Dasawarsa
Sepuluh tahun, angin waktu terus bermukim. Mungkin tentang kisah dari rahimmu. Hari-hari bergetah, setiap kali perjumpaan mata kita, pelukan yang berpalung atau sekadar percakapan sederhana. Ombak airmata acap bermukim. Lidah amarahku yang membeku dalam tangismu, cintaku. Sebab hidup memang gaduh. Namun keluh tak perlu memanjang di pangkal lidah. Selat ucap yang kadang gagal kutafsir dengan riang. Tapi aku selalu kembali padamu. Di rengkuh tubuhmu, yang selalu kukayuh. Sementara matahari akan terus menyinari punggung anak-anak kita. Aku cuma ingin engkau bahagia. Merendam segala sedih, dan melupakan setiap cakap yang basi.
Sepuluh tahun. Izinkan aku tetap melingkar di lengkung tubuhmu. Dan ruangan kamar akan tetap berbinar. Memancar dari setiap hasrat yang hangat.
Bahkan ketika aku terpuruk, mengayuh segala derita. Aku takluk padamu. Melintasi langkah tubuh yang sekarat, semaput. Aku kembali padamu. Menjadi lelaki lagi. Merayakan asmara, bukan sekadar di getah bibir. Juga memungut setiap gemetar yang melebar. Mencuri setiap percakapan atau sunyi ciuman.
Rina, rebahlah selalu di dadaku. Agar sunyi itu tak meledak. Sepuluh tahun. Aku menghitung renyai debar juga kelakar yang tak kunjung selesai.
Sepuluh tahun. Aku akan terus menuntunmu.
Tangerang, Juli 2015
Di Masjid Agung Palembang
kita duduk sejajar. engkau mengeja doa. di luar, panas cuaca dan langkah. bergelung bersama ayat-ayat yang kerap membelah dada. ruangan yang lengang. hilir mudik langkah. suara air dan gema azan. gulungan bayangan membusuk di kepala.
kita duduk sejajar. dengan pikiran yang acap melingkar. barangkali sekadar mengingat sejumput riwayat tentang para nabi dan wali. di sebuah sudut, ada benang cahaya namun gagal kauhampiri. meski engkau terus mencecap mantra berulang kali.
kita duduk sejajar. sebagai makmum yang terlambat datang. mengejar langkah azan.
Palembang, 2015
Cuka Musi
berapa banyak asam di deru airmu. lengang hujan yang pernah merapat di kedalaman lintasan kapal. menjauhi segala kepal emosi yang lama tanak di dada para anak kecil. candu kerupuk yang remuk dihantam karat jembatan ampera. seperti luka kerap menyatu dalam ampas rindu.
kini aku melangkah lagi. menjauhi cekung relung sungaimu. dan musi acap lebar, menyisakan segala debar. saat singgah dan menatapnya di kejauhan kota.
Palembang, 2015
Rukuk
Dalam rukukku, dunia memang selalu tumbuh di depan. Lalu-lalang perdu acap memanjang. Potret manusia kalah yang kelak ditimbun tanah. Saat itu, gelombang diri terus lepas, memasuki percakapan tentang masalalu.
Maka aku gali setiap lumpur diri. Menyeka kerumunan hari yang memadat. Betapa banyak ilalang yang tak sempat disemai. Mungkin hanya remah doa yang bisa menjemputnya. Memanjat sisa langkah, supaya tak ada lubang hitam yang semakin dalam.
Dalam rukukku, betapa hari hanya ampas sunyi. Yang ingin kurengkuh, namun sekejap luluh dan lumpuh.
Edelweis, 2015
Hari yang Lewat Tanpa Ayah
Betapa cepat, hari yang lewat tanpa Ayah. Hanya getar takbir yang menelikung. Tak berujung. Dan tak bisa kuselesaikan sisa ingatan. Menyibak masa kanak yang terus mengelupas di kepala. Lalu percakapan jatuh. Tubuhmu, Ayah terasa menjauh. Tak tertempuh.
Selebihnya, aku ingin kembali di pundakmu. Dalam setiap gendongan yang pernah kaupangku. Berkisah hujan memanjang.
Ayah, jika kota kembali sibuk; berapa banyak hari yang terlintas dan lepas. Dan aku percaya; jika engkau selalu menjagaku. Sebelum hari-hari lain berkerumun dan mengulum.
Hari yang lewat. Hati yang kerap berkarat. Ayah, bolehkah kupinjam waktumu sebentar saja di sorga?
Edelweis, 2015
- Sajak-Sajak Alexander Robert Nainggolan; Meja Kantin - 8 May 2018
- Membaca Kembali Prosa Kita - 28 April 2016
- Hari yang Lewat Tanpa Ayah; Puisi Alex R. Nainggolan - 3 November 2015