Pembaca harian umum Solopos (29 Oktober 2018) boleh tergoda untuk lekas berjalan di atas jembatan belum rampung dibangun. Foto besar di halaman depan memang ingin memberitahukan ke pembaca bakal ada jembatan berpamrih pariwisata. Foto berukuran besar dan berwarna memuat keterangan: “Warga menikmati matahari terbenam di Jembatan Kaca Tirtonadi di Kali Anyar, Banjarsari, Solo, Minggu (28/10/2018).” Jembatan diadakan “untuk menunjang wisata air di Kota Solo.” Kaum muda bergiranglah bakal mendapatkan tempat terindah untuk melihat matahari terbenam dan memotret diri demi pembuatan album kenangan sepanjang masa! Bersabarlah menanti pembangunan jembatan itu selesai!
Pembaca sudah mesem meski belum berada di atas Jembatan Kaca. Mesem berarti ingin turut mengalami kehadiran di situ atau penasaran melihat matahari terbenam dengan raga berada di atas sungai. Jembatan membuat mesem gara-gara tak mutlak difungsingkan sebagai tempat orang melintasi dua tempat terpisah sungai. Jembatan sudah dicap bermisi pariwisata, bukan jembatan dilintasi bus, truk, atau mobil di urusan perdagangan atau distribusi pelbagai komoditas menunjang pertumbuhan ekonomi di Solo.
Solo bakal memiliki jembatan bagi penciptaan asmara terindah terekam di foto, puisi, lagu, atau gambar. Kaum muda bakal bersaing memberi makna atau bermufakat di atas Jembatan Kaca membuat roman besar asmara. Mereka berhak mengawetkan diri dan peristiwa. Jembatan diinginkan menguatkan memori bertahan puluhan tahun. Memori itu mungkin sulit bersaing dengan warisan Gesang, tokoh keroncong sepanjang masa. Dulu, ia mencipta lagu berjudul Jembatan Merah, lagu masih sering disenandungkan sampai sekarang. Ia tak pernah menggubah lagu dijuduli Jembatan Kaca bagi kaum muda di Solo.
* * *
Seniman, jembatan, dan asmara diingatkan di majalah Dewi edisi 13-26 Desember 1982. Pada 1953, rombongan sandiwara Bintang Soerrabaja pentas di Solo. Gesang, seniman keroncong sudah tenar dengan lagu Si Piatoe (1938), Roda Doenia (1939), dan Bengawan Solo (1940) mau turut bergabung dalam aerial pentas ke pelbagai kota. Fred Young, pimpinan Bintang Soerabaja, menantang Gesang membuat lagu mengenai Jembatan Merah. Jembatan berada di Surabaya. Gesang belum pernah melihat Jembatan Merah. Dolan ke Surabaya saja belum pernah.
Gesang mau meladeni tantangan. Ia pun diajak ke Surabaya. Dolan berpamrih menggubah lagu. Gesang mengenang: “Suatu pagi, setelah malamnya kota ini diguyur hujan deras, saya naik beca ke Jembatan Merah. Dan, ya ampun, jembatan itu ternyata biasa saja. Bentuknya sedikit melengkung serta dilapisi meni, hingga warnanya kemerah-merahan. Sungguh jauh dari yang saya bayangkan.” Gesang ingin memenuhi janji meski tanpa takjub. Gesang pun “larut” dalam suasana Jembatan Merah. Pengalaman itu selalu bertaut ke pujian pada Bengawan Solo. Sungai mengalir di bawah Jembatan Merah masih belum memberi pikat agar muncul imajinasi asmara.
Ia telanjur berjanji ke Fred Young. Lagu asmara sudah dinantikan untuk pentas sandiwara Bintang Soerabaja ke pelbagai kota. “Karenanya saya terpaksa merangkum-rangkumnya dengan kenangan masa lalu saya, walaupun kejadiannya pasti bukan Jembatan Merah,” pengakuan Gesang. Ia melakukan tipu-muslihat agar lagu tercipta dan memberi girang ke pemesan. Ia bergerak dari Solo menuju Surabaya. Kehadiran dua kali ke Jembatan Merah dipaksa menghasilkan satu lagu. Jadilah lagu berjudul sederhana: Jembatan Merah. Lagu berisi kenangan dan imajinasi asmara Gesang: Djembatan Merah soenggoeh indah/ berpagar gedoeng raja/ Sepandjang hari jang melintasi/ silih berganti// mengenang soesah hati patah/ ingat zaman berpisah/ Kekasih pergi sehingga kini/ beloem kembali// Biar Djembatan Merah/ andainja patah/ akoe poen bersoempah// Akan koenanti/ dia disini/ bertemoe lagi. Lirik itu mungkin sudah dianggap puitis, terhindar dari kecanduan lirik “djiwa manis indoeng disajang.” Candu pernah mewabah di industri musik keroncong di tanah jajahan masa 1930-an. Lagu itu berterima bagi para pengenang Jembatan Merah dan pemilik cerita asmara bersedih.
Lagu terus dilantunkan sampai abad XXI, menghormati sejarah dan kesenimanan Gesang. Pada masa berbeda, lagu Jembatan Merah pernah ditempeli pesan kepahlawanan dalam peristiwa 10 November 1945. Gesang malah tak pernah berpikiran lagu disuasanakan revolusi. Ia tetap menganggap lagu itu percintaan. Lagu digubah tokoh besar tapi bersahaja. Ia tetap memilih menjadikan Solo adalah ruang seni dan berharapan lagu-lagu adalah memori bersama berkaitan Bengawan Solo, Jembatan Merah, Tirtonadi, dan lain-lain. Kini, kita menanti seniman berbeda mungkin mau menggubah lagu berjudul Jembatah Kaca. Lagu bisa mendapat pujian para pejabat dan tepuk tangan dari ribuan pengunjung bakal bergantian melintasi Jembatan Kaca.
* * *
Adegan terjadi di Solo, puluhan lalu. Orang-orang mungkin sudah lupa. Foto dan berita bertema jembatan di Banjarsari di Solopos sengaja diajukan untuk membuka kenangan masih tercatat di majalah-majalah lawas. Kita membuka majalah Alfatch edisi 25 Mei 1941, majalah terbitan Moehammadijah (Taman Poestaka Soerakarta) dengan “pengemoedi” atau pemimpin redaksi bernama Soerono Wirohardjono. Di halaman 11-12, tulisan bergelimang sindiran oleh Lamdahoer berjudul “Djoeroeg”. Bacaan lucu dan dokumentatif. “Apa? Djoeroeg? Apa arti Djoeroeg tentoe pembatja kepala posing mentjari dalam woordenboek akan arti kalimat ‘Djoeroeg’, itoe bahasa apa? Memang ‘Djoeroeg’ tidak terdapat dalam woordenboek bahasa-bahasa diseloeroeh doenia, karena itoe boekan logat, melainkan nama seboeah djembatan jang terletak didoesoen jang bernama ‘Djoeroeg’. Sangat terkenal di Solo!,” keterangan Lamdahoer.
Pembukaan belum ditaburi kata-kata bermaksud ngece. Pada alinea kedua, Lamdahoer mulai ngece bahwa “orang Solo gemar anoet garoebjoeg”. Bukti terbesar adalah melu-melu melihat atau mengalami ada di keramaian pelbagai acara gratisan di Sriwedari. Orang-orang suka di keramaian alias menjadi umat-kerumunan. Lamdahoer menulis: “Kalau di Sriwedari kebetoelan diadakan malam gratis, djangan tanja berapa banjaknja penonton! Boekan sidjembel sadja jang memerloekan datang, sampai ndoro-ndoro dan ndari-ndari (pemoeda-pemoedi) jang termasoek klas pertengahan hadir poela!” Keramaian demi keramaian di Sriwedari semakin menguatkan pengecean bahwa orang-orang Solo itu nggumunan dan kecanduan pelesiran.
Situasi itu terbaca oleh “bangsawan Sala dari architectuur” untuk membuat keramaian di Djoeroeg (Jurug). Orang-orang abai dengan Sungai Bengawan Solo, belum memiliki keinginan pelesiran melihat sungai dan alam sekitar. Sungai cuma teringat saat padusan menjelang Ramadan. Juirug harus berubah menjadi tempat elok! Di mata bangsawan itu “djembatan djalan raja Solo-Madioen jang djoega berdampingan dengan djembatan kereta api S.S. letaknja didekat Paloer sebelah barat, jaitoe didesa Djoeroeg 4 km dari kota Solo” menjadi tempat disulap menjadi indah, memenuhi nafsu pelesiran dan keramaian bagi warga Solo.
Kita mengandaikan nalar mengubah tempat di pinggiran Sungai Bengawan Solo dan mengartikan jembatan untuk orang melihat pemandangan mendahului pikiran-pikiran orang-orang di abad XXI menjadikan segala tempat bercap wisata berpatokan kamera. Dulu, tempat di situ dikenal “angker bin berhantoe” dan dekat dengan pekuburan Tionghoa. Misi mengubah ingin memusnahkan anggapan angker.
Lamdahoer menjelaskan ke pembaca: “Tetapi karena tempat disitoe telah dipilih oleh sang ‘uitvinder’ dari Rijk Soerakarta (Karti Pradja), maka kesampaianlah ‘hoetan’ disana ditebang, semak beloekar dihanjoetkan kesoengai, tanah diratakan, jang melandai ditinggikan, jang mendoengkoel direndahkan. Ratoesan koeli-koeli bekerdja giat memperbaiki tempat disana, disepandjang tepi soengai itoe.” Pekerjaan berlangsung sekian bulan, memerlukan ongkos f 50.000. Misi besar demi pembuatan taman di Jurug.
Tempat di sekitar jembatan itu berubah menjadi taman. Indah! Orang berdiri di jembatan bisa melihat taman sambil nggumun meski belum memiliki kamera untuk berpotret. Jembatan itu semakin ramai dilintasi orang-orang dari pelbagai desa dan kota. Mereka ingin membuktikan ada taman dan jembatan sebagai tempat pelesiran baru, berambisi mengalahkan Sriwedari, Partinituin, dan Tawangmangu. Di tulisan Lamdahoer, peresmian itu berlangsung pada November 1940. Jembatan mendapat arti baru, tak melulu tempat orang melintasi dengan pelbagai alat transportasi. Jembatan menjadi penanda dari keinginan orang-orang pelesiran, mencipta keramaian, memuaskan selera hiburan, dan menuntaskan nggumunan.
Di bagian akhir, Lamdahoer menguatkan maksud mengece dengan kata-kata pilihan demi menjaga kesopanan terselubung: “Demikianlah riwajat djembatan Djoeroeg jang romantis itoe, djembatan jang dahoeloenja sangat singoep, angker, berhantoe, banjak mambang dan peri berkeliaran! Sekaran ini telah bertoekar mendjadi taman penglipoer lara, dimana kala malam hari banjak hantoe dan peri berkaki doea berkeliaran!” Tulisan dari masa lalu memang ngece tapi mengantar sejarah meski tak ditulis lengkap dan disempurnakan dengan puluhan foto. Di Solo, jembatan dan taman pernah menjadi tempat terindah. Kaum muda ingin berpacaran di sana. Kaum tua ingin melihat segala hal indah sebelum mati. Bocah-bocah bergirang dengan berlarian dan memandang sungai terkenal sepanjang masa.
* * *
Berita dan cerita jembatan di Solo tak cuma Jurug. Setahun, sebelum Lamdahoer mengece orang-orang Solo, pembaca sudah disuguhi foto dan berita kecil mengenai jembatan di Sangkrah (Solo). Di majalah Kadjawen edisi 16 Januari 1940 memuat foto mengenai jembatan. Foto hitam-putih mengingatkan ritual dan kerja politis dalam pembangunan jembatan di Solo. Di foto, mata kita melihat para pejabat kolonial didampingi elite Kasunanan dan Mangkunegaran. Mereka berbusana resmi dan necis dalam acara politis: peresmian jembatan di Sangkrah, Solo. Keterangan di bawah foto: “Sampoen sawatawis dinten teteg ing lepen Sangkrah salebetipoen kita Soerakarta kabikak. Ing kala pambikakipoen waoe, Ingkang Sinoehoen sakalijan GKR Pakoe Boewana, toewan Goepernoer KJA Orie sakalijan KGPAA Mangkoenagara sakalijan GKR Timoer andjoemenengi.” Acara itu megah. Rangkaian bunga menghiasi jembatan. Janur melengkung pun terdapat di atas jembatan.
Foto itu masa lalu. Kita masih sempat mengartikan ada ejawantah kekuasaan di jembatan. Elite atau penguasa menjadi pihak paling otoritatif dalam mengadakan jembatan demi pelbagai dalih di Solo, kota bernuansa Jawa dan modern. Pada masa 1940-an, upacara pembukaan menghadirkan elite politik kolonial dan pribumi menggunakan simbol-simbol campuran Eropa-Jawa: mengesankan harmoni politis. Barangkali kaum elite ingin mengumumkan ke orang-orang tentang kebaikan mereka dalam meladeni dan membahagiakan penduduk saat lakon penjajahan belum berakhir. Jembatan itu modern, khas dengan bahan-bahan dan rancangan Eropa. Kemodernan digenapi upacara Jawa bermaksud memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian pada Tuhan.
Paduan Eropa-Jawa itu sambungan dari kebiasaan orang-orang di Jawa membuat tata aturan mengenai jembatan. Pada hari-hari pilihan, orang biasa memberi sesaji atau menabur air-bunga di jembatan. Tindakan itu menjelaskan pandangan batin atas jembatan, menghubungkan sini dan sana. Di atas sungai, orang-orang melintas untuk sampai dan lancar, berharap selamat dan terhindar dari mala. Di atas jembatan, raga dan batin mesti santun. Keinsafan atas “penghuni” jembatan masih memberi peringatan agar berlaku wajar, menjauhi sembrono dan angkuh. Pengertian mistik terkandung di jembatan meski perlahan digoda dengan nalar politik, ekonomi, militer, dan asmara.
Dua jembatan diberitakan di dua majalah sudah almarhum mengingatkan kita pada pemberian makna jembatan. Jembatan di Jurug dan Sangkrah memang tak lolos dari nalar-imajinasi kekuasaan. Di Jurug, jembatan sudah dimaknai untuk pelesiran, berbeda dengan fungsi jembatan di Sangkrah melalui kerja dan upacara politis. Pelesiran, keramaian, dan berpotret di Jembatan Kaca itu penting agar Solo dipastikan semakin moncer memanjakan ribuan orang berpredikat turis gampang nggumun. Kita terlarang ngece seperti Lamdahoer! Segala hal itu anggaplah wajar, tak perlu pula jadi polemik sengit. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022