Fatwa MUI dan Isi Kutang BPJS

Fatwa haram MUI untuk BPJS
Sumber gambar: metrotvnews.com

“Sebaiknya kita mengedepankan isi, karena isi lebih penting daripada bungkusnya, contohnya BH.” (Gus Dur)

Anekdot ciamik khas Gus Dur itu terjadi tahun 2001, di Jeddah, Arab Saudi, di sebuah forum pertemuan para pemimpin negara Islam. Saat itu sedang berkecamuk polemik panas antara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi dan Presiden Pervez Musharaf dari Palestina. Syeikh Hamad al-Thani, Presiden Qatar, hanya kuasa geleng-geleng. Sampai Gus Dur membuat ngakak semua orang.

Tentu saja Gus Dur tidak sedang melawak bak komedian bodoh dengan main pornografi. Gus Dur yang humoris paham betul cara memilih password yang dicintai oleh seluruh lelaki di dunia, sembari menancapkan pesan moral: “isi lebih penting daripada kulit”;  setamsil isi BH alias kutang yang sangat penting bagi kehidupan, to. Tepatnya, kehidupan bayi dan lelaki.

 Di depan tivi, saya berkhayal; andai Gus Dur masih hidup, lalu MUI mengeluarkan fatwa-ribut-nasional BPJS yang dinyatakan tidak sesuai Syari’ah Islam, boleh jadi Gus Dur akan mengulangi anekdot BH itu. Atau, mungkin pula Gus Dur akan melancarkan anekdot lain yang memuat pesan moral sejenis, seperti “minyak babi cap onta”.

Saya tak mengenal sosok-sosok di balik MUI yang dinisbatkan “ulama”, selain Din Syamsuddin yang saya hormati. Sepengamatan saya, MUI ini kan hanya jagoan fatwa-fatwa minor nyaris nggak penting banget untuk kebesaran bangsa ini, seperti goyang dangdut. Apa yang saya rindukan sejak dulu kepada MUI tak pernah dipersembahkan: memfatwa kafir para koruptor!

Lha ini malah sibuk sama BPJS yang gimanapun sering menyebalkannya, ia notabene menyalakan unggun harapan kesehatan dan masa depan hidup berkualitas bagi masyarakat kecil kita. Betul bahwa BPJS masih berlepotan sehingga harus dibenahi; dari proses pendaftaran yang idiih banget, rumah sakit-rumah sakit BPJS yang sering semena-mena, dan kualitas pelayanan medisnya yang bermutu rendah. Itu semua sudah pasti PR besar BPJS dan pemerintah.

Ada tiga poin kekurangsyar’ian BPJS menurut fatwa MUI, yakni mengandung unsur gharar (penipuan), maisir (perjudian), dan riba. Gharar disebabkan akad BPJS dinilai tidak terbuka; maisir sebab mengandaikan adanya gambling antara menikmati fasilitas BPJS jika sakit dan tidak jika sehat; dan riba sebab ada denda 2% untuk keterlambatan pembayaran, plus 6.25% untuk operasional. Plus bla-bla-bla lainnya.

Secara substantif, jika dicermati, gaya akad BPJS tak jauh beda dengan gaya akad asuransi dan kredit. Sulit bagi calon nasabah untuk membaca berhelai-helai surat kontrak (akad) yang font-nya sebesar semut. Lazimnya, semua nasabah lalu memilih mencukupkan diri dengan meminta informasi pokok-pokoknya saja, lantas bersepakat. Sudah.

Jika yang dimaksud MUI dengan gharar adalah kondisi demikian, lha ke mana aja panjenengan-panjenengan selama ini kok ndak ngaramin akad asuransi dan kredit? Kan ya ndak mungkin ndak tahu, to.

Atau umpama memang ada klausul BPJS yang menzhalimi masyarakat, akan lebih elok bila klausul-kalusul bermasalah itu dikritisi untuk dilakukan revisi, bukan diharamkan. Kalau ada kawanan ulat di pohon mangga, ya ulatnya yang diberesin, bukan pohonnya yang ditebang. Eh, iya, ding, MUI tidak bilang BPJS haram kok, sekadar tidak sesuai syari’ah. Iya. Serupa ucapan: “Saya ini ngejomblo bukan nggak laku, tapi sekadar tak dapat pasangan saja.” Eh, gimana?

Lalu, unsur maisir alias gambling untung-untungan sejatinya ya ndak beda sama asuransi kendaraan bermotor, misal. Persis! Pertanyaannya jelas sama; panjenengan-panjenengan ke mana saja to selama ini?

 Untuk aspek riba, saya tak tahu di mana letaknya. Jika definisi riba yang dimaksud MUI adalah “membiakkan uang”, sebagaimana fiqh salaf, bukankah bank-bank selama ini juga demikian, termasuk yang berlabel syari’ah, to? Bukankah di kalangan ulama fiqh tetap ikhtilaf?

Ehm, gini. Dalam sistem kerja sama yang pure fiqh lama, dikenal mudharabah. Alias bagi hasil. Jika sistem ini harus dijalankan sedetailnya biar steril dari gharar, selalu transparan, maka menjadi kewajiban mutlak pada semua bank, termasuk bank syari’ah, untuk memberikan laporan terinci setiap bulan tentang pengoperasian dana yang disimpan masyarakat. Tasharruf-ya. Ini cara lawas yang sepenuhnya berhati-hati level super tinggi. Dijamin syar’i.

Pertanyaannya, bisa nggak menerapkan laporan-laporan terperinci ini setiap bulannya? Termasuk kepada nasabah yang menabung 200 ribu, misal. Wajib, lho. Kan gawe angel to ini. MUI sukanya mah gitu, bikin sulit hal yang sudah lazim, atas nama menghindari gharar.

Saya pergi ke sebuah mall, membeli roti, kopi, dan air mineral. Perlukah saya dan kasir Starbuck berakad terbuka-tekstual begini biar tak ada gharar di antara kita?

“Saya beli roti, kopi, dan air mineral, berapakah?”

“Roti 15.000, kopi 22.000, dan air mineral 7.000. Setujukah?”

“Iya, setuju.”

Alhamdulillah. Akad kita sesuai syari’ah. Starbuck selalu syar’i.”

Lha kok selo banget jadi orang? Mikirin soal status jomblo yang mendera diri bertahun-tahun sudah bikin peang, kok disuruh hidup tekstual lagi biar syar’i, jauh dari potensi gharar.

Tabarru’. Ini lho prinsip pokok dari semua sistem kerja sama, termasuk bank, asuransi, kredit, dan BPJS. Tabarru’ adalah prinsip kerelaan (dalam ayat al-Qur’an disebut ‘an taradhin, saling ridha) antarpihak yang berakad. La tadhlimun wala tudhlamun. Dalam konteks BPJS, masyarakat yang berduyun-duyun itu tentu saja sudah tahu kewajiban dan kemanfaatan dari program BPJS. Jadi sungguh tak perlu lagi untuk memberikan penjelasan lisan to lisan kepada setiap calon nasabah BPJS, kecuali yang dipertanyakan. Sekali lagi, titik tekannya, semua peserta BPJS diasumsikan sudah tahu kewajiban dan kemanfaatannya.

Soal lalu dana BPJS dioperasikan untuk apa, ya biarkan itu urusan pihak BPJS dan pemerintah sebagai ulil amri kita. Masak iya tiap peserta BPJS harus diberi laporan detail. Itu mekanisme yang ndakik-ndakik; mengesankan syari’ah harus selalu berwajah Abad Pertengahan, padahal kini sudah era wajah Zuckerberg.

Semoga para simbah MUI sepaham selalu bahwa isi BH jauh lebih penting daripada BH, sekalipun bermerek Victoria Secret. Mau dilabeli BH syari’ah, jika dipasang ke dada saya, ndak bakal bikin makter sebab ndak ada isi “susu yang susuable”. Buat apa coba susu yang ndak susuable?

Eh, ini tentang MUI dan BPJS, ding, bukan BH atau isinya. Apalagi jatah preman.

Jogja, 1 Agustus 2015

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Rizqi Shaomi Reply

    MUI lebih pintar dari penulis goblok macam Anda. Menggunakan akal untuk perkara agama itu tidak boleh. Riba itu haram sudah jelas. Judi itu haram sudah jelas.

    • Avifah Ve Reply

      waw, ada “goblok” segala. ayo balas pake artikel juga dong, Mas/Pak! biar lebih mantap lagi “gobloknya”. hehehehhee

      • Muara Ibrahim Husein Reply

        Ini saya setuju, balas argumen dengan argumen, bukan dengan cercaan tak berdasar.

    • Jaa DP. Reply

      Siapa bilang menggunakan akal untuk perkara agama itu tidak boleh.
      Ada perkara-perkara dalam agama yang sudah “dari sononya” jelas hukumnya dan ada yang harus dipikirkan dengan logika

      Jangan taklid buta. Sempit pikiran. Wawasan luas dong !!!

      Allah justru mengajarkan saudara untuk terus berilmu dan berpengetahuan.

      Buat apa coba??

      Orang-orang seperti anda yang akan membuat Islam tidak bisa diterima dengan kepala dan hati terbuka

      Orang-orang seperti anda yang akan membuat image Islam di mata agama lain terkesan kuno dan tidak relevan dengan perkembangan zaman

      Berpikirlah, Bung Rizqi Shaomi

      Tak ada untung Allah memberi anda kepala jikalau anda tidak pakai dengan semestinya

      Haddeh…
      Semangat terus pak Edi

      • Muara Ibrahim Husein Reply

        Nah ini juga saya suka. Cuman saran saya jangan pakai kata ‘buta’ sama ‘kepala’ itu. Hehehe. Kita juga tahu kalau menyindir dengan nada yang ‘sakit’ itu tidak dianjurkan. Salam.

    • Muara Ibrahim Husein Reply

      Cerna dulu atuh Mr. Rizqi – yang saya yakin Anda orang baik dan ingin kebaikan tersebar untuk semua umat manusia – jangan main ‘sruduk’ kayak gini. Kalo Anda tidak suka jangan begini caranya. Lebih baik ‘walk out’ saja seperti Demokrat saat sidang tahun lalu.

  2. EDI AH IYUBENU Reply

    Iya. Saya goblok. Maafkan saya ya, Pak….

  3. Aminudin Reply

    *Mantuk2
    Meski kadang saya pilih kulit/wadah darpada isi. Terutama di bagian perut. 🙂

Leave a Reply to Muara Ibrahim Husein Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!