Penembang di Puisi

Di lembar kertas lawas, foto pesinden berwajah cantik. Di bawah foto, kita membaca nama: “Nji Tjondrolukito.” Foto itu melengkapi tulisan berjudul “Nderek Nepungake Nji Tjondrolukito” di majalahMekar Sari, 15 Juni 1961. Di Jogjakarta, penembang Jawa itu memiliki peristiwa-peristiwa penting dalam berkesenian. Pembentukan biografi di panggung-panggung seni dan studio RRI dimulai sejak masa 1950-an.

Peristiwa mirip drama terbaca di Mekar Sari: “Nalika samana ing Sekatenan Ngajogjakarta ana tontonan wajang-wong Sarutomo. Sripanggunge aran Ni Sutini jakuwi Nji Tambang Laras. Swarane ngedab-edabi, nganti bisa bawe gegere prijaji Ngajigjakarta kang gede kawigatene marang kagunan Djawa. Perkumpulan Laras Madya kang dipandegani dening Ki Djiwotomo bandjur ada-ada nganakake kongkrus. Kang arep ditandingake, jaiku Ni Penilaras (Nji Tjondrolukito)). Djeneng Penilaras kuwi peparinge swargi Patih Kasultanan Ngajogjakarta KPAA Danuredjo kang sumare ing Wonotjatur.”

Pada masa lalu, dua penembang ada di “panggung pertandingan”. Orang-orang ingin menikmati kelembutan dan kemerduan tembang-tembang Jawa dari Ni Sutini dan Ni Penilaras. Konon, Jogjakarta mengidamkan dua penembang itu mengacu ke keluhuran seni Jawa. Di hadapan juri dan para penikmat tembang Jawa, drama tercipta. Para juri bingung atau judeg dalam menilai “sabab swara lan kawruhe Ni Sutini lan Ni Penilaras gedeg (pada).” Dua penembang itu ampuh, sulit mencari pemenang. Di detik-detik akhir, juri menemukan perbedaan mencolok: “Dumadakan Ni Sutini sembrana. Deweke katital wiramaning ketuk (kelangan ketuk ing tengah-tengah wanda tjakepan). Mula kadjuwaran karebut deni Ni Penilaras, tetandingane bidji 46-42.” Ni Sutini melakukan kesalahan berakibat nilai besar milik Ni Penilaras. Kita tak mengalami masa saat para penembang mencipta drama memukau di Jogjakarta.

Pada masa berbeda, panggung bagi Ni Penilaras atau Nyi Tjondrolukito berganti di Jakarta. Pada 1983, Soeharto memperingati usia genap 8 windu. Di rumah beralamat di Jalan Cendana, Jakarta, Soeharto memotong tumpeng. Ritual mengingat usia. Potongan tumpeng diberikan pada mertua tercinta. Pada malam belum terlalu kelam, Soeharto dan keluarga bercengkerama dalam renungan hidup diiringi alunan tembang dari Nyi Tjondrolukito (Tempo, 30 Juli 1983). Tembang-tembang Jawa terdengar lembut, mengantar kata-kata ke telinga saat malam semakin meninggalkan kebisingan, ingin menuju hening setelah suara.

Nyi Tjondrolukito, nama penting bagi Soekarno dan Soeharto. Ia pesinden legendaris. Sejak kecil, dia tekun belajar tembang Jawa ke para begawan. Pada 1955, Nyi Tjondrolukito, berpindah dari Jogjakarta ke Jakarta, menembang di RRI Jakarta. Suara merdu membuat orang-orang terkesima. Pujian-pujian diberikan ke Nyi Tjondrolukito. Dia mendapat undangan ke Istana Presiden, menembang untuk menghibur dan menenangkan pikiran Soekarno. Pesinden itu semakin tenar. Kaset-kaset berisi rekaman kemerduan suara Nyi Tjondrolukito pun laris di pasar. Pesinden memiliki kehormatan tinggi, berbeda dengan persepsi publik puluhan tahun silam.

Ketenaran Nyi Tjondrolukito mendapatkan halaman-halaman penghormatan di majalah Femina edisi 19 Maret 1987. Biografi semakin mengenalkan penembang pada pembaca. Pada masa bocah, ia dinamai Turah. Ia tak bersekolah tapi kemampuan menembang jadi jalan membentuk nasib. Pada saat berada di panggung seni dan lomba, Nyi Tjondrolukito mulai terkenal dan dikagumi. Ia mengenang masa-masa meraih juara dan menerima pelbagai hadiah, piala, medali. “Sayang, sekian banyak piala itu kini tinggal ceritanya saja. Kecuali beberapa piala kuno yang tersisa, yang lain dijual sang ayah,” tulis di Femina.

Nyi Tjondrolukito memiliki cerita tentang piala dan kemarahan. Dulu, sang ayah menginginkan agar Nyi Tjondrolukito mengenakan sekian medali pernah diraih dalam pelbagai lomba. Medali dimaksudkan agar orang-orang mengagumi capaian prestasi. Nyi Tjondrolukito menolak memasang medali-medali di dada. Ia menolak dengan argumentasi: “Kok kaya kirik nganggo peneng.” Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Kok, seperti anak anjing memakai kalung pengenal.” Penolakan itu memicu marah. Si ayah pun menjual piala atau medali milik Nyi Tjondrolukito. Ingatan sedih itu mengiringi puncak penghargaan bagi Nyi Tjondrolukito. Soeharto memberi penghargaan berupa Bintang Seni.

Pada masa lalu, suara pesinden itu terus mengantar rasa Jawa saat telinga-telinga mulai dibujuk mendengarkan lagu-lagu pop atau dangdut. Tembang Jawa tetap terdengar, tak sirna akibat industri hiburan. Pesinden menembang dan hidup meski tak setenar artis-artis komersial. Pada 1990, Subagio Sastrowardoyo menggubah puisi berjudul “Motif II”, bercerita Nyi Tjondrolukito. Pukau atas kemerduan tembang Jawa.

 

Aku tak terlambat hadir dan

masih sempat mendengarnya

di waktu senja sebelum gelap tiba

Nada-nada lembut mendambakan hidup

murni, tulus dan kalis dari dosa.

Tembang menabur makna berirama, mengajak pendengar ingat diri, hidup, dan Tuhan. Puncak pengalaman terbuai tembang Jawa terasa di akhir puisi. Pujangga itu mendengar takzim. Nyi Tjondrolukito sanggup menembangkan gelisah batin dan menguak segala keinsafan manusia.

 

 

Aku yang gelisah terguncang dari

kenanaran. Bukankah hanya manusia

susila yang selamat sampai ke sorga?

Tjondrolukito! Jangan terus dendangkan

gending megatruh

Karena tak tahan malu aku tutup telingaku.

Nyi Tjondrolukito bukan pesinden biasa. Dia penggerak hidup, penebar suara-suara kehidupan. Bagong Kussudiardja di majalah Gatra edisi 15 November 1997 mengenang: “Saya masih ingat, sebelum menjadi sinden kelas atas,  dia berjualan makanan ringan dan berkeliling dari kampung ke kampung. Itu menunjukkan betapa keras semangat hidupnya tanpa harus luluh oleh rasa malu.” Nasib berubah dengan suara. Tembang-tembang Jawa dilantunkan berarti menembangkan nasib. Kemerduan itu membuat Soekarno dan Soeharto terikat dengan rasa Jawa. Mereka berslogan revolusi dan pembangunan tapi memberi diri untuk buaian rasa Jawa. Rasa bersumber dari lantunan tembang-tembang Nyi Tjondrolukito.

Tahun-tahun kemerduan telah berlalu. Presiden demi presiden berganti tapi tak melanjutkan kehadiran pesinden. Pengalaman Nyi Tjondrolukito di Istana Presiden  mirip “selingan” keberlimpahan suara bising bercerita politik, ekonomi, militer, pendidikan, dan pertanian. Sejak masa pemerintahan Soekarno, seni-seni Jawa bisa dipentaskan di Istana Presiden. Soekarno malah sempat belajar macapat meski gagal. Pesona tembang dan gending Jawa membuat kekuasaan tak terlalu mengeras dan sumbang. Di Istana Presiden, Soekarno dan Soeharto mendengar sambil bernostalgia dan memikirkan Indonesia. Di luar, orang-orang rela mendengar melalui siaran radio atau kaset. Tembang-tembang “membimbing” orang-orang ingat perasaan, tak gegabah menilai hidup saat mendapat perintah-perintah demi revolusi dan pembangunan.

Pada saat tenar, Nyi Tjondrolukito menjalani hidup bersahaja. Ia menjadi pesinden untuk kepuasan batin. Misi itu terpenuhi meski menanggung kecewa. Di Femina, ia mengaku kecewa: “… tak satu pun di antara 11 putra-putrinya yang mau melanjutkan profesinya sebagai pesinden.” Kecewa ditanggapi ketekunan mendidik seni karawitan di Yayasan Widya Lestari Budaya. Murid-murid Nyi Tjondrolukito tak cuma berasal dari Indonesia. Sekian orang asing turut belajar.

Di Jawa, menikmati gending dan tembang bagian membentuk diri sebagai manusia beradab dan bersusila halus. Ki Hadjar Dewantara (1928) pernah mengingatkan: “Paningal poenika margining daja penggoelawentah dateng angen-angen. Pamireng langkoeng lebet dajanipoen inggih poenika dateng raos. Pramila kangge anggoegoelang raos preloe sanget ngoedi aloesing pamireng, olah swara.” Pesinden berpengaruh pada penghalusan pendengaran dan perasaan. Seni itu sempat menakjubkan para sarjana asing. Tembang mengundang mereka ke relung-relung Jawa, mencari pengertian politik, asmara, religiositas, keluarga, dan alam. Tembang-tembang terus dilantunkan para pesinden dalam arus kolonialisme, revolusi, dan pembangunan. Kita pun mengenang penembang Jawa itu bernama Nyi Tjondrolukito, pemberi kemerduan agar masa lalu masih terdengar. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!