Pelangi yang Jatuh di Sidareja

Ilustrasi cerpen Pelangi yang Jatuh di Sidareja karya Sungging Raga
Sumber gambar deviantart.net

Selalu ada pelangi yang jatuh di Stasiun Sidareja sehabis hujan, dan selalu ada gadis kecil yang mengambilnya untuk dibawa pulang.

Begitulah yang diceritakan beberapa temanku sesama penggemar kereta api, “Datanglah ke Sidareja di musim penghujan, kau akan melihat gadis kecil yang senang mengumpulkan pelangi.”

Aku memang suka menjelajahi banyak tempat yang bisa dijangkau kereta. Pekerjaanku sebagai fotografer membuatku bebas bepergian tanpa terikat jadwal-jadwal. Meski pekerjaan ini membuatku belum juga menikah, padahal usiaku sudah 28 tahun. Sebab fotografi hanya kegemaran, bukan pekerjaan. Begitu biasanya kata orang-orang.

Namun Aku tetap menikmatinya. Biasanya, sebulan sekali aku memilih tempat-tempat yang harus kukunjungi. Jika kebanyakan fotografer memotret model-model perempuan cantik yang dirias, aku lebih suka memotret pemandangan. Aku pernah memotret Tikungan Cinta di Banyuwangi, Tikungan Leles di Kadungora, jembatan-jembatan kereta yang eksotis seperti jembatan Lahor, Jembatan Serayu, Jembatan Sakalibel. Telah banyak stasiun-stasiun yang kukunjungi, seperti Stasiun Lempuyangan, Stasiun Cirahayu, sampai Stasiun Garahan.

Dan kali ini, entah mengapa aku sangat tertarik untuk pergi ke Stasiun Sidareja.

Maka aku pun berangkat dari Surabaya dengan kereta Pasundan pada pagi hari. Setelah hampir sepuluh jam perjalanan, aku pun tiba di Sidareja menjelang petang.

Sebenarnya aku tidak terlalu berharap bisa membuktikan cerita teman-temanku tentang gadis kecil yang mengumpulkan pelangi, sebab bisa saja ketika aku tiba, ternyata cuaca sedang cerah.

Tapi rupanya tidak. Cuaca sudah mendung sejak kereta Pasundan meninggalkan Yogyakarta, dan setibanya di Stasiun Sidareja, aku disambut hujan yang cukup deras.

Suasana stasiun ini cukup lengang, sebab sudah tidak ada pedagang asongan. Biasanya, stasiun-stasiun daerah Cilacap dipenuhi para pedagang pecel dan sale pisang, tapi semuanya sudah dibasmi oleh peraturan-peraturan. Kini yang kudengar hanya riuh hujan menimpa atap stasiun.

Di bagian barat ada pintu perlintasan yang ramai. Kendaraan-kendaraan harus menyalakan lampu karena hujan memburamkan pandangan. Sementara di bagian timur, tepatnya di ujung peron nomor dua, ada seorang perempuan bersama gadis kecil. Mereka sedang duduk menghadap hujan. Keberadaan mereka sangat mencolok karena tidak ada lagi orang lain di ujung peron itu.

Apakah gadis kecil itu yang diceritakan teman-temanku?

Aku duduk di sebuah kios nasi pecel yang terletak dekat dengan mereka. Kulihat perempuan itu cukup muda, sementara gadis kecil itu mungkin masih berusia lima atau enam tahun. Aku hampir saja berpikir mereka kakak beradik sampai gadis kecil itu, dengan suara yang riang, berkata, “Lihat, Ma. Hujannya reda!”

Ternyata ibunya, masih muda sekali, pikirku.

Sambil menyantap sepiring nasi pecel, aku melihat gadis kecil itu mulai beranjak. Seperti yang sudah diduga, tak jauh di timur stasiun, muncul lengkung cahaya pelangi warna-warni. Gadis kecil tadi pun berlari-lari kecil di pinggir rel. Dan yang kulihat kemudian adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Gadis kecil itu, dengan sepasang tangannya yang mungil, menarik-narik pelangi itu sampai jatuh, kemudian ia menyeretnya. Seperti layang-layang yang diturunkan.

Aku tak berkedip melihat semua itu.

“Kenapa, Mas?” tanya ibu pemilik warung yang duduk di sebelahku.

“Itu, Bu. Pelangi…. Pelanginya bisa ditarik.”

“Haha. Itu Slania, sudah biasa ambil pelangi di sini. Untuk dibawa pulang.”

“Tapi, kan….”

“Kalau baru pertama lihat memang kelihatan aneh, Mas, tapi lama-lama ya biarkan saja.”

Aku merasa takjub. “Anak itu memang sering ada di sini?”

“Benar. Hampir setiap hari, ibunya selalu mengajak anak itu ke sini menjelang sore, dan suka menangkap pelangi kalau musim hujan seperti sekarang.”

“Ooo….”

“Kasihan, Mas, Slania itu belum pernah bertemu ayahnya.”

“Belum pernah?”

“Dulu, ayahnya pergi naik kereta dalam keadaan istrinya hamil tua. Jadi, ibunya Slania itu agak stres.”

Barangkali memang ada yang harus menanggung kisah yang begitu pedih, menanggung kenangan yang jika dibagi untuk sepuluh orang pun masih terasa berat, dan perempuan itu harus menanggungnya sendirian.

Sekarang gadis kecil itu tampak bahagia menyeret pelangi yang panjangnya mungkin lebih dari sepuluh meter. Tangan gadis itu terlihat bercahaya. Ia kembali ke ibunya.

“Hati-hati, Slania, nanti sobek.”

“Pelanginya besar, Ma. Pasti kamarnya jadi terang.”

Apa maksudnya? Apakah rumah mereka tidak dialiri listrik? Aku jadi teringat kisah seorang gadis yang tinggal di sebuah gua, dan menangkap banyak kunang-kunang untuk dijadikan penerangan sepanjang malam.

Sehabis makan, aku pun mendekati keduanya yang mulai sibuk menggulung pelangi.

“Wah, pelanginya cantik, ya?” kataku, dengan nada yang ragu-ragu. Gadis kecil itu memandangku.

“Anda siapa?” Ibunya bertanya. Kami berpandangan. Suaranya yang lembut itu membuatku gugup. Dan tatapannya itu, mungkin hanya bisa dijelaskan oleh Kawabata.

“Saya…. Saya cuma kebetulan main ke sini. Nanti mau naik kereta.”

“Oh….” Perempuan itu lalu menarik napas panjang. Sekarang bisa kulihat wajahnya dari dekat. Ia memakai kacamata, rambutnya hitam dan panjang sampai ke pinggang, dan ada tahi lalat kecil di bawah bibirnya yang pucat. Sepertinya ia telah lama hidup dalam kehilangan.

Justru anak gadisnya yang terlihat bahagia.

“Apa Kakak suka pelangi?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya.

“O…. Iya. Suka. Warnanya bagus, ya?”

“Ini pelanginya masih basah. Nanti mau dipasang di dekat jendela. Iya kan, Ma?”

Perempuan itu tersenyum. Ringan. Seolah senyumnya hanya satu miligram.

“Namaku Slania.”

“Slania? Nama yang unik.”

“Kalau Kakak?”

“Hm…. Panggil saja Kak Salem.”

Sementara ibunya masih diam. “Kalau nama… Anda?” aku memberanikan untuk bertanya.

“Saya? Esti.”

Sesaat kami ada dalam keheningan. Gadis itu kembali sibuk menggulung pelangi dibantu ibunya.

“Bisa kubantu juga?” Aku menawarkan diri. Ibunya memandangku lagi. Mereka mengizinkanku merapikan bagian pelangi yang masih tergeletak agar mudah digulung. Tiba-tiba kami menjadi akrab.

“Slania lincah sekali, ya?”

Ibunya tersenyum. “Tapi nakal dan merepotkan.”

“Anda tinggal di mana?”

“Di seberang jalan itu, di luar stasiun.”

Kemudian kami berbincang banyak hal, tentang stasiun ini, tentang menu makanan, tentang hujan dan puisi Sapardi. Sampai gadis itu menyelesaikan gulungan pelanginya. Sampai lampu-lampu stasiun dinyalakan. Terkadang, percakapan kami disela oleh pengumuman kedatangan kereta. Dan setiap kali ada kereta tiba, gadis kecil itu selalu bertanya, “Apa itu kereta Papa?”

Ibunya selalu berkata, “Bukan. Mungkin setelah ini.”

Apakah mereka masih hidup dalam halusinasi? Aku tidak berani menanyakannya lebih jauh.

“Sudah mau pulang, Slania?” tanya ibunya.

“Sebentar, Ma. Tunggu kereta Kakak tiba.”

Begitulah kami duduk bertiga di ujung peron. Entah orang-orang di stasiun memperhatikan atau tidak. Akhirnya, dua jam kemudian, kereta Mutiara Selatan dari Bandung tujuan Surabaya segera tiba. Aku harus bersiap.

“Anda naik kereta itu?”

“Ya. Sepertinya sudah waktunya pulang.”

“Kakak, ini, dibawa ya. Buat kenang-kenangan.”

Gadis kecil itu menyerahkan selembar kecil pelangi yang telah dirobeknya dengan rapi. Aku tersenyum, kulipat lembaran pelangi yang terasa seperti kertas tisu itu. Lalu kumasukkan ke saku celana.

Saat aku telah naik ke gerbong, gadis kecil itu melambaikan tangannya, “Sampai jumpa!”

Aku membalas lambaiannya. Sementara ibunya cuma terdiam, sesaat kami berpandangan, dan selalu saja, ketika kulihat sepasang matanya, seperti ada sesuatu yang begitu tabah dipendamnya.

Sudah belasan tahun aku naik kereta, melakukan perjalanan ke berbagai tujuan, mengenal beragam kisah, tapi seakan tak pernah kutemukan perempuan yang menyimpan kenangan seberat dirinya.

Tak lama kemudian, kereta berangkat. Pemandangan di luar jendela berangsur gelap, dan itu membuatku mengantuk. Apalagi aku memang sangat lelah. Maka aku tertidur sepanjang malam, dan baru terjaga ketika kereta Mutiara Selatan tiba di stasiun Surabaya Gubeng pagi harinya.

Suasana stasiun cukup dingin, aku melangkah gontai keluar peron, tampak jalanan basah, mungkin semalam turun hujan. Aku pun teringat sesuatu.

“Pelangi itu…,” gumamku.

Kurogoh saku. Ah, ternyata lembaran pelangi itu telah menjadi kertas putih biasa. Tidak ada lagi warna-warni yang indah itu. Namun pada kertas itu seakan masih terpantul suara gadis kecil itu, gelak tawanya, keceriaannya….

Dan tiba-tiba saja, aku sangat rindu dengan ibunya.

Sungging Raga
Follow Me
Latest posts by Sungging Raga (see all)

Comments

  1. Edi Winarno Reply

    Pelangi oh pelangi….

  2. Harukaze Ai Mizuki Reply

    Cuuuuuuuute >___< Pingin tahu lanjutannya deh, soal kelanjutan hubungan fotografer sama perempuan itu, ama masa lalu ayah Slania. Aaaah… sayang cerpen ya 🙂 Coba novelet 🙂 Atau cerita bersambung pendek 🙂 Bikin lagi dong sekuelnya di cerpen lain yang masih nyambung sama ini xD

    Btw cerita gadis yang tinggal di gua dan menangkap kunang-kunang untuk penerangan? Itu Grave of Fireflesnya Studio Ghibli bukan? Eh tapi di situ yg tinggal di gua cowo @___@

    Btw Slania sendiri artinya apa ya? Dari bahasa apa? Hmm…

  3. Nryft Reply

    Saya kurang mengerti tentang “menggulung pelangi” meski sudah dibaca berkali-kali….

    • Anonymous Reply

      Ini semi fantasi kayaknya, jangan terlalu dipusingkan untuk menalari cerita, nikmati saja. 😁

  4. leon Reply

    this is so cute 🥺

  5. Adrian Otto Reply

    kunang kunang di gua, kisah grave of fire fly, atau hotaru no haka sedih euy..nontonya

Leave a Reply to Harukaze Ai Mizuki Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!