Kutipan terpenting dari novel berjudul Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randu (2017) gubahan Mahfud Ikhwan: “Warto Kemplung meringis, menunjukkan giginya yang kuning kecokelatan karena rokok dan kopi dan mungkin karena keengganan berusia puluhan tahun untuk menyikat gigi.” Di halaman-halaman novel, lelaki itu cerewet mengisahkan tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan percampuran bualan dan keampuhan imajinatif. Kecerewetan menuntut kopi dan rokok. Kutipan itu tak pernah mendapat uraian panjang oleh pengarang.
Pembaca cukup mengetahui saja tampilan gigi Warto Kemplung, tak perlu menulis surat ke Mahfud Ikhwan agar memberi penjelasan di luar novel mengenai kebiasaan gosok gigi dan pasta gigi terlaris di Rumbuk Randu, puluhan tahun silam. Kita mungkin bakal mendapat jawaban kocak dan miris andai Mahfud Ikhwan mau lagi mengumpulkan segala ingatan untuk memastikan ada dampak gosok gigi: mesem, mulut tak berbau, dan putih. Mahfud Ikhwan jangan kebablasan memberi cerita atau penjelasan agar tak tercipta novel bersaing dengan Midah Si Manis Bergigi Emas (1954) gubahan Pram.
Tokoh-tokoh dalam novel Dawuk tak pernah mengetahui ada iklan mengurusi gigi. Iklan terpasang di koran Matahari, 9 November 1935. Iklan bersejarah bagi pengucapan orang-orang di Indonesia untuk menganggap segala hal digunakan dalam gosok gigi adalah “odol”. Sebutan bertahan puluhan tahun tanpa ralat ideologis, bisnis, dan linguistik. Iklan itu menampilkan lelaki necis. Ia berbusana lengkap, bukan berpenampilan telanjang berkalung handuk seperti adegan mau mandi. Ia bukan lelaki asal Indonesia, bukan lelaki pernah bermukim di Rumbuk Randu seperti di novel persembahan Mahfud Ikhwan.
Keterangan panjang tak puitis. Petunjuk dan sejenis perintah demi pengesahan modernitas di mulut atau penampilan gigi: “Koemoerkan moeloet dengan menjegarkan dan menjamankan! Odol. Kau pandang mandi saban hari dan perboeatan baik oentoek badan. Apa saban hari kau koemoerkan djoega kau poenja moeloet dengan Odol? Kau akan kagoem, bagaimana ia menjegarkan! Selainnja ia bekerdja membersihkan koetoe-koetoe Odol mengasih moeloet berpengrasahan njaman dan napas segar – baik boeat kau dan sesama manoesia.” Penggunaan ungkapan “baik boeat kau dan sesama manoesia” terasa mengena perasaan, membuktikan orang menggunakan Odol itu beradab di masa 1930-an. Ia tak membiarkan mulut menjadi sumber bau, pemandangan buruk, dan menghinakan taraf kesehatan. Dulu, Odol itu cair, belum seperti pengandaian kita berupa pasta atau serupa salep.
Nasionalisme mungkin berkaitan pula gigi. Di rapat-rapat politik atau pidato, para elite terpelajar atau pemimpin jika bergigi kuning tentu malu. Ia mengumbar kata dengan abab (bau mulut) sanggup memingsankan ratusan orang. Perkara gigi berdalih kesehatan mungkin sudah masuk program di pelbagai serikat, perkumpulan, dan partai politik. Di Boedi Oetomo, kita menduga gosok gigi termasuk wejangan Soetomo selaku pemimpin dan dokter bagi orang-orang di desa. Gigi sakit akibat malas gosok gigi dengan pelbagai alat dan bahan membuat hidup kacau dan menderita.
Bersumber dari gigi sakit tak terampunkan, agenda-agenda nasionalisme di pendidikan, politik, seni, dan sosial bisa berantakan. Kita cuma belum mengetahui kebiasaan menggosok gigi meniru kaum Eropa itu memerlukan ongkos mahal atau harus memenuhi status sosial elite. Gigi sakit itu neraka. Nasionalisme bergigi sakit tentu malapetaka. Kita memastikan bahwa kaum elite terpelajar dan kaum politik masa lalu sadar gigi meski belum ke persaingan pesona mesem dan gigi putih kemilau.
* * *
Pada masa 1950-an dan 1960-an, kita mulai mendapat iklan-iklan berlagak mendidik demi kesehatan dan keindahan gigi. Iklan di majalah Djaja edisi 2 Februari 1963 mengarah ke bocah. Iklan menganjurkan mereka sehat sejak dini, tak perlu menderita saat dewasa gara-gara gigi berlubang atau bergelimang kuman. Iklan berlagu dan mengutip rekomendasi dokter bermaksud sajikan keterangan ilmiah. Pada bagian atas, gambar empat bocah bersenandung: “Tak lupa menggosok gigi dengan Denta”. Mereka tampak semringah. Adegan gosok gigi tentu diinginkan, bukan paksaan. Pesan minta dipahami pembaca: “Satu-satunja pasta gigi jang mengandung flour, obat jang dipergunakan dokter-dokter gigi diseluruh dunia untuk pentjegahan serta pemberantasan penjakit gigi.”
Bocah-bocah memiliki kebiasaan menggosok gigi tentu tak bergantung iklan. Di sekolah, mereka mendapat pengajaran dari guru. Buku pelajaran pun memuat pelbagai keterangan mengenai gigi sehat. Murid bakal senewen jika setiap hari mengikuti pelajaran dengan gigi sakit dan mulut berbau. Ia bakal minder dan bodoh. Gigi berkaitan dengan kecerdasan dan kesopanan bergaul di sekolah. Murid bergigi kuning sering jadi sasaran ejekan. Ia tersiksa oleh serbuan ejekan. Diri menderita gara-gara gigi kuning. Murid itu tentu kesulitan mencari teman. Perkara gigi terlalu penting di pendidikan-pengajaran. Murid diharapkan rajin gosok gigi dengan pasta gigi pelbagai merek asal sehat dan berani mesem memamerkan gigi pada teman-teman dan guru.
Kita membuka buku berjudul Ilmu Kesehatan susunan P Peverelli terbitan JB Wolters, Jakarta-Groningen, 1957. Buku diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sutan Saleh dan diberi gambar oleh T Dalton. Pada bab perawatan gigi, pembaca mendapat penjelasan dilengkapi gambar. Keterangan di halaman 38: “Dari kita berumur dua tahun, haruslah mulut dan gigi dibersihkan setiap sudah makan, lebih-lebih malam sebelum hendak tidur. Membersihkan gigi itu hendaklah menjikatnja dengan sikat gigi jang tak terlampau lunak dan tidak terlampau keras. Menjikatnja haruslah dengan peraturan. Dari sebelah kanan dalam keluar dan dari atas kebawah.”
Di majalah Minggu Pagi edisi 3 Maret 1957, perkara gigi dan pasta gigi berkaitan pendidikan ditampilkan di iklan Gibbs. Bujukan untuk peniruan para murid ke guru perempuan memiliki gigi sehat dan keranjingan mesem. Gambar guru cantik sedang mesem tampak besar ketimbang gambar murid-murid sedang belajar di kelas. Pesan bijak: “Murid-murid dapat mengambil teladan dari guru itu! Karena giginja bersih, segar dan indah, berkat pemakaian setiap hari dari obat gosok gigi Gibbs jang ringan harganja.” Iklan itu bisa terbawa dalam pengetahuan murid di sekolah. Murid mungkin beranggapan keteladanan itu berupa turut membeli dan menggunakan Gibbs.
* * *
Iklan mengarah ke bocah berbeda dengan iklan memihak ke perempuan. Di majalah Djaja, 20 Maret 1965, disuguhkan iklan sehalaman hitam-putih. Iklan untuk kaum perempuan Indonesia. Para tokoh di iklan didatangkan dari negeri asing. Pengiklan mungkin bermaksud menganjurkan kaum perempuan meniru kebiasaan perempuan asing dengan mendapatkan khasiat dari rajin gosok gigi dengan Pepsodent. Dulu, meniru asing itu keren.
Judul bertanda seru di iklan: “Senjumnja selalu menarik!” Pembaca diajak melihat perempuan cantik dengan mata indah dan mulut putih. Di situ, kita tak melihat deretan gigi. Si penggambar mungkin kesulitan menggambar gigi berjumlah puluhan. Urusan terpenting tentu “senjum” atau mesem, bukan penggamblangan gambar gigi. Iklan itu mengabsenkan gigi. Pembaca dipaksa berimajinasi si perempuan cantik bergigi: “Tak mengherankan! Giginja putih berseri dan terawat baik. Hal ini menjebabkan kepertjajaannja pada diri sendiri bertambah hingga sikapnja senantiasa lantjar dalam setiap pergaulan.” Pastikan pembaca mengikuti saran dan membuktikan: “Pepsodent mendjadikan gigi lebih putih dalam seminggu.” Pesan itu memastikan perempuan haram bergigi kuning.
Gigi milik perempuan dikesankan “keharusan”. Perempuan cantik itu bergigi putih dan indah. Gigi dianggap penentu, tak melulu warna kulit, bentuk tubuh, dan rambut. Kecantikan gara-gara gigi bisa kita lihat di majalah Minggu Pagi, 7 April 1957. Perempuan Indonesia dalam dandanan bersahaja ditampilkan mesem. Ia mungkin opoisisi dari keseringan penampilan perempuan asing di pelbagai iklan bersebaran di Indonesia. Kecantikan “bergantung” Pepsodent. Pahamilah bagi kaum perempuan mendamba cantik: “Gigi menjadi lebih putih dalam seminggu! Bagaimana tjaranja? Itu tidak sukar, kalau mulai sekarang djuga memakai Pepsodent untuk menggosok gigi.” Perempuan di iklan telah membuktikan, tak lupa memberi pesan susulan: “Pepsodent mempunjai rasa permen jang lunak dan njaman.” Kita pun mengerti urusan bersikat gigi di kalangan bocah atau perempuan kadang disesuaikan selera rasa permen. Pasta gigi dengan pelbagai rasa buah terasa lazim, sejak puluhan tahun lalu.
* * *
Gigi pun urusan terpenting bagi kaum lelaki. Warto Kemplung telanjur mengabaikan gigi. Pengarang tak merasa perlu menasihati atau mengimbuhi cerita agar gigi termasuk perkara darurat dalam novel berjudul Dawuk. Lelaki ganteng jika bergigi kuning agak mengurangi minat kaum perempuan. Pada gigi, para perempuan menganggap lelaki itu perkasa, bersih, dan waras. Penampilan gigi memberi pengaruh atas tatapan mata berselera asmara. Sejarah asmara memang sering bertokoh lelaki gagah dengan gigi bermutu. Lelaki mesem berhak menuai pujian atau mendapat sentuhan asmara. Kita belum mendapat teladan lelaki bergigi paling bermutu dalam sejarah peradaban manusia. Kita menduga saja lelaki itu Arjuna, Don Quixote, Mark Twain, Rama, Hamlet, Soekarno, Soetomo, Chairil Anwar, Minke, Judika, atau Nicholas Saputra.
Kehadiran lelaki dalam iklan obat gosok gigi agak aneh. Kita melihat iklan itu di majalah Minggu Pagi edisi 10 Februari 1957. Iklan berukuran besar. Lelaki cakep berpeci tampak mesem. Ia pasti bukan Warto Kemplung. Ia mengisahkan pesona lelaki masa 1950-an dipengaruhi gigi dan mesem. Lelaki ompong atau bergigi kuning di pinggir saja. Kepemilikan gigi indah dan sehat mungkin bertaut pula ke revolusi. Kita mengandaikan revolusi mengharamkan sakit gigi dan abab kecing. Kaum lelaki wajib turut di revolusi dengan mesem. Adegan mesem memerlukan gigi putih agar tak dipermalukan oleh sesama manusia.
Lelaki berjas dan berdasi itu memberi pesan optimis agar kaum lelaki mau memiliki gigi bermutu tanpa menjadi lelaki seperti Warto Kemplung. Penjelasan mengenai si lelaki idaman: “Ia senantiasa tak segan untuk bergaul! Karena giginja putih-bersih dan indah, berkat pemakaian setiap hari dari obat gosok gigi Gibbs jang ringan harganja!” Gigi itu pergaulan. Gigi itu harga. Gigi itu pernah mendefinisikan lelaki Indonesia masa lalu. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022