Pada 2019, Bobo berusia 46 tahun. Majalah itu berpengaruh untuk bocah-bocah di seantero Indonesia. Di majalah Bobo, bocah-bocah menemukan cerita, puisi, berita, iklan, soal, foto, dan gambar. Pembaca berhak memilih menu di majalah. Kita membuka Bobo edisi 27 November 1982. Apa itu Bobo edisi istimewa? Tampilan dan menu biasa tapi memberi panggilan ingatan ke tokoh memberi rupa dan kata, sejak puluhan tahun lalu.
Di sampul belakang sisi dalam, bocah membaca iklan lucu. Iklan Mi-Won, iklan memberi rasa di masakan. Pesan terpenting: “Adik-adik, dapatkan hadiah Mi-Won dan Pak Tino.” Lho, manusia jadi hadiah! Dulu, kita mengenali orang itu bernama Tino Sidin. Apa ada urusan antara Mi-Won dan Pak Tino Sidin untuk kegirangan bocah-bocah? Petunjuk resmi agar bocah meminta ibu rajin membeli Mi-Won: “Tukarkan bungkus kosong Mi-Won dengan buku mewarnai gambar Tino Sidin.” Oh, hadiah itu berupa buku mewarnai gambar. Bocah pasti tergiur gara-gara mengidolakan Pak Tino Sidin. Di mata bocah-bocah, tokoh itu sering muncul di TVRI. Di hadapan televisi, bocah-bocah menonton sambil menggambar.
Ia memang tokoh dikagumi bocah-bocah dan kaum ibu. Ia bukan lelaki ganteng dan gagah. Bocah belum terlalu menginginkan tokoh idaman harus seperti artis Korea. Kaum ibu mengidolakan Pak Tino Sidin bukan gara-gara tampang atau dandanan. Semua menghormati Tino Sidin sebagai “guru” memiliki kata paling ampuh dalam gairah menggambar di Indonesia. Kata paling ampuh adalah “bagus”.
Di Bobo, Tino Sidin ditempatkan dalam iklan. Kita pun membuka majalah Tempo edisi 19 Agustus 1978. Iklan masih bertokoh Tino Sidin. Iklan dari Kanisius: “Pupuk bakat gambar anak anda…” Oh, ajakan menonton acara “Gemar Menggambar” di TVRI dan membeli buku lima jilid susunan Tino Sidin. Buku itu bermutu, disahkan penggunaan di sekolah oleh Depdikbud. Tido Sidin memang guru berpengaruh di Indonesia. Guru bukan di kelas tapi di televisi dan buku.
Lelaki berbaret hitam. Gigi depan hilang dua. Ia pujaan bocah-bocah memiliki keinginan menggambar. Ia dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 25 November 1925. Tino Sidin meninggal, 29 Desember 1995. Kemampuan menggambar dikuatkan dengan studi dan hidup di Jogjakarta. Ia lulus dari ASRI Jogjakarta, 1963. Pada masa penjajahan, ia sudah menekuni gambar, sebelum tenar di masa 1970-an di televisi, buku, dan majalah.
Ketokohan Tino Sidin dipengaruhi pula oleh dua teman: Nasjah Djamin dan Daoed Joesoef. Bertiga merantau ke Jawa. Mereka memiliki nasib berbeda tapi terikat sebagai kaum gemar gambar. Nasjah Djamin menggambar dan menulis sastra. Daoed Joesoef pernah jadi menteri dan rajin menggambar. Tino Sidin pun menggambar dan menulis cerita anak. Di Jogjakarta, Tino Sidin menentukan nasib. Di Jakarta, ia mencari nafkah.
Secuil informasi di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 susunan Tempo: “Sejak mengisi acara TVRI Jakarta, 1978, Tino semakin mantap sebagai pendidik ketimbang seniman. Namun penampilannya tetap ‘nyeni’: baret hitam dengan kuncir pendek di puncak, kemeja berbunga-bunga.” Kemonceran itu belum tentu menjadikan Tino Sidin berlimpahan duit. Ia dan keluarga tetap di kesederhanaan. Rumah saja belum mampu dimiliki dengan ketokohan di TVRI, menulis buku, dan diundang ke pelbagai acara besar.
Buku berjudul Gemar Menggambar menjadi acuan bocah-bocah memiliki keberanian menggambar. Mereka tak berpikiran nilai tapi pujian “bagus”. Tino Sidin juga membuat buku berjudul Gambar Dekoratif (1986). Buku itu laris tapi tak melegenda seperti Gemar Membaca. Kita mengenang tak selalu buku mengenai gambar. Tino Sidin mengarang cerita berjudul Ibu Pertiwi (1979). Buku bertema sejarah, mengisahkan Indonesia. Tino Sidin mengajak bocah-bocah mencintai Indonesia melalui cerita dan gambar. Tino Sidin berpesan: “Gambar yang berbentuk kartun dalam buku ini, yang sifatnya lucu, ialah untuk memudahkan anak-anak mengingat ceritanya, yaitu cerita perjuangan pemuda Indonesia yang tak boleh dilupakan saja… Semoga buku ini dapat memupuk jiwa anak-anak untuk cinta kepada tanah air Indonesia.”
Pilihan menjadi pemberi rupa dan kata dijalani puluhan tahun. Tino Sidin tak mau berhitung duit. Nafkah memang ada tapi tak menjamin hidup mapan. Pemanjaan hidup pun tak berlaku. Hari demi hari, ia tetap ingin mengajak jutaan bocah di Indonesia menggemari gambar dan cerita. Kaum lawas terus memuji dan mengenang Tino Sidin. Masa itu berlalu. Kini, bocah-bocah memiliki idaman-idaman baru. Mereka mungkin tak pernah mengenali Tino Sidin jika tak mendapat cerita dari orangtua.
Pada 2014, terbir buku berjudul Tino Sidin: Guru Gambar dan Pribadi Multidimensional. Buku mengisahkan pengabdian Tino Sidin. Daoed Joesoef memberi nostalgia: “Di saat yang serba kritis itulah Tino Sidin muncul bagai jatuh dari langit. Dia sudah aku kenal sejak zaman Jepang. Kami sama-sama menjadi anggota pengurus organisasi kepemudaan ‘Mempertinggi Latihan Timur’ (Melati) sebagai pengganti organisasi-organisasi kepanduan yang dibubarkan oleh pemerintah militer Jepang.” Sejak mula, Tino Sidin sudah bergerak demi nasionalisme. Ia pun mengajar di Taman Siswa. Pada masa berbeda, dua orang itu mencari nafkah di Jakarta. Tino Sidin di televisi dan Daoed Joesoef di kementerian. Daoed Joesoef pernah mendapat informasi bahwa pengusul agar Tino Sidin mengurusi acara “Gemar Membaca” di TVRI adalah Goenawan Mohamad.
Masa lalu itu terasa aneh dan mengejutkan meski bermula dari ide dan percakapan sederhana. Goenawan Mohamad, penggerak Tempo dan esais ampuh, memberi ingatan tentang Tino Sidin: “Ia memang pengajar yang sabar dan baik. Tino Sidin bukan pelukis besar tapi lebih dari itu: ia guru yang menyenangkan. Ia tidak menghendaki para muridnya pandai menggambar, melainkan gemar menggambar. Gemar itu pangkal pandai. Gemar itu, dalam kesenian, pangkal dari kegembiraan kepada kerja yang akrab dengan ritme, nuansa, hal-hal yang tak bisa dirancang penuh, juga intim dengan bahan dan sekaligus bebas, karena tidak dikejar-kejar perintah atau sasaran.” Goenawan Mohamad mengakui sebagai pemberi usul agar Tino Sidin mengasuh acara anak di TVRI. Pengabdian Tino Sidin itu terpuji dan mewariskan amalan berupa kata ampuh: “Bagus”.
G Budi Subanar, intelektual dan novelis, memiliki kenangan-kenangan indah. Ia mengenali dan menggemari acara Tino Sidin di TVRI. Peristiwa masa lalu: “Biasanya, saya, adik saya dan teman-teman sebaya dari rumah tetangga boleh menonton acara ‘Gemar Menggambar’ setelah mandi sore… Saat menyimak acara Pak Tino Sidin, semua anak tersihir memandang ke depan layar. Tidak ada yang berisik, tidak ada yang memberi komentar. Semuanya terpaku, tersihir. Ndomblong! Dengan cara dan gayanya Pak Tino menyihir anak untuk membangun dan memperkaya imajinasinya.” Tino Sidin tak mengajari atau menginginkan bocah-bocah di studio TVRI dan di rumah-rumah menjadi pelukis. Ia mengajak “menggemari” agar hasrat estetika dan imajinasi terwujudkan mencipta girang sepanjang hari. Ikhtiar itu mendapat pujian dari Sudjojono: “Bagaimanapun ini adalah suatu usaha menggairahkan cinta pada seni rupa.”
Tino Sidin pantas dikenang pula sebagai pemberi kata atau pencerita. Ia mewariskan buku-buku cerita dan gambar berjudul Bandung Lautan Api, Anjing, Ibu Pertiwi, Membalas Jasa, dan Bawang Merah, Bawang Putih. Sekian buku terbitan Balai Pustaka memuat pula ilustrasi-ilustrasi buatan Tino Sidin. Kita memiliki tokoh bersahaja dan memungkinkan bocah-bocah di seantero Indonesia dalam pengasuhan bergelimang pujian “bagus”. Dulu, bocah-bocah itu bergairah menggambar dan menekuni cerita. Kita bernostalgia sambil melihat bocah-bocah abad XXI perlahan kehilangan acara-acara bersahaja seperti “Gemar Menggambar”. Kegemaran bocah-bocah sudah berubah menuruti zaman selalu rupa-rupa fantastis di abad XXI. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022