Muslim Anonymous dan Pelajaran Mimikri Dani Alves

happysoulgangsters.com

27 April 2014. Di El Madrigal. Dani Alves yang membela Barcelona dilempari pisang oleh supporter Villareal sebagai aksi provokasi rasisme saat hendak mengambil tendangan pojok. Dengan tenang, menyamai tenangnya  air danau tujuh warna di Dieng yang tak lagi tampak ketujuh warnanya itu, Alves menjamah pisang itu dari tanah, lalu mengupasnya, dan memakannya. Sampai habis!

Semua terperangah. Dalam hitungan detik, penonton bertepuk tangan. Ada pula yang sampai standing applause.

Usai menandaskan hadiah pisang itu, Alves langsung memulai permainan. Dan kembali berjibaku seolah tak pernah terjadi apa-apa. Skor akhirnya berpihak pada Barcelona.

Itulah aksi mimikri Alves melawan rasisme yang dipuji di mana-mana. Mimikri ialah melawan sesuatu dengan mengoloki-balik sesuatu itu dengan tenang. Bukan dengan cara amarah. Tetapi cool. Seolah abai. Seakan tak peduli. Seolah bermasa bodoh.

Tentu saja, aksi-aksi rasisme dalam bentuk apa pun menyakitkan. Tak mungkin diabaikan, muhal ditakpedulikan. Mustahil dimasabodohkan. Tetapi melawan aksi nirakal rasisme dengan kekerasan atau caci maki juga sama hinanya. Memperlihatkan kelas keadaban yang sama sudranya. Maka cara terbaik melawannya ialah melalui mimikri (mengabaikan, memasabodohkan), meski jelas membutuhkan ketangguhan mental, kecerdasan nalar, dan kelapangan batin tak tepermanai. Alves telah mencontohkannya dengan sangat baik kepada semua kita.

****

Di sosial media, menemukan orang tolol yang tidak pernah menyadari betapa tololnya ia benar-benar semudah memilih beras busuk di pasar beras. Anda tinggal menyediakan sedikit waktu untuk memilah ketololan macam apa yang diinginkan, semua ready stock. Dari yang tolol karena kurang sekolah dan fakir bacaan hingga tolol karena sakit jiwa–bisa sebab arogansi beragama, berideologi, atau berpolitik.

Jika Anda merasa kurang nyaman dengan istilah “tolol”, mari batasi definisinya pada “perilaku merusak” saja.

Di al-Qur’an, tudingan “perilaku merusak” (atau tolol itu) selalu ditujukan kepada orang-orang yang berbuat keburukan atau kekejian. Baik kepada sesama maupun alam. Mereka diistilahkan “kafirun” (orang-orang kafir), “jahilun” (orang-orang bodoh), “mufsidun” (orang-orang merusak), atau “munkirun” (orang-orang yang ingkar). Cirinya selalu sama: berbuat keburukan, kekejian, kerusakan, atau kekacauan. Pengibar disharmoni.

Pada saat Nabi Muhammad Saw. memimpin Madinah, di luar kapasitasnya sebagai rasulullah, beliau menerbitkan Piagam Madinah yang dijadikan landasan legal-formal pemerintahannya. Sebuah konstitusi, “Undang-Undang”, yang terdiri dari 47 Pasal (silakan lihat dalam Ibnu Hisyam, Siratun Nabiy, Juz II, h. 119-133). Dari Pasal 25 sampai 46, Piagam Madinah bicara tentang relasi muslim dan Yahudi dengan sangat detail. Saya kutipkan Pasal 25: “Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka. (Kebebasan ini berlaku) juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri kecuali bagi yang zalim dan jahat. Sebab hal yang demikian akan merusak diri dan keluarga.” Saya tambahkan Pasal terakhir, 47: “Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat….

Piagam Madinah sepenuh-penuhnya memberikan perlindungan lintas suku dan agama dalam pengertian yang sebenar-benarnya berkeadilan. Di Pasal 37, sangat terang tertera jaminan keadilan itu: “Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslim) bahu-membahu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. …Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

Piagam Madinah menggaransi hak hidup, berkeluarga, bermasyarakat, dan beragama setiap rakyatnya, tanpa kecuali. Hak-hak dasar kemanusiaan, yang kini disebut HAM, dijaga penuh. Supremasi hukum ditegakkan dengan tanpa pandang bulu. Dalam konteks melawan “perilaku merusak” tadi, Piagam Madinah tidak memberikan ruang sedikit pun bagi praktik-praktik disharmoni dan dehumanisasi, siapa pun pelakunya, Muslimin atau Yahudi. Piagam Madinah yang telah sejak dahulu kala menjunjung HAM, bahkan saat bangsa Barat yang diliputi masa-masa kegelapan belum kenal apa itu HAM–lalu kini Anda mau menyebut HAM sebagai produksi sejarah peradaban Barat dan Islam tak karib dengannya—dapat dinyatakan dengan tegas sebagai bukti sejarah penegakan keadilan dan kemanusiaan dalam Islam.

Hukuman bagi pelanggarnya tidaklah main-main. Di Pasal 22, ancaman hukumannya berbunyi: “Tidak dibenarkan orang Mukmin yang mengakui Piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima darinya penyesalan dan tebusan.

Jika Anda memercayai catatan sejarah bahwa umat Islam masa awal (as-sabiqun al-awwalun) terdiri dari para sahabat yang luar biasa keimanan dan ketaatannya kepada al-Qur’an dan Rasulullah Saw., yang tiada dapat dibandingkan sama sekali dengan kualitas umat Islam masa kini, dapat dibayangkan bahwa penegakan Piagam Madinah itu dikawal bersama-sama dengan penuh ketulusan dan keyakinan. Dapat dibayangkan pula bahwa praktik kehidupan bermasyarakat “Negara Madinah” masa itu merupakan prototipe terbaik sepanjang sejarah peradaban manusia.

Perkaranya kini ialah sejarah supremasi hukum Negara Madinah itu hanya tinggal kisah belaka. Piagam Madinah yang bisa dibaca di mana-mana pun tinggal corat-coret belaka. Bahkan al-Qur’an dan hadits sebagai dua sumber utama hukum Islam yang tetap, baku, dan berlaku sepanjang masa, yang dibukukan sedemikian rapi dan masifnya, pun tampak hanya tersisa sebagai noktah-noktah belaka.

Klaim pilu ini sangat bisa dibuktikan dengan cepat cukup dengan menilik lalu lintas status dan komentar di sosial media. Perdebatan, pertikaian, permusuhan, bahkan caci maki dan ancam-mengancam gara-gara memperebutkan kebenaran pandangan diri dan kelompok telah menjadi kebiasaan, bahkan pekerjaan, keseharian sosial media kita. Siapa pelakunya? Umat Islam. Ya, umat Islam yang bersyahadat sama persis dengan syahadatnya para sahabat, as-sabiqun al-awwalun, yang al-Qur’annya sama pula, yang Tuhan dan Nabinya sama persis. Jika Tuhannya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama, lantas mengapa perilakunya semutlak-mutlak berpunggungan langit dan bumi, siang dan malam, fajar dan senja?

Inilah bedanya Muslimun dan Mufsidun itu.

Jika kita berkenan melapangkan batin dan pikiran sejenak saja untuk secara sederhana mengingat ajaran Nabi Muhammad Saw. yang amat mendasar dan terkenal, yakni “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”, niscaya kita akan seketika merasa gagal menjadi pengikutnya dengan segala perilaku barbar yang kita peragakan hari ini di sosial media. Apa pun sebabnya, perkaranya, argumennya, tujuannya, keadaban adalah puncak dari risalah kenabian Muhammad Saw.; puncak dari dibuatnya konstitusi bernama Piagam Madinah.

Andai pada suatu hari, Anda menerima komentar sejenis ini di status yang Anda tulis dengan apa adanya, tanpa menyalahkan siapa pun, semata untuk mengingatkan semua kawan sosial media untuk senantiasa memelihara keadaban di tengah ingar-bingar perbedaan pendapat apa pun, apa gerangan yang akan Anda lakukan?

Memangnya Islam yang kaffah itu harus dengan baca kitab kuning, merah, ijo? Memangnya lalu itu menjamin situ masuk surga?

Kemudian, tak lama, ia komentar lagi:

Tidak usah aneh-aneh baca buku atau metode ilmu macem-macem, apalagi yang dari Barat dan kafir itu, cukup baca al-Qur’an, baca terjemahannya, sudah jadi muslim baik. Rasulullah juga tak ada tuh baca buku macam-macam dan metode aneh-aneh….

Lalu:

Memangnya kenapa kalau ulama naik Velfire, apa lalu lebih mulia orang yang naik Xenia? Picik sekali cara pandangmu! Belajar Islam lagi deh yang kaffah, yang dalam, kepada ulama yang benar, jangan orang tua yang sok tahu Islam padahal syu’. Astaghfirullah, na’udzubillah….

Dan:

Saya doakan kamu segera insaf, kembali ke jalan Islam yang benar, sesuai al-Qur’an dan hadits, agar dosa-dosamu diampuni. Semoga kamu bisa masuk surga.

Bengong, begitulah ekspresi pertama kita. Jika semenit kemudian kita mengambil sikap melawannya, yang We don’t know him/her, apa gunanya? Hanya buang tenaga, waktu, perasaan, dan belum tentu ia paham uraian panjang kita.

Jadi, bermimikri sajalah.

Menonton film, sepak bola, dan mencari jodoh jelas lebih waras untuk diutamakan ketimbang meladeni sang anonymous yang mengajak kita menjadi mufsidun justru dengan untaian dalil-dalil yang dimuliakan.

 Semarang, 12 November 2016

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Hardiyanto Hendryardi Reply

    Bagus mas tulisannya

Leave a Reply to Hardiyanto Hendryardi Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!