Penulis yang Tidak Mencintai Dirinya Sendiri

Sumber gambar walloza.com

Pernah membaca buku yang menginspirasi? Kalau buku yang rasanya ingin kamu teriakkan kalimat, “Buku apaan, nih?”, sudah pernah?

Tiap orang memiliki tujuan masing-masing saat menulis, demi uang, ketenaran, menyampaikan pesan, atau lainnya.

Misal, seseorang memiliki ide berkisah tentang seorang anak yatim yang menjadi sukses. Ada beberapa pilihan untuk dikisahkan.

  • Sang anak yatim memilih berdoa dan berdoa, agar hidupnya dapat berubah dengan baik. Lalu keajaiban pun terjadi. Itulah kekuatan doa.
  • Sang anak yatim menjadi belajar bahwa hidupnya tidak akan ada perubahan jika tidak mulai berubah. Lalu, dia mulai berusaha. Itulah kekuatan usaha.
  • Pasti ada yang bilang, “Ya harusnya usaha dan doa, dong.” Boleh….

Yang perlu diperhatikan adalah, baik kisah pertama, kedua, maupun ketiga akan ada pembaca yang menyukai dan tidak menyukai. Memang, di mana semestinya poin utama kisah itu? Apakah pada kehidupan sang anak yang yatim? Ataukah, pada kehidupannya yang sukses? Tentu saja jawabannya ada di antaranya, pada proses bagaimana seorang anak yang tidak mendapat kasih sayang dapat menjadi sukses.

Agar jika ada pembaca yang mengalami kejadian serupa, akan tergerak hatinya karena berhasil diyakinkan oleh penulis bahwa dia pun dapat sukses. Lebih jauh lagi, orang yang berada di sekitar orang yang mengalami hal serupa setidaknya jadi bisa lebih memahami perasaan anak yatim tersebut—misalnya rasa iri yang timbul ketika melihat orang yang sukses berkat dukungan orang tua.

Bayangkan jika faktor keberhasilan anak itu adalah karena kebetulan yang beruntun.Semangat apa yang mungkin tersampaikan?

Pernah nonton film pembunuhan yang korbannya sedang memiliki kesempatan mencederai pelaku, tapi malah hanya menusuknya sekali dan bukannya memastikan penjahat setidaknya tidak dapat mengejar lagi, cuma supaya si penjahat bisa ditampilkan lagi menjelang akhir sebagai efek “surprise”?

Bikin kesel, kan?

Itu termasuk ketidaklogisan cerita, dalam hal ini, ketidaklogisan sikap tokoh ketika menghadapi sebuah peristiwa. Ketika tokohnya mengalami hal itu, benarkah tindakan tersebut yang akan dilakukannya?

Penulis yang tidak peduli pada proses itu, akan fokus kepada hasil: tokoh berhasil lepas sementara dari penjahat. Bagaimana dia bisa lepas, ya pokoknya lepas. Bukankah jika Tuhan berkehendak maka tidak ada apa pun yang dapat menghalangi? Ini sama aja kamu nenggak pembersih lantai, lalu bilang, “Kalau Tuhan tidak ingin aku mati, pasti aku tidak mati.”

Keputusan untuk bunuh diri itu yang membedakan kualitas kematianmu.

Proses yang kamu tampilkan dalam alur ceritamu yang membedakan kualitas tulisanmu.

Kebetulan, perjuangan, takdir Tuhan, pokoknya harus selamat entah bagaimana caranya, atau proses panjang seperti halnya kehidupan sebenarnya agar pembaca dapat setidaknya mengambil pelajaran dari proses tersebut—bahwa  doa tak selalu dikabulkan cepat-cepat, bahwa usaha selalu disertai pengorbanan, bahwa jodoh tidak mudah ditemukan? *abaikan yang terakhir*

Penulis yang tidak mencintai dirinya sendiri bukan yang memiliki alasan  menulis, demi uang, ketenaran, atau menyampaikan pesan, melainkan, penulis yang tidak berpikir panjang tentang apa yang ingin disampaikan. Bukan efeknya. Kalau efeknya, sudah menjadi urusan pembaca. Urusan penulis adalah apa yang ingin dia tuangkan dari kepalanya ke dalam bentuk tulisan.

Ketika alasannya yang penting dapet predikat “penulis” biar keren, maka berarti si penulis tidak mencintai diri sendiri. Karena apa-apa yang dia tulis sedikit banyak dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Jika diberi kesempatan untuk melakukannya dan melakukannya dengan asal jadi, sayang sekali, kan?

Dear, para penulis, lebih perhatianlah dengan hal yang dituliskan. Jangan lakukan demi kami, para pembaca, tapi coba lakukanlah demi diri kalian sendiri. Seperti kata Oscar Wilde, bahwa ketika seseorang membuat karya maka sebenarnya dia sedang menunjukkan jiwanya melalui karya tersebut. Nah, jiwa seperti apa yang ingin ditunjukkan melalui tulisan kalian?

Tapi, buku yang bikin ingin berkata, “Buku apaan, nih?” saking jeleknya, masih tidak apa-apa dibandingkan buku yang membuat kagum tapi ternyata hasil plagiat.

Bukan hanya tidak mencintai diri sendiri, seorang plagiator tidak menghargai penulis asli dan pembaca bukunya. Bagaimana mau menghargai orang lain, sedang dengan menjadi plagiator sudah menunjukkan bahwa dia tidak menghargai diri sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!