Lebaran berlalu dengan tinggalan berupa kaleng-kaleng molek. Kaleng masih tampak bersih dan baru tapi isi sudah berganti rengginang, karak, atau rambak. Pada saat Lebaran, kaleng masih berisi roti atau biskuit. Di atas meja, kaleng-kaleng dengan pelbagai gambar dan nama menjadi suguhan terpenting untuk mengartikan Lebaran “bermutu” di kota dan kampung. Selama puluhan tahun, Indonesia memiliki cerita baku: “Lebaran itu bersantap roti, biskuit, atau kue.” Sekian santapan sering berasal dari negeri-negeri jauh, memiliki nama-nama asing. Orang-orang Indonesia tak repot menganggap santapan itu bakal selaras dengan hari suci atau memiliki kaidah-kaidah religius.
Pada masa 1980-an, iklan-iklan biskuit atau roti merajalela di majalah-majalah perempuan. Di majalah Sarinah, 26 Mei-8 Juni 1986, tersaji 2 iklan biskuit berbeda merek. Di halaman 55, iklan dari Verkade. Keterangan pengiklan: “Begitu anda sajikan anda memuaskan begitu banyak orang karena setiap biskuit Verkade diolah dengan tradisi khas yang menjadikannya biskuit kegemaran di Holland dan di Indonesia.” Orang-orang beda negera tapi berselera sama dalam urusan makan biskuit. Sama selera sudah berlangsung sejak masa penjajahan.
Iklan saingan di halaman 75 diadakan oleh Beevee. Biskuit ingin memberi kebahagiaan khas modern bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Pada masa 1980-an, keluarga Indonesia adalah keluarga biskuit, bukan keluarga ketela atau keluarga singkong. “Biskuit baru pilihan seluruh keluarga telah tiba. Beevee diolah dari bahan pilihan bermutu tinggi untuk memberi anda sekeluarga biskuit yang paling lezat,” tulis di iklan dengan gambar enam adegan mulut makan biskuit.
Dulu, biskuit itu santapan keluarga mapan. Biskuit teranggap enak atau lezat. Biskuit sering berada di rumah-rumah gedongan atau rumah dihuni pengusaha, pejabat, pegawai, dan artis. Konon, ketersediaan biskuit di meja tamu atau meja makan mengartikan ada pilihan santapan sesuai kelas sosial dan angan serupa manusia di negeri jauh. Mereka tak melulu menghadapi jenis-jenis makanan lokal atau tradisional cepat basi, berkemasan tak memikat mata modern.
Di tanah jajahan, biskuit pernah membingungkan penggarap kamus dalam memberi arti. Sasrasoeganda dalam Baoesastra Melajoe-Djawa (1916) belum sanggup mengartikan “biskoet”. Ia cuma meragu: “biskoet” adalah “beskoewit(?).” Di mulut bumiputra, kata itu masih asing atau sulit terucap. Kata datang dari negeri asing, belum terlalu akrab di tanah jajahan. Nasib agak beruntung ada di Kitab Arti Logat Melajoe susunan D Iken dan E Harahap (1916). “Bicsuit” atau “biskoeit” berarti “penganan roti jang keras.” Urusan kata saja, orang-orang pernah mengalami kesulitan dalam pemberian arti dan penulisan ejaan sesuai bahasa “Melajoe”, sejak awal abad XX.
Kita membuktikan dengan membaca iklan di Kadjawen, 16 Juli 1938. Iklan tebar pesona. Gambar dua ibu bercakap ditemani dua bocah di ruang tamu. Di atas meja, ada suguhan minuman. Mata pembaca belum melihat ada tatanan makanan. Di bawah gambar, pembaca mulai berimajinasi bakal ada suguhan berupa biskuit. Di iklan, penulisan adalah “biskoewit”. Bujukan si pengiklan: “Biskoewit Verkade boten wonten ingkang njameni! Makaten tjariosipoen tijang dateng tamoenipoen, awit Biskoewit Verkade dipoen damel saking adon-adon ingkang pilihan.” Biskuit ada dalam kaleng. Orang lawas memberi sebutan bleg. Di Jawa, sebutan bleg masih berlaku. Iklan sudah memastikan biskuit bercerita keluarga berduit dan modern. Biskuit termasuk makanan berharga mahal.
* * *
Pada masa lalu, biskuit sempat menimbulkan ketakutan di Indonesia. Sekian orang mati setelah makan biskuit. Tempo edidi 21 Oktober 1989 menurunkan berita besar berjudul “Korban-Korban Biskuit Maut.” Biskuit memicu panik kolosal. Orang-orang telanjur takut, terkena imajinasi buruk mengenai biskuit. Semua bersumber dari penggunaan bahan kimia mematikan di pabrik biskuit di Tangerang, Palembang, Medan, dan Pontianak. “Heboh biskuit beracun tampaknya membuat para orangtua bersikap lebih hati-hati terhadap biskuit. Pengakuan para pengusaha pabrik biskuit bahwa angka penjualan mereka anjlok sampai 50 persen menunjukkan kuatnya rasa waswas itu,” tulis di Tempo. Kasus itu membuat bisnis biskuit lesu, mengubah anggapan jutaan orang tentang kelezatan dan petaka biskuit.
Berita itu membuat duka. Orang-orang diajak berpikir lagi mengenai biskuit. Di Indonesia, biskuit itu sudah jadi santapan bagi balita sampai orangtua. Balita diberi biskuit sebagai pengajaran makan dan merangsang pertumbuhan gigi. Pelbagai biskuit menggoda ibu-ibu membeli sesuai jumlah duit. Merek dan kemasan kadang menentukan selera. Semula, biskuit bercerita kelucuan dan kegembiraan ketimbang duka seperti geger biskuti maut pada 1989.
Di toko-toko, biskuit termasuk dagangan laris. Orang-orang mulai terbiasa makan biskuit sambil perlahan berpamit dari jajanan-jajanan lawas yang pernah jadi idaman para leluhur. Penamaan biskuit saja sudah mengesankan asing dan mentereng. Bentuk biskuit pun pancaran modern dan molek. Penerimaan atas biskuit menggenapi ketagihan pada roti-roti. Sejak masa kolonial, kaum bumiputra mengenal roti sebagai makanan khas Eropa. Di keraton-keraton, roti masuk dalam daftar menu raja dan keluarga bangsawan. Pilihan bersantap roti menular pula ke keluarga-keluarga berpaham “baroe”. Roti itu berimajinasi Eropa, adab mutakhir, dan impian “kemadjoean”.
Roti pun ingin tapi kalah. Pada masa kolonial, roti itu santapan Eropa. Bumiputra melihat tanpa pernah merasakan roti di mulut. Zeffry Alkatiri (2012) dalam puisi berjudul “Kami Hanya Menonton: Pengakuan Si Midun, Si Amat, dan Si Inah (Dari Buyut sampai Cucu)” bercerita ingin roti di masa lalu berlatar Batavia: Kami sering menonton:/ Ketika para nyonya dan noni/ membeli roti dan kue-kue./ Di toko Van Otten dan Borgerij./ Kalau sudah begitu:/ Kami hanya bisa membayangkan/ Kue tampah murah Mpok Minah. Roti itu santapan mereka di seberang kaum terjajah.
* * *
Pada 1928, terbit buku berjudul Warna Sari Melajoe susunan J Kats. Di buku bacaan untuk mengerti tata hidup di Hindia-Belanda, pembaca menemukan sepenggal cerita mengenai kebiasaan bocah-bocah minum susu dan makan roti demi pintar. Seorang ibu diceritakan wajib memberi suguhan susu dan roti ke bocah: “Ah, susah saja memikirkan bapa si Radjab ini. Anaknja dimandjakannja benar, diboeatnja seperti sinjo-sinjo, makan roti dengan mentega. Soesoe tidak boleh poetoes.” Di kalangan bumiputra berpikiran maju, makanan dan minuman khas Eropa pantas ditiru untuk menjadikan diri dan keluarga ada di tatanan baru. Bocah rajin minum susu dan roti bermentega diharapkan menjadi pintar dan berselera modern.
Pada masa 1940-an, kebiasaan keluarga-keluarga di Indonesia bersantap roti semakin meningkat akibat godaan iklan di majalah dan pendirian toko-toko roti di pelbagai kota. Di majalah Kadjawen terbitan Balai Poestaka, iklan-iklan roti dalam bahasa Jawa sering tampil meminta perhatian pembaca agar lekas mengubah cara makan lama dan meraih kemodernan. Iklan roti lazim digenapi iklan mentega. Di Kadjawen edisi 17 Oktober 1941, iklan mentega merek terkenal (BB) menampilkan cerita bergambar: dua bocah sedang bersantap roti di sekolah kala istirahat. Wajah mereka semringah sedang makan roti. Mereka membawa bekal roti dari rumah, menuruti kegandrungan ibu mengolesi roti dengan mentega. Roti dianggap makanan sehat, lezat, enak, dan memberi pengaruh bagi intelektualitas bocah-bocah bersekolah.
Sejak dulu, roti memang mengandung imajinasi kemajuan atau selera bercap Barat. Sutan Takdir Alisjahbana (STA), penulis novel berjudul Lajar Terkembang dan pemicu polemik heboh masa 1930-an, memiliki kebiasaan sarapan roti. Pada saat menua, kebiasaan mengonsumsi roti masih langgeng ketimbang menghabiskan sepiring nasi. STA menginginkan makanan itu menjadi ilmu, melampaui faedah menumpas lapar. Di majalah Selera edisi Februari 1984, STA memberi pengakuan kebiasaan sarapan monoton selama puluhan tahun: 1 gelas jeruk, 1 telur, dan 2 potong roti ditaruhi selembar keju. Sarapan itu turut memberi gairah sastra dan ilmu bagi STA dengan menulis pelbagai buku dan memajukan pengajaran filsafat di Indonesia. Roti memang menjadi ilmu.
* * *
Sejak awal abad XX, roti sering dibandingkan dengan makanan-makanan khas Indonesia. Singkong atau ketela lazim “diremehkan” roti berdalih zaman kemajuan atau selebrasi modernitas. Pertentangan masih berlaku sampai masa Orde Baru. Roti berimajinasi adab Barat terus dimiliki orang-orang Indonesia meski tak seheboh masa lalu. Darmanto Jatman dalam puisi berjudul “Sarapan Pagi Bersamamu Rakyatku” bercerita manusia Jawa saat berada di London (Inggris). Makan roti jadi tindakan politis dan menguak ideologi-kultural. Darmanto Jatman menulis: Dan sementara mereka masih mimpi/ Menguasai negeri-negeri yang jauh-jauh/ Di timur, di barat, di selatan, di utara –/ Pagi-pagi sudah kumulai tindakan politik ini:/ Sikat habis sarapan pagi mereka. Sikap itu lazim dimiliki tokoh berasal dari negeri pernah memiliki sejarah dijajah, selama ratusan tahun. Sarapan roti menjadi peristiwa bercap poskolonial.
Pada larik-larik berbeda, Darmanto Jatman mengakui ada kerinduan bersantap ketela di Jawa. Roti di meja setiap pagi terus memicu perlawanan dan keterpaksaan akibat trauma sejarah. Di negeri berbeda, keinginan bersantap seperti saat berada di Jawa tentu kemustahilan. Roti itu rindu. Roti pun identitas sulit terhapus sebagai manusia Jawa. Darmanto Jatman dalam kangen menulis: Tubuhku memang di sini/ tapi hatiku selalu bersamamu/ Makananku memang roti/ Tapi dalam mimpiku/ Ketelamu/ selalu lebih wangi! Di London, orang kangen ketela. Kangen terasa membawa perbandingan selera bertaut peradaban Barat-Timur pada masa lalu. Roti melawan ketela?
Pertandingan roti dan ketela masih berlangsung pada abad XXI. Pertandingan berkaitan situasi pasar global. Indonesia semakin bingung dalam urusan pasar tradisional dan memuliakan santapan khas saat selera makanan terlalu dibentuk iklan-iklan memuja Eropa. Puisi mengandung jengkel dan peringatan ditulis Sindhunata dalam bahasa Jawa berjudul “Ramalane Pasar Telo”. Bait-bait menautkan makanan, politik, religiositas, adab, dan identitas: Yen pasar telo ilang kumandhange,/ wong Jowo kelakon mangan Holland Backeri,/ Mc Donald, hamburger lan roti boy,/ terus lali marang sangkan paraning dumadi.// Yen pasar telo ilang kumandhange,/ kabeh panganan rasane roti,/ masyarakat Jowo seragam tanpa variasi,/ kabeh dadi bature globalisasi. Puisi itu terlalu berat dibacakan saat orang-orang rajin makan roti di keseharian dan Idul Fitri. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022