Mengecilkan Perbedaan, Membesarkan Persamaan

mercatornet.com

Sekeras apa pun ketegangan ideologis antara kubu “legal-formal” Islam yang diwakili M. Natsir dengan kubu “sekular” Nasionalis yang diwakili Soekarno di tahun 1934-1940 sama sekali tidak segarang fenomena ujaran kebencian (hate speech) di hari ini. Kata-kata niradab bernada bodoh-membodohkan, sesat-menyesatkan, hingga kafir-mengafirkan begitu mudahnya kita jumpai di berbagai ruang publik, utamanya di sosial media.

Secara ideologis, bandang ujaran kebencian itu tidak terpisah sama sekali dari ontran-ontran politik berbumbu agama atau agama berbumbu politik. Hiruk-pikuk ujaran kebencian yang mewarnai polemik tafsir surat al-Maidah ayat 51 yang menyergap Ahok beberapa waktu lalu, misal, menjadi bukti nyata yang sulit dibantah kebenarannya.

Dalam sejarah Islam, praktik ujaran kebencian bernuansa seteru politik dan agama bisa dilacak dengan jelas dari sejarah konflik antara Muawiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah, dengan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Konflik yang memuncak dalam Perang Shiffin (26-28 Juli 657 M) itu bahkan kemudian diwariskan melalui pentradisian caci maki di kalangan Bani Umawi (anak-cucu Muawiyah).

Barulah pada era khalifah Umar bin Abdul Aziz, menurut Fuad Abdurrahman dalam The Great of Two Umars (2016), praktik ujaran kebencian itu dilarang keras. Beliau mengeluarkan surat perintah kepada para khatib untuk mengganti caci maki dan kutukan kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait di setiap penutup khutbah Jum’at dengan membaca ayat 90 surat an-Nahl. “Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang kalian melakukan perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kalian dapat mengambil pelajaran.

Catatan sejarah tersebut seyogianya bisa kita simak dengan saksama dalam maksud mengambil pelajaran emas dari masa lalu akan betapa sensitifnya perbedaan bila diiringi oleh narasi-narasi provokasi. Bahwa fenomena faksional-ideologis dalam konstelasi keagamaan kita bukanlah sesuatu yang semu pula kecil.

Tentu, idealnya, perbedaan apa pun, termasuk pandangan keagamaan (al-ikhtilaf al-khitabi fi al-din) harus tetap berada dalam skala “wacana” yang diskursif, dialogis, relatif, dan plural. Tidak perlu mereduksi ikatan sosial, apalagi merongrong marwah kebangsaan kita.

Akan tetapi, ideal itu jelas akan menjadi muskil diwujudkan manakala perbedaan wacana-wacana keagamaan tersebut ditingkahi terus-menerus dengan ujaran-ujaran kebencian, seperti klaim “salah, sesat, atau kufur”. Pada skala demikianlah kita mesti berbesar hati untuk bersama-sama mewaspadai rawannya endapan-endapan psikologis yang melatari letupan insiden tersebut. Hanya itu solusi paling awalnya.

Paradigma Strategis

Dalam Psychotherapy and Existentialism (1973), Victor E. Frankl menyatakan bahwa ada tiga pilar psikologis yang diinginkan manusia dalam hidupnya, yakni (1) kebebasan berkehendak (the freedom to will), (2) kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning), dan (3) mendapatkan makna hidup (the meaning of life). Ketiga pilar psikologis ini juga bekerja di dalam ranah keyakinan dan keagamaan (spirituality).

Seorang awam yang ingin belajar agama Islam, misal, akan menggunakan kapasitas dan kebebasannya dalam memilih gurunya. Kepada siapa ia berguru kemudian, kepadanya pula ia menaruh harapan besar untuk mendapatkan the will of meaning dan the meaning of life itu. Maka segala apa yang dituturkan oleh gurunya akan digugu sedemikian rupa dengan keyakinan kuat bahwa itulah jalan kebenaran (truth way) dan jalan keselamatan (salvation way) ideal baginya.

Pada hakikatnya, ikhtilaf apa pun di antara umat Islam merupakan hal yang alamiah belaka dari proses pencarian-pencarian makna psikologis tersebut. Tetapi memang hal alamiah itu bisa menjelma patologi sosial bila tidak dibarengi dengan kesadaran world view bahwa di luar diri dan kelompoknya juga terdapat banyak diri dan kelompok lain yang mengikuti guru-guru yang lain yang memiliki pandangan-pandangan keagamaan yang berbeda.

Seyogianya, kesadaran atas kesamaan proses pencarian makna batin melalui jalan yang beragam inilah yang dikembangkan sebesar-besarnya, bukan perbedaan-perbedaan jalannya. Segala bentuk ujaran kebencian harus dijauhkan sejauh-jauhnya. Bahwa, pertama, saya dan Anda, kami dan kalian, sama-sama sedang berjuang untuk mendapatkan makna-makna hidup, kedua, bahwa setiap kita adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, dan, ketiga, bahwa kita semua selalu bersatu nusa dan bersatu bangsa di bawah naungan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Dengan paradigma strategis ini, mengecilkan perbedaan dan membesarkan persamaan, dapat dipastikan relasi sosial dan iklim kebangsaan kita akan bisa terajut dengan baik. Inilah kiranya spirit terbesar kebangsaan kita yang mestinya selalu kita kedepankan di hadapan keragaman pandangan keagamaan apa pun, bahkan lintas agama.

Tentu saja ini bukan perkara mudah. Kita semua mafhum, betapa hal-hal yang berskala supranatural-batiniah, bila telah dipadukan dengan narasi-narasi ideologis, sangat sanggup mendorong seseorang untuk menjelma sedemikian rupa tak terbayangkannya, yang bagi mayoritas kita sungguh tak masuk di akal tetapi baginya adalah sebuah kebenaran, puncak keimanan, dan pembelaan Tuhan.

Ada begitu banyak contoh sejarah terhadap situasi tersebut, di antaranya Ibnu Muljam—sosok alim, pakar, cendekiawan, sahabat Nabi saw., yang membunuh Ali bin Abi Thalib.

Sekalipun sama sekali tak mudah, tetap saja tugas semua kita secara ontologis berdenyar di titik tersebut: mengecilkan perbedaan, membesarkan persamaan. Demi kebaikan kemanusiaan.

 

Jogja, 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!