
“Apa yang sudah terjadi tidak lebih karena sesuatu yang tidak pernah diajarkan.”
Sete Gibernau
25 Oktober 2015, di Sepang, Malaysia, udara benar-benar gahar telak. Keringat mengucuri sekujur tubuh, mengiringi pekik-pekik penonton MotoGP di tribune, menahan degup jantung menyaksikan duel sengit Rossi dan Marc Marquez. Pada setiap sliding dan latest breaking yang mereka lakukan, takeover di setiap tikungan, silih-berganti, lengkingan wooowww…, aduuh…, yahhh…, dan sejenisnya silih bergemuruh, termasuk dari mulut saya.
Lalu pada lap ketujuh, tumpahlah Marquez mencium aspal. Sebuah gerakan kecil dari kaki kiri VR46 terlihat. Saya bersorak, kami menjerit girang, melambaikan topi VR46, bersama ribuan penonton. Warna kuning berkibaran di segenap penjuru Sepang. Bangga benar di kali ketiga ke Sepang ini saya menjadi saksi hidup Rossi sukses (kembali) menaklukkan Marquez.
Rasain lo, Marquez, anak kecil belagu banget, songong bener, kualat, lah! Begitu kira-kira gemuruh di dada kami merayakan tumbangnya Marquez.
Hingga pada lap yang entah keberapa, layar raksasa di depan kami memutar ulang adegan takeover Rossi yang mengakhiri perlawanan Marquez tadi. Tiba-tiba saya mendengus. Byuuhh! Ya Tuhan, ternyata jatuhnya Marquez akibat tendangan maut Rossi. Alamakjang….
Sejak saat itulah, saya dan ribuan penyembah Rossi jadi lemes. Pasti akan ada sanksi dari race director, Mike Webb. Itu balapan kotor, haram, aksi yang sangat bid’ah dhalalah, tidak patut dilakukan oleh rider mana pun, apalagi sekaliber VR46 yang amat tuanku. Sebrengsek apa pun memang si cethol Marquez memprovokasi Rossi.
Benarlah, Rossi dikenai penalti 3 poin, plus 1 poin sebelumnya, genaplah jadi 4 poin. Menurut Undang-Undang dan KUHP MotoGP, pembalap yang kena penalti 4 poin, harus start dari urutan buncit di race berikutnya. Di Valencia.
Matilah awak, punahlah harapan Rossi jadi juara MotoGP tahun ini; menggenapi juaranya yang ke-10 sepanjang kariernya.
Badan kami kian gerah menyaksikan si mollon Jorge Lorenzo bahagiaaa betul mendapatkan anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk menyabet juara tahun ini semudah ngentut gitu; dengan mulut nyinyir lagi. Begitu rajin dan tekunnya si mollon satu ini komentar ke sana-sini bagai orang kelaparan cinta (macam Agus Mulyadi saja, sih) seputar insiden itu; mulai “hukuman penalti 3 poin terlalu ringan, harusnya lebih berat lagi, dinolkan poinnya dari posisi finish nomor 3” (atau, dengan kata lain, otomatiskan sajalah saya yang juara dunia, ya, ya, ya…), hingga “hilanglah rasa hormat banyak orang pada Rossi sejak kejadian menjijikkan ini”, dan jempolnya diarahkan ke bawah berkali-kali saat Rossi menerima piala di podium.
Si mollon nyinyir ini lupa betul untuk sekali saja menyinggung keterlibatan Marquez dalam insiden itu; sosok yang pernah dinyinyirinya pula gara-gara disalip di sebuah race di bawah hujan di lap tikungan terakhir tahun 2014 lalu. Lorenzo pun silap atas nasihatnya pada Marquez di tahun lalu bahwa gaya balap Marquez sangat membahayakan rider lain; sebagaimana ia mungkin lupa nyinyirannya pada almarhum Marco Simoncelli kala menyalip Pedrosa dari posisi luar di sebuah tikungan ke kiri di sirkuit Le Mans Prancis di tahun 2011 dan menyebabkan Pedrosa crash; juga nyinyirannya pada helmnya sendiri saat dipecundangi Petruci, si pembalap rookie, di Silverstone, Inggris, Agustus lalu yang bilang tidak takut jatuh akibat membalap kencang di bawah hujan tetapi sangat khawatir dinyinyirin Lorenzo jika menyalipnya. Dasar mollon!
Pertanyaannya, benarkah Rossi menendang Marquez di Sepang?
Jawabannya: TIDAK!
Saya termasuk orang yang mujur karena bisa melihat langsung berbagai angle video insiden itu secara langsung dari seorang reporter di Sepang. Yang terjadi adalah Rossi memepet Marquez di tikungan tajam itu, melambatkan motornya, sehingga posisi Marquez terjebak dalam dua pilihan: menjauhkan motornya ke kiri dengan risiko bisa jatuh ke gravel atau tetap di posisinya dengan risiko motornya akan bergerak ke kanan, ke arah Rossi, sebab itu trek yang miring menikung.
Marquez mengambil opsi kedua, tapi ia bergerak terlalu ekstrem, sehingga kepalanya menyentuh dengkul kiri Rossi, lalu diikuti oleh stangnya. Kaki Rossi pun terlepas dari footstep dibebani motor Marquez yang setara 157 kilogram. Dengkul kiri Rossi refleks bergerak ke luar, menepiskan beban itu. Jika tidak, ia bisa seturut jatuh. Jadi, itu adalah gerakan dengkul yang menolak beban Marquez; bukan gerakan kaki menjejak ke luar.
Jatuhlah Marquez!
Sebab insiden ini perlu detail tinggi dan utuh untuk mengetahui peristiwa yang sebenarnya, dan tentu saja tak banyaklah yang bisa mengaksesnya, seperti biasalah lalu mulut-mulut nyinyir macam mollon Lorenzo berkibar di mana-mana. Anda juga begitu, kan? Tak terkecuali berbagai situs yang sok-sokan melihat langsung insiden itu, memberitakannya dengan nyebahi demi aktualitas, walaupun isinya sesat! Situs malasbanget.com, misal, dengan kriuk menyebut Rossi sebagai salah satu atlet yang bertindak kotor karena menendang Marquez. Byuh!
Tapi, oh ya, saya nyaris lupa, tenang sajalah, wong banyak temannya ya yang sama-sama sesat opini dan share. Bukankah tak masalah tho masuk neraka karena ngomong dan ngeshare sesat asalkan berjamaah? Apalagi bakal ditemani Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy, yang selo banget ikut ngecam bengis Rossi. Juga Casey Stoner. Dan, pastinya, si mollon Lorenzo.
Ya, ya, berdasar regulasi, Mike Webb tidak salah saat mempenalti Rossi 3 poin sebagai sangsi atas “mengendara tidak bertanggung jawab”. Itu tugasnya sebagai pamong MotoGP. Rossi dinyatakan bersalah bukan karena tendangan maut, dan Webb tak pernah membenarkan adanya tendangan itu, melainkan karena memepet Marquez hingga berada posisi bahaya crash. Giacomo Agostini, legenda hidup MotoGP yang meraih juara dunia sebanyak 15 kali dalam berbagai kelas premier, seturut membenarkan penyimpulan resmi Webb.
Tentu saja, jika mau melihat secara utuh insiden tersebut, jangan lupakan peran Marquez. Data-data kecepatan motor Marquez membuktikan bahwa ia sengaja “main-main” sama Rossi; dengan kata lain, berusaha menghambat Rossi meraih juara dunianya dengan memuluskan laju mollon Lorenzo.
Rata-rata kecepatan motor Marquez di Sepang adalah 2 menit 0,818 detik per lap. Lalu, di lap ketiga, saat “memberi jalan” pada mollon Lorenzo, kecepatannya tiba-tiba anjlok jadi 2 menit 2,003 detik. Ingatlah, mana ada selama ini Marquez sebegitu mudahnya disalip oleh mollon Lorenzo selain di Sepang kemarin?
Lalu terjadilah duel ketat dengan VR46. Kecepatan Marquez di aksi saling takeover ini bahkan anjlok sampai 2 menit 2,107 detik. Itu artinya, Marquez sengaja melambatkan motornya jika sedang mengasapi Rossi, untuk menahan laju Rossi. Jika Rossi memimpin, Marquez serentak melaju cepat untuk melakukan takeover. Lalu melambat lagi, dan seterusnya. Inilah penyebab gap terus melebar antara Rossi dan mollon Lorenzo.
Inilah provokasi itu, inilah kebusukan sportivitas itu, yang data empirisnya takkan pernah bisa dibantah oleh siapa pun, sekalipun Marquez bersembunyi di balik sarung ukuran XL. Meletuslah opini negatif adanya kongkalikong antara Marquez dan mollon Lorenzo. Mungkin atas nama nasionalisme, serupa nyinyiran Perdana Menteri Spanyol yang mestinya ngurusuin Catalan saja yang hendak memisahkan diri dan Real Madrid yang sedang dikangkangi Benitez yang ehem banget meski sangat dicintai oleh Jacob Julian dan Avifah Ve; mungkin pula atas nama dendam pribadi Marquez pada Rossi gara-gara race di Belanda dan Argentina yang membuatnya bagai telo.
Apa pun itu, provokasi itu, ketidaksportifan itu, sungguhlah buruk untuk kosmologi MotoGP, apalagi dipandang dari sudut etika, lebih-lebih agama. Dasar pembalap tak pernah kenal Uqudul Lijain!
Sayangnya, hal-hal seputaran etika demikian tidak dimuat dalam Undang-Undang dan KUHP MotoGP, atau dalam bahasa Gibernau “tidak pernah diajarkan”, sehingga ia menjadi abu-abu; halal tapi nggilani.
Tidak ada kewajiban sanksi secara de jure bagi pelakunya, tetapi secara de facto jelas cacat moral di mata dunia. Dan siapalah yang sanggup abai pada proficiat moral universal yang membedakan kita yang manusia dengan kadal selain si mollon? Ya, dari sudut “cara meng-Ada”, Marquez setamsil Lorenzo; sama-sama mollon!
Rossi memang salah, itu betul, dan ia sudah ditimpuk penalti yang menyebabkan kansnya untuk juara dunia tahun ini sangat berat. Jika bisa juara dunia di Valencia, 8 November 2015 ini, sungguhlah ia bakal kian melambung sebagai superberhala; sementara Lorenzo serentak akan mughalladhah of mollon. Jika Rossi kalah, itu bisa dimafhumi sebab posisinya sangat terjal. Lorenzo yang menjadi juara takkan pernah ke mana-mana dari tabiat mollon-nya. Juara dunia tapi mollon.
Menang atau kalah bagi Rossi di Valencia, juara dunia atau tidak, ia tetaplah hero, legenda, the doctor. Juara atau tak juara dunia bagi Lorenzo di Valencia, ia tetaplah mollon yang selalu sahih di-huuuuu sebagaimana di Sepang.
Adapun Marquez akan tercatat abadi sebagai rider muda penuh talenta yang picik rasis; bahkan layak dicurigai sengaja diving di Sepang untuk menjebak Rossi kena penalti.
*) mollon (bhs. Madura) = julukan untuk tabiat yang sejenis kutu kupret, hakdes, mbelgedes, empret, nggak banget, atau … na’udzubillah min dzalik.
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Edi Winarno
Jadi makin menunggu aksi Rossi di Valencia nih. Apapun nasibnya, Rossi tetap di hati.
Rafa N Rafi
Kapan ya, motoGP mulai digelar lagi?