal. Muslihat naratif juga diumumkan di buku-buku pelajaran susunan para guru atau sarjana Belanda untuk pengajaran di sekolah-sekolah pada abad XIX dan XX. Buku lazim bercerita pertanian. Gambar-gambar di buku sering menampilkan petani bercangkul atau cangkul ditaruh di rumah. Konon, gambar-gambar itu mengesahkan tanah jajahan beradab agraris, tak usah berpikiran melakoni “kemadjoean”.

Keberakhiran kolonialisme dijadikan dalih Soekarno memberi makna berbeda pada cangkul. Pada 1 Januari 1961, peristiwa akbar berlangsung di Indonesia bersimbol cangkul. Hari itu awal pelaksanaan Pembangunan Semesta Nasional Berencana tahap pertama, 1961-1969. Muhammad Yamin selaku Ketua Dewan Perantjang Nasional berkata: “Maka, ajunan patjul pertama oleh Pengandjur Besar bersama-sama dengan wakil rakjat seluruhnja adalah satu lambang jang sangat luhur, jaitu perbuatan progresif-revolusioner jang memperhubungkan tjita-tjita proklamasi dan revolusi dengan Ibu-Pertiwi Indonesia tempat pembangunan jang akan dilaksanakan dengan bantuan dan tenaga rakjat seluruhnja.” Pidato itu berlangsung di Jakarta, berlatar di kota industri. Urusan pacul atau cangkul tak melulu harus di sawah, kebun, dan ladang.

Sejak masa 1920-an, Yamin mahir mengadakan simbol atau melakukan pemaknaan atas simbol-simbol berlumuran sejarah meski kadang imajinatif, tak bersumber ke data-data sejarah. Ia memang pujangga keranjingan menuliskan sejarah berdalih semaian nasionalisme di Indonesia. Cangkul pun jadi benda dan simbol bercerita kekuasaan, sejak ratusan tahun. Di hadapan para pejabat dan ratusan orang, Yamin bercerita: “650 tahun jang lalu, Pengandjur Besar, dalam perjuangan menegakkan negara Keprabuan Modjopahit mengajunkan patjul pertama didesa Teruk membentuk masjarakat dan negara Keprabuan Modjopahit. Maka berdirilah negara dan masjarakat Modjopahit itu, 232 tahun lamanja, oleh karena itu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia pada waktu itu.” Pendengar kata-kata Yamin mungkin terbuai sejarah atau malah menumpuk ragu atas pemaknaan berlebihan dan puitis akibat Yamin sering tenggelam di kesusastraan.

Cangkul dari ratusan tahun silam dianggap sama dengan pacul masa revolusi untuk mencipta adil dan makmur di Indonesia. Narasi puitis ditambahi penjelasan konstitusional. Pacul atau cangkul semakin meresap dalam pengisahan Indonesia saat ingin tampil sebagai negara maju dan bernapas industrial. Penjelasan Yamin: “Pekerdjaan ajunan patjul pertama ini dapat dilaksankan atas garis-garis besar jang telah ditetapkan oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat, jang baru sadja berhasil menetapkannja dalam Ketetapan No I dan II Tahun 1960.” Pacul ada dalam tata cara berbangsa-bernegara untuk mewujudkan cita-cita termaktub di UUD 1945. Yamin telah berhasil meninggikan makna cangkul, tak mutlak berkaitan petani dan sawah. Di Jakarta, cangkul atau menggerakkan cangkul berurusan pembangunan gedung, stadion, dan hotel. Bangunan-bangunan itu ditugasi menceritakan Indonesia (telah) maju di tatapan mata dunia.

Chaerul Saleh selaku Ketua MPRS memberikan informasi bahwa cangkul dalam peresmian Pembangunan Semesta Nasional Berencana dianggap “asli” Indonesia. Cangkul itu berasal dari Cibatu, Jawa Barat. Cangkul dimaknai revolusioner, kepribadian, dan kemajuan. Pesan Chaerul Saleh pada jutaan orang Indonesia: “Ajunan tjangkul ini akan diikuti setjara simbolik oleh seluruh rakjat Indonesia sebagai pelaksanaan daripada ketetapan-ketetapan MPRS jang telah mengambil dengan segala ketangkasan, dengan segala semangat revolusioner…” Kita mengandaikan pada peristiwa puluhan tahun silam, ribuan mata melihat cangkul dengan takjub. Mereka memegang cangkul sambil mengucap janji-janji revolusi. Mereka mencangkul impian, mencangkul untuk masa depan Indonesia. Adegan simbolis itu diniatkan “menaikkan taraf hidup rakjat” dan memenuhi “Amanat Penderitaan Rakjat.” Cangkul pun harus asli buatan Indonesia, bukan cangkul bermerek asing atau berasal dari negara-negara kapitalis-imperialis.

Dua tokoh telah membesarkan makna cangkul. Sejarah cangkul mendapat imbuhan-imbuhan penjelasan berselera revolusioner, berbeda pengisahan dari masa kolonial atau warisan cerita di buku-buku pelajaran. Cangkul menampik arti kemiskinan, sengsara, kelaparan, dan pemberontakan. Pada masa revolusi, cangkul dipilih sebagai simbol revolusi dan kepribadian Indonesia. Cangkul tak selalu berlumpur kepedihan dan memicu tetesan keringat duka. Pada masa 1960-an, jutaan orang Indonesia bercangkul untuk maju. Mereka diharapkan mengikuti pemaknaan cangkul oleh elite di Jakarta, bersumber dari kitab-kitab sejarah dan konstitusi.

Peristiwa Soekarno atau Pemimpin Besar Revolusi menggerakkan cangkul demi Pembangunan Semesta Nasional Berencana berlangsung di tempat bersejarah, Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Soekarno membuat ungkapan: Pegangsaan Timur itu “bumi jang keramat”. Cangkul ada di bumi keramat, digerakkan dan diceritakan bertaburan imajinasi keramat bercampur impian revolusioner. Keramat diartikan pernah menjadi tempat penting di tahun 1945, tempat bagi “djiwa berkonar-kobar untuk kemerdekaan.” Keramat memerlukan doa. Soekarno berkata sebelum menggerakkan cangkul: “… perbuatan ini diikuti, bahkan disertai, doa dari pada seluruh rakjat Indonesia, dari Sabang ke Merauke.” Kita mengira peristiwa itu teater ketimbang acara resmi bercap kenegaraan. Soekarno sedang memanggungkan teater keramat-revolusioner bersimbol cangkul.

Soekarno di akhir pidato enggan meniru pengisahan cangkul dan sejarah Majapahit seperti Yamin atau memaksa cangkul bergelimang makna revolusi seperti Chaerul Saleh. Soekarno justru fasih mengucap kalimat-kalimat sakral, menempatkan cangkul dalam narasi ritual kekuasaan: “Ja, Allah, ja, Rabbi, berkatilah usaha kami pembangunan semesta berentjana agar supaja masjarakat adil dan makmur sebagai jang termaksud didalam Amanat Penderitaan Rakjat terlaksana, agar supaja kami bangsa Indonesia terlepas daripada segala penindasan, daripada segala penghisapan, agar supaja kami bangsa Indonesia hidup bahagia didalam negara jang telah diamanatkan oleh Engkau jaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia… “ Doa ditutup dengan amin. Soekarno pun memimpin orang-orang mencangkul tanah untuk mendirikan Gedung Pola. Ia mencangkul tanah tak bermasud bertani di sawah tapi menceritakan Indonesia di Jakarta melalui pendirian gedung megah.

* * *

Peristiwa awal 1961 berbeda dengan peristiwa di Rengasdengklok, Karawang, 13 Oktober 1961. Di hadapan para petani, Soekarno berpidato dalam acara Pentjangkulan Pertama Musim Penanaman Padi 1961. Pidato dalam acara itu dibukukan Departemen Penerangan dengan judul sama. Acara secara resmi dinamai Operasi Gerakan Makmur. Pada waktu dan tempat berbeda, Soekarno tak mengulangi pidato di Jakarta awal 1961. Di hadapan petani, ia memilih menggunakan bahasa dan bercerita tak seheboh di Jakarta. Acara tetap berurusan cangkul. Di Rengasdengklok, cangkul bercerita petani menggarap sawah. Petani tak membangun gedung di sawah, tapi menanam padi untuk menjawab lapar dan menumpas sengsara.

Seruan Soekarno pada para petani: “Kalau kita lapar kita harus mempunjai beras, agar supaja kita masak itu beras mendjadi makanan dan kita makan. Nah, hilanglah kita punja lapar! Tetapi, sekali lagi, Bapak peringatkan kepadamu, beras inti tidak bisa begitu sadja djatuh dari langit! Tidak bisa!” Para petani dianjurkan bekerja dan sanggup berselaras dengan alam. Bekerja mencangkul di sawah bakal menghasilkan pangan. Lapar mendapat jawaban. Makmur mungkin diciptakan. Kerja itu beralat cangkul. Pengertian cangkul dalam pidato Soekarno sesuai lakon petani, tak semuluk metafora cangkul di Jakarta.

Soekarno memberi restu bagi kaum petani menunaikan Operasi Gerakan Makmur. Petani dengan cangkul diminta bekerja tanpa lelah dan putus asa. Mereka bekerja untuk mengubah nasib Indonesia. Soekarno malah mengutip Al Quran agar petani semakin mengerti bahwa mencangkul tanah atau menanam padi di sawah sesuai perintah Tuhan. Mereka mendapat berkat Tuhan jika rajin dan tabah. Restu Soekarno bagi para petani pun diacukan ke 17 Agustus 1945, bermaksud memberi arti bertani adalah “perdjoangan jang sehebat-hebatnja agar supaja apa jang kita perdjoangkan itu bisa mendjadi kenjataan.” Petani ada di alur revolusioner.

Upacara bercangkul pada masa 1960-an mirip sandiwara kekuasaan atau sandiwara bergelimang imajinasi agraris, sebelum mendapat ralat dari penguasa berasal dari keluarga petani. Pembuat ralat itu bernama Soeharto. Ralat berlangsung mengacu ke biografi. Soeharto mengisahkan bapak sebagai petani di Kemusuk: “Pak Kerto orangnya sederhana dan selalu berpakaian adat Jawa, memakai kain panjang dan blangkon. Ia tidak memiliki sebidang tanah pun. Sawah yang dikerjakannya seluas kurang dari satu hektar diperdapatnya dari pemerintah selama ia menjabat sebagai ulu-ulu, pegawai desa yang ditugaskan mengurus pembagian air dan pengairan sawah. Pak Kerto tak mampu membeli kerbau, karena itu ia mengerjakan sawah itu dengan menggunakan pacul” (OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, 1990). Sang bapak mengerjakan sawah dengan pacul (cangkul) tanpa keluhan. Cangkul itu menandai kemiskinan atau kemauan kerja keras demi menghasilkan pangan bagi keluarga.

Pada masa Orde Baru bermantra pembangunan, Soeharto memilih sabit (arit) ketimbang cangkul. Pada masa 1960-an, Soekarno memilih cangkul dalam memajukan Indonesia di kota dan menggerakkan impian kemakmuran di desa-desa. Soeharto tak mau meniru. Sabit dipilih dalam adegan panen, berbeda dengan adegan Soekarno bercangkul di babak awal penggarapan sawah. Foto paling khas Orde Baru sejak 1984 adalah Soeharto bersama Ibu Tien Soeharti turun ke sawah untuk panen padi. Adegan tangan memegang sabit dan padi menjadi adegan kekuasaan di hadapan ribuan orang. Foto atau siaran di televisi semakin mengukuhkan Soeharto adalah penentu swasembada pangan alias kemakmuran di Indonesia. Peran itu dianggap melampaui peran Soekarno, puluhan tahun silam. Sabit digunakan untuk memanen tampak bertuah kekuasaan ketimbang pacul mengolah tanah sebelum penanaman padi. Cangkul dibiarkan menjadi simbol atau cerita bertaut ke Soekarno. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!