Ada sebuah ilustrasi yang sangat menarik dari Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam menggambarkan gaya berislam skripturalis—lazimnya ia sangat menghasrati purifikasi dengan jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”.
Maaf kata, tak perlu sensitif berlebihan, mana lebih tinggi derajatnya antara dokter dan apoteker?
Kita niscaya menjawabnya dokter. Apoteker dalam posisinya yang juga sangat penting “hanya” menjalankan segala resep yang dituliskan dokter. Seorang apoteker dilarang untuk “kreatif” di hadapan resep-resep dokter. Mengganti sebuah label obat dengan label obat lain yang apoteker tahu khasiatnya sama, tidak etik diambil tanpa terlebih dahulu mengonfirmasi kepada dokter. Apoteker, tegasnya, hanyalah mengambil apa yang tertera dalam teks resep.
Tugas baku profesional dan etik apoteker yang memang demikian adanya akan menjadi persoalan serius kalau diterapkan dalam bidang-bidang lain yang tidak saklek, membutuhkan kreativitas, dinamisasi, dan kontekstualisasi, sebutlah tafsir dan wacana agama.
Sikap baku skripturalis ala apoteker inilah yang kerap menguarkan ketegangan teologis—berikutnya sosial—di antara banyak kelompok muslim sejak dahulu kala.
Pada muasalnya, jelas semua mafhum betapa ragam perbedaan pandangan, paham, madzhab, dan wacana Islam bukanlah persoalan yang perlu dibesar-besarkan, karena ia sunnatullah. Semua pihak niscaya mengantongi landasan normatif, historis, dan metodologisnya masing-masing. Mereka yang menolak bid’ah, umpama, memiliki landasan dalil syara’-nya yang “membenarkannya”, tetapi mereka yang mengesahkan bid’ah dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan prinsip syara’ juga memiliki landasan dalil syara’ yang “membenarkannya”. Atas dasar tersebut, Imam Syafi’i membagi bid’ah pada dua kategori: bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
Dari catatan sejarah, kita pun bisa membaca betapa empat imam madzhab terbesar yang kita anut kini pada muasalnya saling terkait satu sama lain dalam silsilah keguruannya (sanad ilmu). Semuanya bukan hanya sesaudara dalam iman dan Islam, tetapi juga segaris dalam tradisi dan sumber keilmuannya, tetapi lantas berbeda dalam maujud fatwa-fatwanya sebagai konsekuensi dari keragaman historisitas yang diarunginya. Keragaman fatwa itu lantas makin meluas, terus mengembang, terus mengontekstualisasi sedemikian ruahnya di tangan pewaris-pewarisnya hingga ke zaman kita.
Keragaman historitas, inilah salah satu titik picunya. Andaikan semua pihak dalam madzhab apa pun yang diyakini dan diikutinya meletakkan hal tersebut tetap sebagai sunnatullah, niscaya faksi-faksi keislaman yang ada akan senantiasa bisa bersandingan mesra. Kita akan tetap satu jamaah sebagai saudara dalam ikatan sosial yang majemuk meski berbeda dalam pandangan teologis dan madzhab.
Sayangnya, yang kita saksikan justru berpunggungan. Perbedaan-perbedaan madzhabi itu mengeras sedemikian rupa sampai membengapkan wajah relasi sosial dan kohesivitasnya, baik pada konteks ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.
Ulama besar dari masa lalu semacam Ibnu Taimiyah dipenjara oleh otoritas penguasa di masanya gara-gara bertentangan pandangan teologisnya. Sosok pemikir muslim progresif macam Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid Abu Zayd juga diperlakukan amat kasar dan keras oleh rezim sosial dan otoritas politiknya karena pandangan-pandangan keislamannya yang berbeda dengan mainstream.
Perbedaan (ikhtilaf) ternyata lebih kerap mengejawantah tak sesederhana “pahamku pahamku; pahammu pahammu”. Ia rajin benar melimpas dalam bentuk aksi-aksi yang justru bertentangan dengan marwah kemanusiaan itu sendiri. Tendensi politik praktis lalu mendampratkan situasi yang lebih parah dari sekadar perbedaan yang sepatutnya belaka. Takfiri, misal, menjadi contoh masalah keislaman kita yang selalu sangat serius memicu ketegangan-ketegangan tak berkesudahan.
Terkonstruksilah Islam dalam faksi tertentu berwajah keras kepada faksi lain, dan sebaliknya, akibat limpasan ombak-ombak politisasi teologis tersebut. Ia tak lagi sungguh-sungguh soal dalil, tafsir, dan wacana seputarnya; ia menjadi pelik dan tendensius. Tanpa bisa ditutupi lagi, sekadar contoh, berjilid-jilid aksi 212 tempo hari di Jakarta menjadi salah satu bukti kekinian atas perkelahian akut perbedaan tafsir surat al-Maidah ayat 51 yang membesar akibat politisasi. Ia merangsak tak terbendung dari sekadar debat tafsir menjelma aksi massa yang ditingkahi arus-arus politik tertentu. Jargon “membela Islam dari pelecehan, penghinaan, dan penistaan” menjadi senarai politis yang amat lezat untuk digoreng dan diasup.
Politik praktis, apalagi yang beraroma bacin, memang selalu punya torsi tega yang melimpah untuk menjadikan apa pun, termasuk Islam dan kemanusiaan, sedemikian jauh panggang dari ruh asalinya. Kata Husain bin Ali bin Abi Thalib kepada para prajurit Yazid bin Muawiyah yang mengepunganya: “Kalian adalah orang-orang yang paling besar musibahnya karena kedudukan ulama telah direbut.”
Apa yang dimaksud “ulama” dalam ungkapan tersebut adalah ketulusan dalam memahami ajaran Islam.
****
Sebagai seorang tokoh nasionalis terkemuka yang tak berdasar sama sekali untuk dinyatakan tidak karib dengan wacana-wacana keislaman, Ir. Soekarno memahami benar bahwa benang merah penyatu seluruh manusia Indonesia demi tercapainya NKRI adalah penghargaan terhadap keragaman. Merangkul kemajemukan. Bukan hanya antarmadzhab, tetapi sekaligus antaragama.
Soekarno jelas memahami bahwa entitas muslim sebagai golongan terbesar di negeri ini seyogianya menjadi motor utama yang “merangkul” seluruh golongan di luarnya untuk bersama-sama menggerakkan Indonesia yang majemuk dalam payung NKRI.
Tanpa tedeng aling-aling, Soekarno melancarkan kritik-kritik tajam kepada para tokoh muslim di masanya yang memiliki pandangan berbeda dengannya dalam konteks “merangkul” tersebut. Kritik-kritik yang sejatinya merupakan autokritik yang terus relevan terhadap wacana keislaman kita sendiri—dulu dan kini serta esok.
Salah satu kritik Soekarno ketika berdebat panjang dengan M. Natsir terekam dalam ungkapan ini:
“Umat Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah. Kita lupa bahwa fiqh itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama Islam. Maka benarlah perkataan Halide Edib Hanum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini ‘bukan lagi pemimpin hidup, tetapi agama pokrol-bambu’. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insyaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam Sontoloyo!”
Kemudian ini:
“Tetapi apa yang kita ‘cutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya, debunya, asbesnya.”
Keras memang, tetapi demikianlah situasi riil yang dihadapi Soekarno. Tidak berarti bahwa kelompok yang bersitegang dengan Soekarno, sebutlah M. Natsir, Mohamad Roem, dan Hamka, bukanlah nasionalis, tetapi memang terdapat gap idealisme yang amat terjal yang memisahkan Soekarno dengan mereka.
Kita tahu dari sejarah betapa pergulatan panjang Soekarno—bersama Hatta—untuk menjadikan sila pertama Pancasila tidak menyertakan kata “syariat Islam” yang diprotes oleh orang-orang Indonesia Timur bukanlah sejarah yang sederhana. Kita pun tahu dari sejarah betapa Soekarno berlinang air mata ketika harus mengambil keputusan untuk mengeksekusi salah satu sahabat karibnya, Kartosuwiryo. Kita pun tahu dari sejarah bagaimana Hamka yang pernah bersitegang panjang rela hati memenuhi wasiat Soekarno agar mengimami shalat jenazahnya.
****
Ungkapan tajam Soekarno dalam diksi “Islam Sontoloyo” jelas bukan dimaksudkan untuk melecehakan marwah agama Islam. Soekarno jelas-jelas adalah sosok cendekiawan nasionalis (muslim) yang tak perlu kita pertanyakan dedikasinya kepada bangsa dan Islam Indonesia. Di hadapan beliau, sungguh kita kini bukanlah apa-apa; hanyalah debu yang beterbangan dihempaskan angin-angin.
Kita bisa dengan mudah, misal, merekam kegelisahan Seokarno pada skripturalisasi Islam melalui narasinya ini: “Tetapi apa yang kita ‘cutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya, debunya, asbesnya.”
“Api Islam”, inilah titik kritis Soekarno kepada wacana keislaman kita yang skriptural-artifisial (abunya, debunya, asbesnya). Api Islam jelas adalah “moral ethic”—dalam istilah Fazlur Rahman—dari teks-teks suci al-Qur’an dan hadits yang bersifat kekal, abadi, dan rahmatan lil ‘alamin.
Agar “Api Islam” senantiasa menyala dalam perjalanan panjang kehidupan kita, dari masa ke masa, relevan sebagai obor bagi realitas hidup kita, ia harus terus dinyalakan dengan cara reaktualisasi, kontekstualisasi, reinterpretasi, dan sejenisnya. Ia tak bisa dibakukan dan dibekukan dalam suatu formulasi tafsir atau madzhab belaka karena hanya akan menjadikan kita terampas dari historisitas kita di satu sisi dan di sisi lain berdampak pada sesak napasnya kita akibat semata mengisap “abunya, debunya, asbesnya”. Yang baku dan tetap adalah dalil-dalilnya, moral-ethic-nya, tetapi tafsir-tafsirnya semestinya terus mengontekstual agar kita tak hanya mendapatkan “abunya, debunya, asbesnya”.
Dalam salah satu kaidah Ushul Fiqh, hal demikian bisa diwakilkan pada postulasi: al-muhafadhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-ahdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara hal/pemikiran lama yang baik dan mengambil hal/pemikiran baru yang lebih baik). Sebuah mekanisme dialektis yang genius dan bijaksana.
Soekarno lantas mengkritik kecenderungan pemberhalaan fiqh yang hakikatnya bukanlah dalil-dalil yang baku dan permanen, tetapi tafsir-tafsir manusia terhadapnya, sebagai biang kerok bagi kejumudan pemikiran keislaman.
Konstruksi hukum Islam (fiqh) apa pun, kita mafhum, selain bersumber pada penafsiran terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits serta berbagai item metodologis yang diambil, tetaplah semestinya diposisikan sebagai buah ijtihad yang tidak steril dari khazanah zaman, tempat, realitas, dan sekaligus kepentingan-kepentingan politis-kultural di dalamnya. Imam Syafi’i, misal, merevisi beberapa pandangan fiqh-nya dalam qaul qadim seiring hijrahnya beliau melalui qaul jadid yang datang belakangan.
Maka membakukan fiqh beserta tafsir manusia terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits merupakan anomali diskursif yang bukan hanya menjadikannya seolah sekudus al-Qur’an dan hadits, tetapi sekaligus rawan memantik perkelahian klaim kebenaran di antara umat Islam sendiri. Hikayat permusuhan kelompok Sunni dan Syi’ah, misal, yang terus membentang tanpa ujung sebagiannya jelas dipantik oleh perkara-perkara pemberhalaan tersebut—selain isu-isu politik dan beban sejarah yang menindihnya terus-menerus.
Kembali kepada “Api Islam”, bukan dalam artian skripturalisasi yang menghasrati negasi-negasi non-teks macam kinerja apoteker tersebut seolah umat Islam adalah sekelompok penganut agama yang turun dari langit dan tidak membumi dengan perkara-perkara kultural dan sejarah, bagi Soekarno, merupakan ideal metodologis (diskursus) dan sosial-kultural yang mesti dinyalakan selalu. Memberhalakan fiqh yang rawan menjadikan kita fanatis dan sektarian, berikutnya kebak truth claim dan salvation claim yang berkarakter intoleran, sebagaimana dikritik Soekarno, selain “walaupun sudah kita saring semurni-murninya, (fiqh itu) belum mencukupi semua kehendak agama Islam”, harus diatasi dengan mengembalikan Islam kepada citraan “Api Islam” yang komprehensif. Bahwa Islam bukan hanya mengurus fiqh, tetapi juga memindai seluruh pilar teologis yang membentuk bangunan kokohnya, termasuk akidah, etika, dan tasawuf.
Ada sebuah ilustrasi genius yang ditampilkan Soekarno dalam buku Islam Sontoloyo, yang sangat pas menggambarkan idealnya tentang wajah Islam, khususnya di Indonesia yang majemuk.
Jika Anda ingin tahu hutan, janganlah masuk ke dalam hutan. Jika Anda masuk ke dalam hutan, Anda hanya akan menyaksikan sebagian pohon-pohon, semak-belukar, dan mungkin hewan buas. Tetapi naiklah ke ketinggian, semakin tinggi, maka Anda akan berhasil menyaksikan wajah hutan yang luas, sangat luas, hijau, dan indah.
Apa yang dimaksudkan “naik ke ketinggian” oleh Seokarno ialah usaha-usaha teologis untuk mengatasi keterbelengguan diri pada sekte-sekte yang mengeksklusi, menanjak kepada nilai-nilai agung abadi yang diajarkan Islam (“Api Islam”), dan dari posisi tinggi tersebutlah kita akan mampu meraih wajah Islam yang indah, ramah, sejuk, dan rahmatan lil ‘alamin. Pada derajat tertentu, pandangan tersebut bisa diekspektasikan pada ideal semesta tasawuf Soekarno yang berdenyar melampaui segala sekat teknis keislaman.
Inilah autokritik warisan Soekarno yang masih relevan untuk kita kaji dan renungkan pada konteks kehidupan riil keislaman kita hari ini. Tak usah memerah wajah dan mendidih hati bila dari perspektif Soekarno ini, ada sebagian gaya dan perilaku keislaman kita hari ini yang masih berkarakter sontoloyo ternyata.
Cukup renungkan, renungkan, dan renungkan….
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019